Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Tabung pemantau kondisi air laut Arhea, singkatan dari Advanced Drifter GPS Oceanography Coverage Area, masuk daftar pemenang ajang '115 Inovasi Indonesia 2023' gelaran Business Innovation Center. Karya inovasi tim dosen Universitas Padjadjaran (Unpad), Jatinangor, itu telah dipakai di negara kepulauan Fiji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tahun lalu diserahkan ke negara Fiji sebanyak satu unit sebagai bagian dari kerja sama dengan UNDP,” kata ketua tim riset dari Departemen Ilmu Kelautan Unpad, Noir P. Purba, Kamis 29 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arhea merupakan pengembangan yang lebih maju dari alat sejenis yang dinamakan Drifter GPS Oceanography Coverage Area atau disingkat Rhea. Kedua alat pemantau kondisi air laut, juga danau, atau waduk, itutelah diganjar penghargaan Kompetisi Inovasi Jawa Barat 2022.
Apakah pemerintah Indonesia telah menggunakannya seperti Fiji? ”Wah, pertanyaan sulit ini,” kata Noir sambil tertawa.
Pembuatan Arhea dengan harga jual Rp 150 juta itu melibatkan PT Robo Marine Indonesia di Bandung serta sokongan dana hibah dari United Nations Development Programme (UNDP) khusus untuk negara kepulauan. Berupa tabung sepanjang 1 meter dan berdiameter 144 milimeter, Arhea yang berbobot 15 kilogram ini memiliki kemampuan menyelam hingga 200 meter.
Di dalam tabung berbahan aluminium alloy itu dipasangi berbagai sensor, baterai, penyimpan data, global positioning system (GPS), serta sistem komunikasi lewat radio dan satelit.
Sensor yang dipasang sesuai kebutuhan pengguna, bisa untuk mengukur parameter atmosfer seperti suhu udara dan kelembapan. Sementara parameter di dalam air seperti untuk mengetahui kondisi salinitas atau kadar garam air laut, derajat keasamaan (pH), suhu air, oksigen terlarut (DO), dan kekeruhan.
"Waktu pengukuran oleh sensor bisa diatur pengguna, misalnya per 5 menit, 30, atau 60 menit," kata Noir menjelaskan.
Data yang disimpan kemudian dikirimkan via satelit, lalu diterima oleh Pusat Data Kelautan Terintegrasi yang dikembangkan oleh tim riset. Data yang dikumpulkan itu bisa digunakan oleh pihak yang terkait erat dengan laut, misalnya Kantor Dinas Kelautan, lembaga riset, atau institusi lain, "Misalnya untuk mengetahui keberadaan ikan dan memetakan areanya."
Sebelum mencapai batas jarak terdalam, sensor akan memberi sinyal agar alat segera naik dengan dorongan mesin rotor yang dipasang di bagian dasar tabung. Sampai di permukaan air, dari dalam tabung akan mengirimkan data, dan setelah data terkirim, akan turun lagi ke kedalaman laut.
Noir menerangkan, alat telah dirintis sejak 2016. Tim riset lalu menguji coba kedua alat itu sekaligus melakukan pengumpulan data di Pulau Pramuka, Jakarta, dan perairan sekitar Pantai Pangandaran, Jawa Barat. "Agar tidak mudah kembali ke daratan, penempatan alatnya harus di laut lepas," kata dia.
Kini tim peneliti sedang mengajukan proposal ke Direktorat Pendidikan Tinggi untuk lebih mengembangkan Arhea. Noir mengungkap, yang nanti dikembangkan adalah sistem dan sensor yang lebih disesuaikan dengan isu pemanasan global.
Menurutnya, keadaan laut di Indonesia sedang tidak baik-baik saja sehingga butuh bantuan analisis data yang kontinyu. Bahkan, perubahan iklim disebutkan telah membuat Indonesia rugi triliunan rupiah.
“Nah kalau ada data, tentunya hal tersebut bisa dimitigasi,” ujar Noir sambil menambahkan, Arhea dibuat untuk mengukur dan memberikan data kepada pemerintah. “Paling tidak, harapan saya, industri dalam negeri bisa masuk ke laut karena di sini ada masalah. Arhea dapat menjadi contoh nyata untuk pengembangannya,” katanya.