KEJATUHAN diktator Filipina, Ferdinand Marcos, ternyata telah membuahkan ledakan berita di seantero dunia. Dan letupan itu membuat pers Barat rajin menggali berbagai hal, tentang Filipina - yang punya hubungan langsung maupun tidak dengan turunnya Marcos. Dalam ikhtiar bongkar-membongkar itu, ketenangan suku terasing Tasaday, di Mindanao Selatan, terusik, bahkan terguncang. Suku terasing yang ditemukan antropolog Amerika, John Nance, pada 1971 dituduh pers sebagai penipuan besar di bidang antropologi. Sebelumnya, penemuan ini dianggap sebagai salah satu penemuan besar antropologi, karena Tasaday adalah salah satu suku terasing yang masih hidup dalam zaman batu. Terutama, saat ini, di dunia sudah hampir tak dikenal lagi kebudayaan macam itu. Tuduhan pada tiga antropolog yang menemukan Tasaday - Nance dan dua antropolog Filipina, Jesus Peralta dan Carlos Fernandez - sebenarnya sudah mulai diembuskan pada 1983. Namun, tak sampai menjadi berita. Baru setelah peralihan kekuasaan di Filipina menyerap perhatian dunia - dan masyarakat dunia terpikat membaca berita tentang negara itu - kasus Tasaday diuaruarkan lagi. Sekali ini menjadi berita besar. Menghadapi kericuhan itu, Nance bersama kedua rekannya, setelah lewat satu dekade lebih, kembali mengunjungi suku Tasaday. Perjalanan mereka selesai, akhir bulan lalu, dan pertengahan bulan Mei ini The Science Times mewawancarai mereka. Ketiga antropolog itu tentu menyangkal keras telah melakukan pemalsuan antropologi, dengan menyuruh suku itu bersandiwara, seolah-olah mereka hidup dalam zaman batu. Nance menilai, sudah sejak awalnya pers salah menafsirkan penemuannya, dan tidak membaca dengan teliti bukunya, The Gentle Tasaday. Di tahun 1971, setelah Nance dan kedua rekannya menyelesaikan penelitian dan menerbitkan buku itu, terbetik berita, di Filipina ditemukan suku terasing yang masih hidup di zaman batu. Suku ini hidup di gua-gua. Peralatan untuk berburu dan kehidupan sehari-hari hampir seluruhnya dari batu. Suku ini, diberitakan pula, tidak mengenal pakaian, kecuali cawat yang terbuat dari daun-daun anggrek. Jumlah mereka, pada 1971 itu, tak sampai 30 orang. Soal hidup di zaman batu itu, menurut Nance, adalah salah penafsiran. "Suku itu sudah berada pada masa transisi, waktu kami menemukannya," ujar Nance. Namun, kala itu, ketiga antropolog tersebut masih bisa menemukan jejak-jejak zaman batu dengan jelas. Peralatan dan juga tempat-tempat mereka hidup di gua-gua. Dan tidak terlalu sulit bagi para antropolog untuk meminta suku terasing itu melakukan rekonstruksi kehidupan zaman batu tersebut. Ini menandakan mereka masih dekat dengan cara hidup itu. Yang menarik dari suku Tasaday ini, kata Nance, walaupun primitif, suku ini tidak agresif - bagian dari kehidupan survival suku semacam itu. Bahasa suku ini sama sekali tak mengenal istilah "perang", "musuh", dan "orang lain". Karena itu, proses percampuran dengan suku-suku sekitar bisa terjadi, walaupun sangat lambat lantaran sulit mengadakan komunikasi. Dua suku yang bertetangga dengan suku Tasaday ini, suku Dafal dan Blit, termasuk suku yang relatif lebih maju. Menurut Peralta dan Fernandez, hubungan antara ketiga suku itu di tahun 1971 sudah ada. "Ketika kami datang, suku Tasaday mengemukakan kesulitan mereka mencari wanita untuk istri," ujar Peralta. Mempertimbangkan ancaman kepunahan, kelompok Nance bisa mendatangkan dua pria dan 15 wanita suku Blit untuk bercampur baur dan hidup di tengah suku Tasaday itu. "Dari suku-suku tetangga ini, dan khususnya 17 orang suku Blit itu, mereka mengenal pisau, panah, busur, dan pakaian," kata Fernandez. Maka, kemajuan yang terlihat sesudahnya, menurut Fernandez, bukan hal janggal. Dan kemajuan itu sama sekali tak menunjukkan bahwa suku itu sebenarnya bukan suku zaman batu "asli". Keadaan itulah yang terlihat oleh dua grup wartawan di tahun 1983, dan serta merta para wartawan tersebut menuduh bahwa penemuan suku Tasaday sebagai suku primitif zaman batu itu pemalsuan. Di tahun itu, Tasaday menarik perhatian karena seorang menteri - yang mengurusi suku terasing dalam kabinet Marcos, Elizalde, menghilang secara misterius. Menteri ini, yang di kalangan Tasaday dikenal sebagai Momo Dakel (Paman Agung), konon sering memerintahkan suku terasing ini kembali menggunakan cawat dari daun anggrek. Barangkali untuk tujuan pariwisata - semacam konservasi masa lampau buatan yang juga dilakukan beberapa kota tua Amerika Serikat. Para antropolog dari kelompok Nance menyatakan memang mengenal Elizalde, dan tahu menteri itu sering kali mempromosikan penemuan suku terasing tersebut. Mereka juga mengetahui, Elizalde memanfaatkan pola-pola rekonstruksi yang mereka buat untuk keperluan penelitian. Nance mengakui, ada semacam hasrat pada menteri urusan suku terasing itu, agar suku Tasaday terlihat hidup dalam zaman batu hingga kini. "Tapi saya tidak yakin hasrat itu punya hubungan dengan antropologi. Menteri tersebut sama sekali tak punya pengetahuan dan latar belakang antropologi," ujar Nance. Soal teorinya salah, Nance mengakui mungkin saja. "Itu biasa dalam antropologi," katanya. Namun, kata Nance, sementara ini tak ada antropolog lain memberikan tanggapan. "Kalau mereka mau membuktikan bahwa teori saya salah, mereka paling tidak harus membuktikan bahwa keabsahan peralatan-peralatan batu yang saya temukan meragukan," ujar antropolog Amerika itu. Yang juga harus dibuktikan salah, kunci-kunci bahasa primitif yang digunakan suku Tasaday, yang ditemukan Nance. Peralta mengutarakan, kasus Tasaday bukan cuma soal penemuan sebuah suku terasing. "Kita menghadapi sebuah kasus buku teks," ujar antropolog Filipina itu. Artinya, yang penting dalam penelitian Tasaday itu, melihat perkembangan mereka. "Waktu kami menemukan suku Tasaday, mereka terbilang manusia rimba," ujar Fernandez. "Sejak itu kami mengamati bagaimana mereka mulai menggunakan perangkat untuk berburu dan peralatan baru lainnya. Kini kami menunggu proses mereka mengenal cara bercocok tanam." Proses itulah yang dikhawatirkan tiga antropolog itu terganggu dengan pecahnya berita pemalsuan itu. Sejak berita itu meluas, sejumlah besar pengunjung, khususnya wartawan, mendatangi permukiman Tasaday. Yang mengharukan, suku itu bingung. Kendati Elizalde sudah tak ada, dan tak lagi mengunjungi mereka tiga tahun terakhir, mereka masih merasa ada kewajiban memakai cawat daun anggrek bila ada rombongan datang - dan berita pemalsuan antropologi pun diteriakkan makin keras. Kebingungan dan ketegangan itu tampak jelas ketika mereka mendengar rombongan Nance, kawan-kawan lama mereka, akan datang. Apa yang mereka lakukan? Menjambret cawat daun anggrek dan peralatan-peralatan zaman batu dan menyambut rombongan dengan kostum itu. "Pertemuan itu sangat mengharukan, mereka tak bisa lagi membedakan kami dari rombongan lain," kata Fernandez. Namun, suku Tasaday, yang kemudian mengganti baju dan memakai kaus bertuliskan Levi's, masih mengenal Nance. Ada emosi tertahan. "Sudah lama tak datang, sekarang mau apa?" ujar seorang anggota suku Tasaday, seolah menuduh Nance sebagai sumber mala petaka dan kebingungan di antara mereka. Anggota suku itu benar. Integritas Nance patut diragukan. Tak seperti antropolog besar Margareth Mead, yang setia bertahun-tahun mengamati materi-materi studinya, Nance baru datang lagi setelah 10 tahun lebih. Itu pun karena ada kericuhan. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini