Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Ahli Utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Irfan Budi Pramono, merekomendasikan mitigasi daerah aliran sungai (DAS) untuk mengatasi masalah persediaan air yang minim. Pengembangan DAS itu berbasis nature base solution (NBS) yang terkait dengan konsep rekayasa ekologi dan adaptasi berbasis ekosistem.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"NBS mengidentifikasi masalah dengan solusi berbasis alam. Artinya alam itu yang mengobati kekurangannya sendiri," kata Irfan dalam agenda Profesor Talk di Gedung BRIN, Jakarta, Selasa, 23 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Krisis iklim dengan skala global dikhawatirkan terus menggerus persediaan air di sebagian besar wilayah Indonesia. Kondisi yang berkembang setiap tahun ini diperparah peningkatan suhu udara dan kebutuhan akan air bersih. Khusus di Jakarta, tim BRIN menemukan bahwa kebutuhan air untuk masyarakat lebih besar dibanding persediaan yang ada. Dalam setahun, seisi Jakarta membutuhkan 30 ribu liter per detik, namun yang bisa disalurkan ke masyarakat hanya 18 ribu liter air per detik.
Menurut Irfan, NBS terkait dengan praktik restorasi ekologi. Pengelolaan berkelanjutan merupakan kunci dari pengembangan dan implementasi NBS. Solusi ini membutuhkan campur tangan manusia. Reboisasi dan penyediaan lahan resapan air tanah termasuk upaya yang bisa mengoptimalkan NBS.
Dia juga menyarankan pemetaan wilayah yang berisiko banjir dan kekeringan. “Jika berada di wilayah rentan banjir, perlu mitigasi lain. Tidak bisa disamakan dengan wilayah yang kering."
Selain reboisasi dan pengelolaan lahan resapan tanah, NBS juga bisa berupa agroforestry, agrosilvopastura, penanaman dalam sistem strip, kontur, serta konservasi teknis lahan. Metode ini untuk menyokong penanaman dan penghijauan yang dampaknya tidak signifikan.
Suhu Bumi Meningkat dalam Seabad
Rata-rata suhu udara di Indonesia meningkat dari 25,4 derajat Celsius pada era 1900-an, menjadi 26,2 derajat Celcius pada saat ini. Kondisi ini, menurut Irfan, imbas dari krisis iklim, serta berkurangnya debit air di sungai-sungai besar di Jawa. Dari peninjauan BRIN, persediaan air di Sungai Ciujung, Cikapundung, Cimanuk, Citanduy, Bengawan Solo, hingga Brantas, kian surut dari waktu ke waktu.
Laporan Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) juga pernah mengidentifikasi pengurangan cadangan air dalam tanah akibat peningkatan suhu bumi. Dampaknya adalah potensi kekeringan ekstrem.
Irfan menyebut peningkatan suhu acap kali dibarengi evapotranspirasi, atau gabungan evaporasi dan transpirasi tumbuhan yang hidup di permukaan bumi. Air yang diuapkan oleh tanaman dilepas ke atmosfer.
Perubahan iklim, irfan meneruskan, juga memperburuk ketahanan pangan akibat pola hujan yang tidak menentu. Kondisi serupa jjuga bisa menyebabkan bencana hidrometeorologi. “Bahkan dapat memicu migrasi massal dan meningkatkan konflik sosial serta politik," ujar lulusan program doktor Universitas Sebelas Maret, Surakarta, tersebut.
Wakil Kepala BRIN, Amarulla Octavian, mengatakan perubahan iklim berdampak terhadap sumber daya air. Dampaknya mulai dari krisis air bersih perkotaan, kerawanan pangan, naiknya frekuensi penyakit, perubahan pola curah hujan, serta potensi bencana.
"Perubahan iklim juga meningkatkan suhu bumi, dampaknya akan kita rasakan secara langsung atau tidak langsung," tutur dia.