Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI masa pandemi Covid-19, limbah masker sekali pakai menjadi persoalan serius karena volumenya bertambah besar. Keprihatinan akan masalah ini mendorong peneliti dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta; Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; dan Institut Teknologi Bandung berkolaborasi untuk mengatasinya. “Kami membuat sistem penanganan sampah masker dari A sampai Z dan memastikan tidak memberikan dampak ke masyarakat,” kata Prabang Setyono, pengajar UNS, salah satu peneliti dalam inisiatif ini, Kamis, 15 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti lain, Pandji Prawisudha dari ITB, mengatakan limbah medis yang berhubungan dengan penanganan Covid-19 memang sangat mengkhawatirkan. Selain jumlahnya banyak, limbah itu bisa menularkan penyakit. "Sementara orang lain yang berada di bidang kesehatan membuat obat atau vaksin, kami bergerak di bidang penanganan sampah, seperti APD (alat pelindung diri), masker, atau benda yang sekali pakai, membuat Dumask ini," ucapnya, Senin, 19 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dumask adalah akronim dari Dropbox Used-Mask. Inisiatif ini, dengan dana hibah penelitian, bermula pada Februari lalu dan rencananya berlangsung sampai Oktober mendatang. Proyek ini menangani pengumpulan sampah masker menggunakan boks serta pembuatan aplikasi yang digunakan untuk memantau dropbox dan alat pembakarannya.
Prabang menjelaskan, sistem ini bekerja dengan menempatkan boks limbah masker di sejumlah lokasi. Jika boks sudah penuh sampah, akan ada tanda khusus di aplikasi. Data juga akan muncul di website. Dengan tanda itu, nantinya ada petugas yang mengambilnya. Sampah masker itu kemudian dihancurkan di dalam reaktor menggunakan metode pirolisis—pemanasan dengan suhu tinggi.
Untuk proyek ini, Prabang melanjutkan, peneliti tiga kampus itu berbagi peran. UNS mengembangkan aplikasi berbasis Android. Desain dan produksi boks dikerjakan peneliti UGM. ITB menangani reaktor pirolisis. "Sistem ini bisa dipakai di seluruh Indonesia. Namun, karena dana penelitian terbatas, baru dibatasi untuk daerah-daerah yang jadi konsentrasi kita, yaitu Solo, Yogyakarta, dan Bandung," ujar Prabang.
Dropbox itu, yang dibuat dari karton, ditaksir bisa menampung 500-700 masker. Ada kemungkinan boks penuh dalam dua-tiga bulan. Pandji menambahkan, sampah masker dan boks itu akan dimasukkan ke reaktor. "Dropbox dirancang untuk bisa dimusnahkan alias sekali pakai. Sebab, kalau dibuka, itu bisa menginfeksi operatornya," tuturnya.
Reaktor pirolisis bisa menampung delapan boks untuk sekali operasi. Sampah masker ini tidak perlu dibakar, melainkan hanya dipanaskan hingga menjadi cair dan menguap. Reaktor ini, Panji melanjutkan, dalam proses fabrikasi. Nantinya, reaktor dikirim ke Solo dan Yogyakarta. "Saat ini reaktor dibuat dalam skala kecil. Kami ingin lihat dulu keandalannya.”
Prabang berharap sistem ini bisa diadopsi pemerintah daerah untuk menangani sampah medis, termasuk masker. Boks-boks itu bisa ditempatkan di banyak titik. Sementara sekarang kampus yang menangani pengambilan dropbox, diharapkan kelak dinas lingkungan hidup daerah dapat mengambil alih. Reaktor pirolisis juga bisa ditempatkan di tempat pemrosesan akhir sampah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo