Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Serai Wangi untuk Memperbaiki Kualitas Mesin Biodiesel

Minyak asiri serai wangi kini menjadi bioaditif bahan bakar. Mengatasi masalah yang terjadi pada pemakaian biodiesel.

26 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Reklamasi tanah liat di Klapanunggal, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Dok. PT SBI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Minyak asiri serai wangi mampu mengatasi masalah yang muncul dalam pemakaian biodiesel.

  • Aditif untuk bahan bakar minyak masih didominasi sintetis yang diimpor dari luar negeri.

  • Produsen bioaditif di dalam negeri masih sedikit, padahal potensi pasarnya mencapai 20 miliar liter per tahun.

MENDENGAR pengumuman pemberlakuan mandatori biodiesel B40 atau pencampuran 40 persen minyak sawit ke dalam solar per 1 Januari 2025, Jodi Sucipto teringat masa 18 tahun silam. Tak lama setelah pemerintah mengizinkan kandungan minyak nabati dalam solar maksimum 10 persen pada 2006, ia menciptakan aditif bahan bakar berbasis minyak asiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria yang lahir di Lampung 60 tahun lalu itu memakai minyak serai wangi (Cymbopogon nardus). “Awalnya saya coba mencampur beberapa minyak asiri. Ternyata hasilnya tarikan mesin enak, akselerasi bagus. Efisiensi juga dapat,” kata Jodi di kantornya di Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu, 22 Januari 2025.s

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada tahun berikutnya, ia mendaftarkan hak atas kekayaan intelektual inovasi bioaditif itu dengan nama Cetrol-N15. “Cetrol dari citronella oil, nama beken minyak asiri serai wangi. Kalau 15 itu angka persentase efisiensi yang bisa dicapai.”

Dalam ramuan formula bioaditifnya, Jodi mengaku mencampurkan empat-lima fraksi minyak asiri. Didominasi senyawa sitronelol dari serai wangi, bioaditif itu juga mengandung eugenol dari cengkih. "Kalau minyak asiri dari nilam sebagai pengikat saja,” ujar Jodi, yang menjadi binaan Kementerian Perindustrian. “Produk ini menjadi referensi Standar Nasional Indonesia karena yang pertama.”

Jodi lama bergelut dengan minyak asiri sejak menjalani bisnis parfum. Minyak asiri menjadi salah satu komponen cairan pewangi. Semula Jodi berpikir untuk mengolah minyak asiri serai wangi itu menjadi bahan bakar karena sifatnya yang mudah menguap. Namun harga minyak asiri mahal sehingga tidak masuk hitungan bisnis. Lantas muncul ide menjadikan minyak serai wangi aditif yang berfungsi memperbaiki kualitas bahan bakar minyak.

Jodi Sucipto, penemu dan pembuat bioaditif Cetrol-N15. Tempo/Dody Hidayat

Setelah menjual Cetrol-N15 secara eceran, Jodi memutuskan memperluas pemasaran ke kalangan industri. Untuk itu, ia mendirikan PT Bio Pacific Energy pada 2009. “Saya melihat potensi pasar bioaditif itu di industri pertambangan karena alat berat, genset, dan truk pengangkut menggunakan solar,” ucap Jodi, yang meraih gelar master administrasi bisnis dari San Beda University, Filipina, pada 1998. “Tambahan lagi, ada kebijakan mandatori biodiesel.”

Menurut Vicky Donald, konsultan teknik PT Bio Pacific Energy, biodiesel memiliki sejumlah masalah. Kandungan bahan bakar nabati dalam biodiesel menyebabkan daya mesin turun sehingga konsumsi bahan bakar lebih boros.

Kadar airnya pun tinggi sehingga mempercepat korosi dan menyebabkan penyumbatan filter. “Klien kami mengaku harus mengganti filter setiap 70 jam. Padahal, sewaktu menggunakan solar, umur pakainya bisa sampai 250 jam,” kata Vicky.

Pengajar dari Kelompok Keahlian Konversi Energi Fakultas Teknik dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung, Tri Yuswidjajanto Zaenuri, menjelaskan bahwa aditif diperlukan untuk mengatasi masalah yang disebabkan oleh kenaikan kadar minyak sawit dalam biodiesel. Dia mencontohkan kenaikan kadar biodiesel dari 35 persen (B35) menjadi 40 persen (B40). Kadar air pada B35 naik 1,01 bagian per sejuta (ppm) per hari. Sedangkan kadar air pada B40 naik 1,54 ppm per hari.

Kenaikan kadar air itu, menurut Tri, tidak menjadi masalah di tangki truk pengangkut biodiesel yang cepat habis terjual. Begitu pula di tangki kendaraan yang sering diisi ulang. “Volumenya kan kecil, kenaikan kadar airnya kecil juga,” ucap Tri pada Senin, 20 Januari 2025. 

Namun kenaikan kadar air dalam bahan bakar akan menjadi masalah bagi perusahaan-perusahaan pertambangan yang menyimpan stok biodiesel di tangki penyimpanan dalam waktu lama. Bercampurnya air dengan biodiesel menghasilkan emulsi yang menjadi tempat tumbuhnya bakteri, jamur, dan lain-lain sehingga muncul jeli.

Jika diisap pompa bahan bakar, jeli itu bisa menyumbat penyaring atau filter. Penyumbat filter bisa juga berupa jelaga atau endapan basah berwarna hitam yang merupakan hasil proses oksidasi. Akibat tersumbatnya filter, menurut Tri, daya yang dihasilkan mesin akan menurun karena pasokan bahan bakarnya berkurang. “Konsumsi bahan bakarnya menjadi lebih boros karena nilai kalor B40 lebih rendah dari B35,” ujar Tri.

Dia menghitung, jika nilai kalor solar murni (B0) adalah 43 megajoule per kilogram (MJ/kg) dan nilai kalor biodiesel (B100) 37 MJ/kg, nilai kalor B35 adalah 65 persen dari 43 MJ/kg ditambah 35 persen dari 37 MJ/kg yang hasil akhirnya 40,9 MJ/kg. Dengan rumus yang sama, nilai kalor B40 hanya 40,6 MJ/kg. Maka tingkat pemborosan akibat kenaikan kadar dari B35 menjadi B40 adalah sebesar 0,73 persen.

Masalah-masalah itu, Tri melanjutkan, dapat diatasi dengan penambahan aditif bahan bakar. Masalah air, misalnya, bisa diatasi menggunakan aditif pendemulsi atau demulsifier. Selain itu, antioksidan dalam aditif dapat menghambat proses oksidasi sehingga tidak menyisakan endapan basah pada filter. Adapun dispersan dalam aditif berfungsi memecah kontaminasi yang menggumpal sehingga tak menyumbat filter. Ada juga yang berfungsi mencegah korosi dan memperbaiki pembakaran.

Menurut Tri, aditif yang berupa paket dengan beberapa fungsi itu tergolong murah untuk mengurangi beban perawatan mesin kendaraan sehingga waktu operasional menjadi lebih panjang karena jarang ada masalah. Memang, aditif yang beredar di pasar saat ini adalah sintetis. Aditif itu merupakan turunan minyak bumi yang diproses lagi menjadi komponen, lalu disintetiskan sesuai dengan fungsi yang diinginkan.

Ihwal aditif dari bahan nabati seperti serai wangi, Tri mengatakan fungsinya hanya sebagai dispersan atau pengurai gumpalan kotoran dari bahan bakar sehingga mengurangi potensi penyumbatan filter bahan bakar. Tri menyebutkan ada kekurangan bioaditif. “Semua yang berbahan nabati itu kan tekanan oksidasinya rendah. Jadi, ketika terpapar panas, ia membentuk karbon atau menjadi deposit atau kerak di dalam mesin,” tuturnya. 

Tri mengaku pernah menguji bioaditif pada mesin diesel di laboratorium kampus. Hasilnya, ditemukan banyak deposit di ruang pembakaran dan mesin sampai mati. Dia kemudian menjajal penggunaan aditif sintetis jenis detergen untuk mengatasi masalah itu.

Hasilnya, jumlah deposit bisa berkurang, tapi dibutuhkan banyak aditif detergen untuk menyingkirkan kerak di mesin. “Jadi kayaknya dari minyak asiri harus ada proses kimia untuk diubah lagi menjadi senyawa lain yang mungkin nanti punya fungsi lebih banyak,” katanya.

Seperti halnya aditif sintetis, bioaditif memiliki beragam fungsi sesuai dengan kandungan senyawa kimianya. Hal ini antara lain ditemukan dalam penelitian pengajar Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknik Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB University), Jawa Barat, Dwi Setyaningsih, dan timnya pada 2022 yang menguji efektivitas bioaditif dalam mengurangi kandungan air dan partikulat pada B35. Dalam penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Teknik Pertanian Lampung itu, Dwi membandingkan tiga formula racikannya, yakni A, AC, dan AE, dengan B35 tanpa bioaditif.

Bioaditif A adalah campuran minyak terpentin—cairan lengket dari penyulingan getah pinus—fraksi rodinol dari minyak asiri serai wangi, dan eugenol dari minyak asiri cengkih. Rodinol adalah campuran sitronelal dan geraniol yang memiliki titik didih berdekatan sehingga sulit dipisahkan. Bioaditif AC adalah bioaditif A yang ditambahi minyak kapur barus. Sedangkan bioaditif AE adalah bioaditif A yang ditambahi aditif buatan 2-etilheksil nitrat. 

Dwi mendapati bioaditif AC menghasilkan penurunan kandungan air tertinggi, yakni sebesar 18 persen. Begitu pula kadar partikulat, bioaditif AC menjadi yang terendah kandungannya dibanding bioaditif A dan AE serta B35 tanpa bioaditif. “Kami memang mencari formula bioaditif yang efektif menurunkan kadar air dan partikulat,” ucap Dwi di kantornya Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi IPB University pada Selasa, 21 Januari 2025.

“Kami tahu fungsi terpentin menurunkan kadar air, rodinol menurunkan partikulat,” tuturnya. “Jika B35 di tangki penyimpanan ditambahi bioaditif, gumpalan air dan partikulat tak lagi mengapung, melainkan mengendap di dasar tangki.”

Berdasarkan riset tersebut, Dwi dan timnya mengembangkan bioaditif yang diberi nama Grinzest. Untuk komersialisasi Grinzest, IPB University menjalin kerja sama dengan PT Aromatik Teknologi Indonesia. “Kelebihan Grinzest dibanding bioaditif lain adalah kami ada data pendukungnya dari percobaan-percobaan yang mengkonfirmasi peningkatan tersebut,” kata Meika Syahbana Rusli, Kepala Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi yang juga terlibat dalam penelitian.

Kehadiran Grinzest menambah pilihan produk bioaditif di pasar dalam negeri yang masih dikuasai aditif sintetis impor. Jodi Sucipto mengatakan kini kapasitas produksi pabrik Cetrol-N15 yang berada di Bekasi, Jawa Barat, mencapai 50 ton per bulan. "Bisa ditingkatkan dengan cepat karena bahan baku semua ada di dalam negeri," kata Jodi, yang selama ini mendapat pasokan minyak serai wangi dari petani di Jonggol dan Gununghalu di Jawa Barat. 

Jodi berharap pemberlakuan mandatori biodiesel B40 akan mendatangkan pelanggan baru bagi produk bioaditifnya. Dia yakin banyak pengguna biodiesel yang akan beralih menggunakan bioaditif. "Potensi pasarnya di industri saja 20 miliar liter per tahun," ujar Jodi, yang dipilih Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menjadi wakil Indonesia dalam Asia-Pacific Challenge 2011 di Bengaluru, India, karena invensinya itu.

Anwar Siswadi dari Bandung berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Serai Wangi Tutup Masalah Biodiesel 

Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus