BEBERAPA tusuk sate dan segelas rum bisa agak berbicara tentang peradaban. Sate yang paling enak, kita tahu, dibakar di pemanggang tua yang mungkin sejak satu dasawarsa berkali-kali dipakai. Kata seorang koki: bekas lemak dan daging lama yang meliputi batang-batang kawat itu telah jadi bumbu tersendiri. Dan segelas rum: setidaknya Claude Levi-Strauss bisa bicara sedikit tentang itu. Antropolog ini mencicipi rum di Martinique dan mencicipi rum di Puerto Rico. Yang pertama disuling dengan instrumen yang belum diganti sejak abad ke-18. Yang kedua diproses di pabrik, dengan tangki-tangki enamel putih dan pipa kronium. Tapi justru rum Martinique itulah yang harum dan lembut rum Puerto Rico sengak. "Kontras itu", tulis Levi-Strauss dalam Triste Tropique-nya, "bagi saya menggambarkan paradoksnya peradaban: pada hakikatnya charme peradaban adalah karena pelbagai residu yang dibawanya, meskipun itu tak membuat kita terlepas dari keharusan menjernihkan arusnya." Di Indonesia, seorang Takdir Alisjahbana mungkin tergolong (bersama Sjahrir, Dokter Cipto, kaum Marxis dan para modernisator lain) ke dalam pihak yang lebih ingin "menjernihkan arus" itu. Ia tak begitu gandrung pada charme. Sejak tahun 1930-an, dengan berbagai tulisan tentang perlunya kebudayaan baru Indonesia, Takdir menyeru untuk sate dengan pemanggang listrik yang masih bersih, tentang distilator rum dengan tangki enamel. Ia ingin mengabaikan residu kebudayaan lama, yang lokal, yang tersisa di jalurnya. Tahun 30-an dalam satu hal memang masa optimisme: kemerdekaan seperti sudah dijanjikan oleh sejarah dan kemerdekaan itu belum diuji dalam kehidupan. Optimisme sebelum-pengantin-baru ini, di sisi lain, juga disertai kesadaran akan ketertinggalan. "Kita sebagai bangsa yang berpal-pal jauh tertinggal di belakang," kata Takdir dalam sebuah tulisan di tahun 1937. Kita tahu: kontras antara yang dijajah dan yang menjajah begitu terang, beda antara yang "bumiputra" dan yang "Belanda" begitu tegas. Yang pertama papa, miskin, menyerah, kalah. Yang kedua memegang hegemoni di semua penjuru. Tumbuh dalam perspektif itu, tak mengherankan bila bagi Takdir sejarah tampak seperti sebuah eskalator. Atau lebih tepat: sebagai proses orang naik tangga. Sejarah adalah gerak dari jenjang ke jenjang berikutnya, dari pramodern ke modern, menuju ke satu lantai yang universal, yang tersedia bagi tiap kelompok manusia. Eropa, (dan kini lebih luas lagi: segenap dunia industri), berada di jenjang yang lebih tinggi. Dunia Ketiga di anak tangga yang lebih rendah. Dan Takdir tak sendirian. Cukup luas dikatakan bahwa keadaan yang "berpal-pal jauh tertinggal di belakang" itu disebabkan juga oleh pelbagai faktor dalam diri kalangan inlander sendiri. Dari sebuah survei di tahun 1904-1905 tentang keadaan hidup sosialekonomi di Jawa dan Madura, misalnya, C.J. Hasselman menyimpulkan antara lain satu hal: bagaimana para pejabat bumiputra sendiri, para priayi itu, menilai rakyat Jawa "benar-benar malas", "gemar bersenang-senang", "malu-malu", "kurang berani", "kurang ulet", "cepat puas". Dan Takdir pun berseru, agar kita setop semua itu. Susunan masyarakat kita, katanya, perlu berubah mendekati Barat. Kata "mendekati" sangat penting di sini: tak sebagaimana disangka banyak orang, Takdir bukanlah penganjur imitasi Barat. Ia bahkan menuduh intelektual Indonesia yang mengecam Barat di tahun 30-an itu sebagai orang-orang yang hanya menirukan suara Eropa - persisnya. suara suram Eropa tentang dirinya sendiri, yang telah tua dan jadi skeptis tentang kemajuan. Sutan Sjahrir dengan tepat melukiskan elan Pujangga Baru, ketika ia menuliskan tinjauannya untuk lustrum pertama majalah itu di tahun 1938, dari pembuangan: "Semangatnya masih dapat menyala oleh cita-cita, yang hanya membuat skeptikus Eropa tersenyum". Tapi semua itu terjadi di tahun 30-an. Setengah abad kemudian, optimisme sebelum-kemerdekaan akhirnya diuji setelah kemerdekaan - dan banyak di antaranya yang rontok. Residu kebudayaan lama ternyata tetap menebal. Tradisi tak mati-mati. Dan mungkin tidak terlalu ganjil sebenarnya. Melihat Prancis setengah abad lebih setelah Revolusi, Marx (seorang aktivis juga) pernah menyadari: "Tradisi seluruh generasi yang telah mati memberat, bagai mimpi buruk, dalam pikiran mereka yang masih hidup." Apalagi mimpi buruk itu punya akar dalam kenyataan yang tangguh. jika pribumi Indonesia kami masih tetap tampak "malas" dan "kurang ulet", mungkin karena mereka terpaksa bernapas dalam kepadatan penduduk dan berbagi kerja serta nafkah. "Involusi pertanian", yang sering disebut itu, telah memaksa mereka bekerja hanya sedikit, dalam lahan yang tambah sedikit. Jika pribumi Indonesia kini masih tampak "kurang berani", mungkin itu mungkin karena risiko terlampau besar buat daya tahan mereka. Posisi mereka (untuk mengutip ungkapan Tawney tentang rakyat di pedalaman Cina di tahun 1931) "ibarat orang yang terus-menerus berdiri di dalam air, setinggi leher." Satu gerak saja yang salah dan seombak kecil saja menendang, ia akan tenggelam. Maka, ia pun membutuhkan kepastian. Tradisi menjadi awet. Tradisi dan peri laku yang tumbuh dari sana itu dengan sendirinya tak akan berubah, sebelum posisi celaka itu berubah. Bagaimana? Dari survei 1904-1905 dulu pun Hasselman telah mencatat sejumlah pendapat tentang apa saja yang harus ditiadakan: "despotisme", "sistem kasta", "privilese kelas", "otokrasi kepala desa", "ketidaksederajatan di depan hukum." Satu daftar yang jangkung-panjang, yang sampai kini belum selesai. Itu tak berarti selama tiga perempat abad ini tak ada perubahan apa pun. Mungkin justru perubahan besarlah yang terjadi - namun dengan hasil yang tak sepenuhnya bisa dilihat seorang modernisator tahun 30-an. Sebab, tradisi punya cara limbungnya sendiri - barangkali juga punya cara sekarat yang tak terduga. "Akhir sebuah tradisi tak dengan sendirinya berarti hilangnya kekuatan konsep tradisional dalam pikiran manusia", tulis Joseph Levenstone ketika ia menelaah nasib Konfusianisme di Cina modern. Justru sebaliknya. Kekuatan itu, kata Levenstone pula, "mungkin malah menunjukkan daya tindasnya yang penuh, justru setelah akhir hayatnya sampai, dan orang tak berontak lagi melawannya." Mungkin itulah penjelasan, kenapa gerak naik-tangga sejarah itu tak seluruhnya jelas dan pasti. Sebab, dilihat dari dalam, sejarah sebuah bangsa memang tak akan tampak sebagai proses seorang yang naik tangga. Yang akan tampak adalah pelbagai orang, pelbagai kekuatan, tarik-menarlk, ada yang jatuh dan ada yang meloncat. Pola itu agak ruwet, memang, dan tak cocok benar dengan desain seorang aktivis modernisasi. Tapi haruskah ia disesali?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini