Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perayaan Hari Valentine, yang identik dengan cokelat, tak lepas dari dampak krisis iklim. Curah hujan tinggi dan panas ekstrem telah memangkas produksi kakao, menyebabkan lonjakan harga bahan baku coklat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan hasil studi terbaru organisasi amal internasional Christian Aid, Cocoa Crisis: How Chocolate is Feeling the Bite of Climate Change, mengungkapkan bahwa perubahan iklim telah menghantam produksi kakao di Ghana dan Côte d’Ivoire—dua negara penghasil kakao terbesar di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibatnya, harga kakao melonjak hingga mencapai rekor tertinggi US$ 12.605 per ton pada Desember 2024. Selama beberapa tahun terakhir, harga kakao telah meningkat hingga 400 persen, menempatkan masa depan petani kakao dalam risiko besar.
Sementara itu, laporan Climate Central mencatat bahwa pada 2024, suhu di atas 32°C berlangsung selama enam pekan di 71 persen wilayah penghasil kakao di Afrika Barat, termasuk Ghana, Côte d’Ivoire, Kamerun, dan Nigeria—suhu yang terlalu panas untuk tanaman kakao. Selain itu, pola curah hujan yang tidak menentu selama musim panen semakin memperburuk kondisi produksi.
Meskipun Afrika Barat mendominasi produksi kakao global, Indonesia menempati posisi ketiga dengan 11,4 persen dari total produksi dunia pada 2022, setara dengan sekitar 667 ribu ton.
Policy Strategist CERAH Wicaksono Gitawan menekankan bahwa jika situasi ini terus berlangsung, dampak krisis iklim dapat merugikan industri coklat Indonesia di masa depan. “Komoditas coklat mempunyai nilai ekonomi yang tinggi untuk Indonesia. Sulawesi Tengah merupakan daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia, mencapai 128.154 ton dari keseluruhan 720.660 ton pada tahun 2022,” ujar Wicaksono dalam keterangan tertulis, dikutip Ahad, 16 Februari 2025.
Menurut Wicaksono, Indonesia harus mengambil langkah serius untuk menurunkan emisi gas rumah kaca guna menjaga keberlanjutan industri coklat. “Selain berada dalam top 3 produsen coklat global, Indonesia juga memiliki pasar coklat nasional yang besar. Aksi nyata Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi harus segera didorong, demi menjaga mata pencaharian petani dan produsen coklat nasional serta berjalannya roda perekonomian,” tuturnya.
Dampak krisis iklim dirasakan langsung oleh produsen coklat. Andy Soden, Direktur Operasi Kernow Chocolate mengungkapkan bahwa produksi kakao global dalam empat tahun terakhir telah terdampak perubahan iklim ekstrem seperti El Niño dan La Niña.
“Pasokan yang rendah dan permintaan global yang tinggi telah mendorong harga pasar kakao dari yang relatif stabil menjadi lebih dari £10.000 per ton. Bagi produsen kecil seperti kami, ini bisa membuat kami gulung tikar dalam jangka panjang karena harga grosir untuk tahun 2025 hampir melampaui harga eceran kami pada 2023,” kata Soden.
Osai Ojigho, Direktur Kebijakan dan Kampanye Publik Christian Aid, juga menyatakan, perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca dari negara-negara utara telah membawa dampak besar bagi petani kakao.
“Menanam kakao adalah mata pencaharian penting bagi banyak masyarakat miskin di seluruh dunia, tapi perubahan iklim yang disebabkan manusia mengancam sumber penghasilan ini. Kita perlu mengurangi emisi dan menyediakan pembiayaan iklim yang ditargetkan untuk membantu petani kakao beradaptasi,” kata Osai.