Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tatahan-tatahan runi palar

Runi palar perancang perhiasan, dan pengusaha perhiasan memamerkan karya-karyanya di hamburg dengan warna Indonesia.(sr)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALUNG itu berwarna putih. Terbuat dari silver sterling perak murni standar Inggris (97% perak, 3% kuningan), berbentuk bulat pipih selebar 3 cm. Ada tempat menggantungkan liontin berupa lekukan setengah lingkaran di depannya. Liontinnya terbuat dari batu giok Australia, berwarna hijau tua. Diikat dengan perak, liontin tersebut berbentuk empat persegi panjang. Ada lekukan bagaikan kubah di bagian atasnya, hingga mengingatkan orang pada kubah masjid Istiqlal, Jakarta. Itu belum lengkap. Paduan kalung itu adalah sebuah gelang. Terbuat dari perak pula, gelang itu bertatahkan sebutir batu giok lonjong berwarna agak muda. Tempat bertumpu batu sebesar kacang merah ini berbentuk kubah pula. Ditambah lagi sebuah giwang terbuat dari batu serupa. Perhiasan terakhir ini berukuran sedikit kecil dari uang logam lima puluh rupiah. Sebuah bros ukuran uang logam seratus rupiah, juga merupakan pelengkap semua perhiasan itu. Berukiran lengkungan-lengkungan dan bulatan-bulatan, bros itu bertatahkan batu akik bulan di tengahnya. Maka lengkaplah satu set perhiasan wanita. Itulah salah satu kreasi ciptaan Runi Palar, 37 tahun, seniwati perancang pethiasan dari Bandung. Secara diamliam, Runi kini sedang mempersiapkan pameran kreasinya di Hamburg, Jerman Barat. Dengan 250 kreasi perhiasannya, ia mendapat kesempatan berpameran di Ingeborg Holz Gallery, Galerie fur Kunst aus Sudostasien, mulai 11 November. Tak kurang dari sebulan, Runi diberi kesempatan Ingeborg Holz memamerkan ciptaannya. "Ini kesempatan emas bagi saya," ujar Runi dengan gembira. Gallery yang mengundang Runi itu, memang biasanya memamerkan kreasi perancang perhiasan kaliber dunia. Gucci, Piere Balmain, Nina Ricci maupun Estee Louder, misalnya, pernah memamerkan karya mereka di sana. Ingeborg Holz Galerie biasanya mengadakan pameran perhiasan setiap enam bulan. "Saya masih merasa kecil bila dibandingkan perancang lain yang sudah tenar, apalagi dengan perancang dunia," ujar Runi Palar merendah. Tapi tak kurang dari G.Sidharta, pematung beken dan dosen Senirupa ITB, memuji Runi. 'Runi memadukan seni tradisional dengan seni modern. Saya senang dengan ciptaannya," komentar Sidharta. Dalam pameran pendahuluan yang diadakan di rumah Runi, di Jalan Gegerkalong Hilir, Bandung, 22 Oktober 1982, kreasi perhiasan ciptaannya memang banyak memperlihatkan perpaduan antara seni kerajinan tradisional yang dirancang secara modern. Misalnya bros, merupakan perpaduan seni tradisional Sumba dengan bentuk yang baru. Atau satu setel perhiasan berupa kalung, liontin, gelang dan giwang, misalnya lagi) memperlihatkan garis tradisional Yogya, dengan ornamen kecil-kecil. Sedang perhiasan yang memakai bentuk barong, jelas menunjukkan memakai garis ornamen Bali. "Saya hanya mengambil garis tradisionalnya," tutur Runi. Sebagian besar perhiasan yang dipamerkan (yang nanti akan diboyong ke Hamburg) di rumahnya itu terbuat dari silver sterling (perak murni). Hanya sekitar 50 macam disain (seluruhnya 250 disain) yang terbuat dari emas (22 karat). Lewat dua jenis logam itu, Runi mengekspresikan rasa seninya dalam bentuk kalung rantai, kalung lidi (ckocer), bros, gelang, tusuk konde, liontin, giwang, jepit dasi, jepit serbet, cincin serta sendok dan garpu. Ada yang bertatahkan batu akik atau berlian, ada pula tanpa batu mulia apa pun. "Dalam rancangan perhiasan yang dihasilkan Runi, terlihat bentuk-bentuk yang padu antara bahan dan pemakai nya," komentar Sidharta lagi. Menurut dosen yang banyak membuat patung monumental ini, Runi telah berhasil memadukan kedua hal itu dengan baik. "Hasil kreasinya membawa warna Indonesia, tapi eksklusi," kata Sidharta. Sedang Dr. Sudjoko, yang katanya banyak mengamati ciptaan Runi Palar melihat ciptaan wanita ini sebagai satu perpaduan antara seni lukis, pahat/patung dan kerajinan tangan. Tapi, katanya, dalam garis lengkungan dan pembagian bidangnya, terasa ada sentuhan kelembutan. Mengalir lembut bagaikan sebuah tarian. "Itu ciri yang kuat pada ciptaan Runi," ujar Dr. Sudjoko, dosen Senirupa ITB, dalam kata pengantarnya pada pameran pendahuluan itu. Sementara pematung dan Dosen Patung Senirupa ITB Rita Widagdo mengaku, "saya senang dengan karyanya (Runi). Saya sering datang membeli." Tak ada kritik? "Sayang gosokannya masih terlihat kasar," ujar Ny. Nani Pusponegoro, salah seorang di antara 100 tamu di pameran pendahuluan tadi. Istri Ir. Pusponegoro, seorang pejabat dari Nurtanio, ini menyayangkan pengolahan yang kurang cermat, terutama dalam gosokan. "Terlihat garis-garis yang kasar, yang dapat menurunkan kualitas bahannya," tutur Ny. Nani yang mengaku banyak mengetahui masalah perhiasan. SEDANG bagi Ny. Sri Moelyaningsih Soegana "Runi tak kalah dengan ciptaan perancang dunia." Direktur RS Hasan Sadikin ini membandingkannya dengan karya Christian Dior. "Ciptaan Dior terlalu mewah menampilkan ornamen besar dan tebal. Karya Runi sangat sederhana, tapi indah," kata Ny. Soegana pemilik salon dan pernah jadi sales promotion Christian Dior di Bandung. Ia memiliki 3 setel ciptaan Runi yang harganya per setel Rp 45.000. (Harga karya Runi antara Rp 18.000 sampai dengan Rp 350.000) . Katanya, pernah Madame Dobora seorang rekan Ny. Soegana diberi hadiah ciptaan Runi, menyangkanya buatan Dior. Ny. Daoed Joesoef, Ny. A.R. Soehoed dan Ny. Husen Wangsaatmadja (istri Walikota Bandung) adalah di antara para kolektor karya Runi. Runi Palar, nama lengkapnya Sotjawaruni Kumala, adalah ibu 3 anak hasil pernikahannya dengan Adri Palar, sarjana senirpa ITB. Ia sendiri enggan menyatakan pamerannya di berbagai negara berhasil. "Tapi saya gembira, pesanan dari luar negeri lebih banyak ketimbang dalam negeri," kata perancang perhiasan yang pernah berpameran di Australia (1975), Kanada (1976), Belgia (1977) dan Swiss (1979) itu. Lulusan STMA (Sekolah Teknik Menengah Atas) di Yogya (1963) ini, tampaknya dapat warisan darah seni dari ayahnya R.S. Tjokrosoeroso, 70 tahun seorang pengrajin perak di Yogya. Putri keempat kelahiran Yogya yang pernah Jadi mahasiswa Institut Teknologi Tekstil itu, agaknya juga satu-satunya dari tuuh saudaranya yang melanjutkan darah seni ayahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus