Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Dua Anggrek Baru dari Batanta

Peneliti anggrek menemukan dua spesies baru di Pulau Batanta, Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Sebelumnya hanya ada di Kepulauan Solomon dan Papua Nugini.

16 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Anggrek tanah atau anggrek terestrial Acanthephippium javanicum Bl. Bijdr, koleksi Taman Anggrek Ranu Darungan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, 12 Desember 2020. TEMPO/Abdi Purmono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tim peneliti Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat menemukan 90 spesimen dalam inventarisasi anggrek di Pulau Batanta, Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat.

  • Ada dua spesies anggrek yang sebelumnya hanya ditemukan di dua lokasi di dunia: Pulau San Cristobal di Kepulauan Solomon dan Pegunungan Torricelli di Papua Nugini.

  • Tim juga menemukan Dendrobium cuneatum, anggrek berbunga mini berwarna kehijauan yang sebelumnya hanya ditemukan di wilayah Sulawesi dan Maluku.

SEJAK Maret lalu, tim dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat yang dipimpin Reza Saputra berkolaborasi dengan peneliti anggrek dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Destario Metusala, menginventarisasi keberagaman anggrek di Pulau Batanta, Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Menurut Destario, hingga saat ini tim berhasil mengoleksi sekitar 90 spesimen anggrek. "Jumlah keberagaman sesungguhnya diperkirakan jauh lebih banyak karena luas kawasan yang dijelajahi tim terbatas," kata Destario, Kamis, 14 April lalu.

Ia mengatakan sebagian besar anggrek itu pun baru dapat diidentifikasi di tingkat genus karena ditemukan dalam keadaan belum berbunga. "Keberadaan organ bunga mutlak diperlukan sebagai petunjuk identifikasi hingga tingkat spesies," tutur Destario. Beberapa spesimen yang dapat diidentifikasi hingga tingkat spesies antara lain Dendrobium trichostomum, Brachypeza indusiata, Coelogyne beccarii, Habenaria trichaete, Dendrobium pseudocalceolum, dan Dendrobium auricolor. Timnya juga menemukan anggrek yang kerap menjadi target perburuan.

Selain itu, tim menemukan Taeniophyllum torricellense, anggrek akar yang sebelumnya hanya ditemukan di dua lokasi, yaitu Pulau San Cristobal di Kepulauan Solomon dan Pegunungan Torricelli di Papua Nugini. Ada pula Dendrobium incumbens yang tercatat hanya pernah ditemukan di bagian sisi timur jauh Pulau Papua di kawasan hutan Papua Nugini. "Artinya, kedua anggrek tersebut belum pernah terdata secara ilmiah di kawasan hutan negara Indonesia," ujar pria yang meraih Maurice Swingland Prize dari University of Kent, Inggris, tersebut.

Penemuan dua spesies anggrek tersebut menjadi dasar ilmiah yang kuat untuk memasukkan keduanya ke daftar keberagaman anggrek Indonesia. Tim juga menemukan Dendrobium cuneatum, anggrek berbunga mini berwarna kehijauan yang sebelumnya hanya ditemukan di Sulawesi dan Maluku. Temuan ini, menurut Destario, menambah informasi mengenai jangkauan distribusi alaminya yang melewati zona Wallacea dan mencapai zona biogeografi Papuasia. "Jadi Dendrobium cuneatum bukan lagi anggrek endemis kawasan Wallacea," ucapnya.

Menurut Destario, penemuan ini mengindikasikan jangkauan sebaran alami biji pada beberapa spesies anggrek dapat menjangkau kawasan yang sangat luas, bahkan hingga melintasi bentangan laut dalam. Sementara itu, menurut Reza, seperti dalam siaran pers BRIN pada Jumat, 25 Maret lalu, Batanta memiliki keberagaman tipe ekosistem yang masih alami, dari pantai, hutan hujan tropis, dataran rendah, hingga pegunungan dengan ketinggian lebih dari 1.100 meter di atas permukaan laut. "Tapi penelitian masih jarang dilakukan," katanya.

Reza mengatakan temuan anggrek ini juga dapat menjadi penanda ekosistem yang baik. Anggrek kerap dijadikan indikator kesehatan ekosistem karena sensitivitasnya pada kelembapan, suhu, intensitas cahaya, dan tingkat keasaman (pH). Menurut Destario, adanya perubahan karakter pada habitatnya—bahkan hanya dalam skala kecil—dapat mempengaruhi pertumbuhan spesies tertentu yang lebih sulit beradaptasi.

Karena itulah kelestarian anggrek berkaitan erat dengan perubahan iklim. Destario mencontohkan, kenaikan suhu 1 derajat Celsius dapat mengakibatkan pergeseran waktu pembungaan yang cukup signifikan. Peningkatan intensitas kekeringan juga dapat mengancam kelompok anggrek tertentu yang lebih rentan secara fisiologis dan struktur anatomisnya. Contohnya kelompok subgenus Goodyerinae yang umumnya berkutikula tipis dan tak memiliki struktur penyimpanan air yang optimal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus