Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Afghanistan: para pejuang muslim, bersatulah

Kisah perjuangan mujahidin melawan rezim Kabul. berkat peran ganda habib gul benteng Khowst jatuh ke tangan mujahidin. banyak tentara memihak mujahidin. sementara mujahidin belum bersatu.

11 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagian besar kawasan luar kota di Afghanistan konon sudah dikuasai para mujahidin. Tapi Kabul tak juga jatuh. Faksifaksi di dalam tubuh perjuangan muslim itu belum juga belajar dari perang yang sudah 10 tahun: mereka masih suka baku tembak sesamanya. Sebuah laporan dari Khowst salah satu benteng strategis rezim Kabul yang jatuh di tangan mujahidin oleh Mark Bouman, kepala biro Televisi ABC di Moskow, dan Markos Kounalakis, koresponden Televisi NBC di Moskow, sebagaimana dimuat di Los Angeles Times Magazine, 23 Februari 1992. Jaludin Haqqani, ketua Dewan Komando Mujahidin, duduk bertelanjang kaki di bantal kecil di markasnya, di kota perbatasan Pakistan, Miram Shah -- salah satu benteng strategis kaum pejuang muslim Afghanistan. Ruang kerjanya dilengkapi telepon, mesin facsimile dan peta Afghanistan ukuran raksasa. Dialah Haqqani, sang ketua bermata coklat dan tajam, yang menurut para panglimanya selalu mondar-mandir bertelanjang kaki bila merencanakan suatu pertempuran. Para pengawalnya, yang bertampang seram, tak melepaskan tangannya dari sarung pistol kulit, yang digantung di ikat pinggang bergambar palu arit -- bekas milik tentara Soviet. Suatu pemandangan yang mengingatkan bahwa pada akhir pertengahan abad ke-20, si kulit putih yang beradab takluk kepada tentara pribumi yang lebih kuat keyakinannya pada agama, rumah, dan tanah air. Puluhan orang, di antaranya khusyuk dalam doa, menunggu di luar kantor Haqqani. Mereka ada yang menunggu komando, bermaksud meminta nasihat atau perlengkapan senjata. Tentara-tentara ini, yang pernah mengalahkan Soviet dalam perang yang menghancurkan selama hampir 10 tahun, adalah para pribumi yang dipimpin oleh orang-orang seperti Haqqani -- pemimpin yang tidak hanya menjadi panglima, tapi juga menyelenggarakan semacam pemerintahan dan juga sebagai pemimpin agama. Setelah mengimami salat di halaman, Haqqani kembali ke kantornya untuk menengahi pertengkaran kedua perwiranya. Anak buahnya itu berebut untuk mendapatkan bagian lebih besar dari persenjataan yang baru dipasok oleh pemerintah Pakistan. Di situlah Haqqani bertindak sebagai hakim. Dan jarang ada yang berani membantahnya. Haqqani, seorang sarjana agama dan anak seorang kepala suku berpengaruh, mewakili bentuk Afghanistan masa depan dan kekuatan masa lalu. Kini, lebih dari satu dekade, ia dan pucuk pimpinan di Dewan Komando Mujahidin, menjadi sosok-sosok militer paling berpengaruh dalam kekuatan oposisi. Mereka menggabungkan kekuatan budaya dengan persenjataan modern untuk menentang siapa saja yang ingin mengubah bentuk Afghanistan. Setelah dua abad dijejali ideologi impor, Afghanistan, seperti kebanyakan Dunia Ketiga, mencoba mencari bentuk negara yang lebih selaras dengan tradisi setempat. Haqqani bicara dengan keyakinan seorang yang telah melihat pasang surutnya perubahan sejarah menurut kepentingannya. "Dua puluh tahun lalu rakyat kami adalah bebek-bebek Marxis, Leninis, dan kapitalis," katanya dengan menyembur -- diucapkahnnya faham-faham itu dengan kesebalan yang sama. "Kini mereka berjuang untuk perang suci. Mereka telah berubah." Perjuangan mujahidin dimulai sejak akhir tahun 1979, ketika kaum Marxis Afghanistan dibantu pasukan Soviet merebut kekuasaan. Perubahan di Uni Soviet menyebabkan pasukan Soviet ditarik pulang mulai April 1988 sampai Februari 1989. Ketika itu para pengamat internasional berspekulasi gerilyawan muslim akan dapat segera masuk Kabul dan menguasai pemerintahan. Ternyata, pertikaian di antara faksi-faksi mujahidin menyebabkan perjuangan merebut Kabul lambat jalannya. Tapi, bagaimanapun tentara Afghanistan, yang ditinggalkan pasukan Soviet, tak mampu menjaga semua front dengan kekuatan sama. Beberapa kota dan wilayah satu per satu jatuh ke tangan mujahidin. Kini, mujahidin menguasai sebagian besar kawasan luar kota, beserta rakyat setempat, tapi para pejuang muslim itu belum juga dapat mendamaikan faksi-faksi mereka sendiri. Masalahnya, kata Abdul Haq, panglima daerah Kabul dan anggota Dewan Komando, Soviet telah menghancurkan sebagian tatanan tradisional dalam masyarakat Afghanistan. Pada masa lalu, negeri ini melawan pendudukan asing dengan caranya sendiri. Para pemimpin agama setempat, tutur Haq, bertindak sebagai komandan tertinggi dan memproklamasikan jihad terhadap para penyerbu asing. Para kepala suku menyediakan peralatan perang, dan rakyatlah pelaksana perang jihad itu. Namun, masuknya konsep "sama rata sama rasa" komunisme, membuat pemimpin-pemimpin tradisional ini kehilangan gigi. Pemerintah Soviet sengaja menobatkan pemimpin sekuler di berbagai wilayah. "Selama tahun-tahun pertama perang," kata Haq, "ketika kami bertempur di gunung, CIA dan Pakistan membiayai para fundamentalis." CIA, badan intelijen Amerika Serikat, dan Pakistan memperhitungkan kelompok inilah yang paling kecil kemungkinannya berkompromi dengan rezim berkuasa. Namun, kini timbul masalah bagi pihak sponsor. Kelompok garis keras itu menjadi lebih kuat dari kebanyakan rakyat. Dan mereka tak mau kompromi sama sekali. Kelompok inilah yang disebut-sebut sebagai gerilyawan mujahidin. Negaranegara seperti Arab Saudi, Iran, Cina, dan Pakistan makin memperumit urusan ini. Masing-masing ingin meningkatkan kekuatan politiknya di negeri itu dengan berlomba-lomba mengucurkan dana untuk perang suci. Bagi kelompok garis keras ini, mendapat bantuan asing halal saja, tapi mereka tak sudi bila para sponsor itu menentukan agenda politik perjuangan. Yang terjadi, di pegunungan Afghanistan tengah, Iran mendanai suku Pushtun yang fundamentalis Syiah yang berbau Maois. Di Afghanistan utara, Cina menyeponsori suku Tajikistan aliran Suni. Di Provinsi Kunnar, fundamentalis Arab dibiayai oleh berbagai ulama Arab. Kelompok ini belakangan lebih banyak menghabiskan waktu untuk gontok-gontokan dengan bekas sekutu Afghanistannya daripada memerangi rezim Najibullah. Memang, di antara berbagai kelompok oposisi di Afghanistan, saling telikung menjadi urusan sehari-hari. Seorang petugas dari Amerika, yang menolong para mujahidin menemukan kuburan ranjau Soviet dengan anjing pelacak, mengeluh. Katanya bahwa beberapa kelompok menggunakan bombom itu untuk menjegal perwira lainnya, yang semestinya menjadi sekutunya. Banyak dari sukusuku di Afghanistan memindahkan kesetiaannya hanya sekejap mata, tergantung siapa yang lebih banyak uang dan siapa yang muncul sebagai pemenang saat itu. Pada April 1991, di bawah pengawasan Haqqani, beberapa panglima dapat bergandengan tangan selama beberapa bulan untuk merebut Khowst, kota yang tak jauh dari perbatasan Pakistan. Tapi begitu pasukan pemerintah mengepung, menurut orang yang terlibat dalam pertempuran, bermacam kelompok mujahidin mulai baku hantam di antara mereka sendiri, dalam kota yang direbut itu. Kini, setiap orang ingin menjadi satu-satunya penakluk Kabul dan memenangkan perang. Lucunya, siapa pun juga tahu bahwa untuk merebut Kabul diperlukan kerja sama -- suatu kerja sama yang unik dalam sejarah Afghanistan bila terlaksana. Sejauh ini, usaha menjatuhkan rezim Kabul menciptakan berbagai pertempuran, yang telah membunuh satu dari tiap sepuluh orang Afghanistan dan menjadikan gelombang pengungsi terbesar di dunia. Lebih dari lima juta pengungsi Afghanistan tinggal di kampung pengungsi di Pakistan dan Iran tanpa makanan dan perawatan yang cukup. Tempat-tempat penampungan raksasa itu berada di gurun pasir Pakistan, memanjang bermilmil ke kawasan yang sepuluh tahun lalu tak berpenghuni, jauh dari lingkungan yang nyaman dengan kerimbunan pohon ara dan pagar mewah pada rumah-rumah elit politisi Afghanistan di Peshawar atau Miram Shah. Ada kamp orang-orang Tajikistan, kamp suku Pushtun, kamp muslim Suni, dan kamp Syiah. Ada juga kamp khusus buat para janda dan anak-anak yatim piatu. Selain itu, ratusan kompleks kuburan terlihat bagaikan mengulur Pakistan ke tepi horison Afghanistan. Para wanita dan bocah, yang menjadi kelompok terbesar di pengungsian, tidak mempunyai pendapat politik. Mereka hanya mempunyai satu keinginan: pulang ke rumah. "Saya tetap memimpikan Kabul di waktu malam, " ujar Sayed Khalid, pengungsi tua, yang menjual karpet Afghan di Peshawar. "Kalau saja kekerasan berakhir," katanya, "saya dapat mulai membangun kembali kehidupanku di sana." Perang Berkepanjangan Sejumlah komandan mujahidin, seperti Abdul Haq dan Jaludin Haqqini mengecam para pemimpin politik di pengasingan dan campur tangan pihak asing yang menyebabkan meletusnya pertempuran antarmujahidin. Pertikaian antar mereka inilah yang menjadikan perang di Afghanistan berkepanjangan. "Para pemimpin keagamaan dan intelektual yang beroposisi membuka kantor di Pakistan," tutur Haq. "Mereka mencari dukungan internasional." Selama perang, konon, Amerika Serikat dan Arab Saudi tiap tahun memberikan bantuan US$ 300 juta sampai US$ 500 juta, untuk membeli senjata dan bantuan kemanusiaan. Tapi, perubahan di Uni Soviet menyebabkan pemberi bantuan mengubah sikap. Amerika resmi menghentikan bantuannya sejak 1 Januari 1992. Dan Arab Saudi kini ditekan oleh Washington dan Moskow agar menghentikan bantuan militer kepada mujahidin. Namun, bantuan yang sifatnya pribadi, dari para syeikh dan para pemimpin agama di negara-negara Islam, dapat menutup kebutuhan para gerilyawan muslim itu. Haqqani, misalnya, masih dapat memperoleh 80% bantuan yang ia butuhkan lewat kantor perwakilannya di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Dan Arab Saudi sempat mengirimkan 300 tank Irak, yang direbut dari Perang Teluk setahun yang lalu, kepada para pejuang muslim Afghanistan itu. Belum lama lalu, Kepala Intelijen Arab Saudi, Turki Faisal, mempertemukan para pemimpin mujahidin dengan Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif, untuk membicarakan cara mendapatkan bantuan baru sehubungan dengan dihentikannya bantuan dari Amerika. Masalahnya, antara para pemimpin di pengasingan dan para komandan di lapangan sering tak sejalan. Boleh saja -- atas permintaan Arab Saudi, Pakistan, dan Amerika -- para pemimpin itu merundingkan jalan perdamaian, tapi tanpa melibatkan komandan lapangan itu sama juga tidak ada perundingan. Para komandan sudah menjadi semacam pemerintah di banyak wilayah sejak bertahun-tahun, tutur Haqqani. Merekalah yang akan menjadi sumber para pemimpin pemerintahan Islam Afghanistan nanti. Para pengamat Barat tampaknya banyak yang menyetujui pendapat Haqqani. "Masalahnya," kata seorang diplomat Amerika, "meski ada perundingan internasional, antara lain, dengan Iran dan Pakistan, orang-orang yang berunding itu tidak mempunyai kekuasaan nyata di Afghanistan. Hancurnya komunisme di Soviet membuat Najibullah, kini, hanya mempunyai sepasukan tentara yang korup dan sejumlah pesawat tempur untuk menunda kekalahannya. Para komandan mujahidin menguasai sebagian besar rakyat bersenjata. Di antara mereka ada yang sudah siap merebut Kabul." Habib Gul, sang Agen Ganda Memasuki Miram Shah, daerah yang konon banyak menyaksikan bagaimana faksi-faksi mujahidin saling baku tembak, segera terdengar sayup suara seperti pukulan palu pandai besi. Itulah suara senapan mesin ringan, yang datang dari kampkamp latihan mujahidin dekat Khowst. Ratusan truk Toyota kemudi roda empat baru -- sumbangan dari donatur di Arab Saudi, Kuwait, dan Amerika -- tampak menyusuri jalan-jalan perbukitan yang penuh dipasangi ranjau. Jalan yang berliku dan rasanya tanpa ujung. Sementara itu, lembah sungai kerontang dan lubang-lubang jalan yang hitam siap menelan truk-truk itu. Beberapa kilometer lebih ke dalam, mulai terdengar semacam permainan perkusi dari senjata-senjata berat di Gardez, kota kelahiran Najibullah. Setelah perang bertahun-tahun, tampaknya para mujahidin mulai hampir bosan dengan penyerangan-penyerangan ke Gardez, kota yang terletak di lembah, yang jauhnya kurang dari setengah kilometer dari Khowst. Para prajurit Islam itu mengenakan seragam tentara Soviet, yang mereka jarah dari tokotoko pemerintah, dari tawanan perang, atau dari musuh yang tewas. Antara Khowst dan Gardez suasana porak poranda. Di mana-mana tampak bekas perang, yang mungkin merupakan produk terakhir dari Perang Dingin Barat dan Timur. Sisa tank-tank yang hangus dan karatan, rongsokan kendaraan lapis baja, dan helikopter berserak di sepanjang lembah yang kerontang. Barang-barang berlabel Rusia, Inggris, Arab, dan Prancis tampak di segala sudut. Sebuah grafiti terukir di penopang meriam sebuah tank: "Kami akan menjadi pemenang atas kehendak Tuhan." Dan sesekali, meski gaung artileri modern dari arah perbukitan memekakkan telinga, suasana kuno Afghanistan muncul. Orang-orang bercambang dengan serban putih pegunungan, yang mulutnya penuh dengan tembakau atau buah kurma kering, menghambur ke jalan saling berpegangan tangan. Tampak hiasan cantik kain berbunga-bunga pada sisi senjata mereka atau sarung pistol dari kulit bermutu tinggi. Setelah berabad-abad suku-suku pegunungan ini diserbu tentara, baik suku Pushtun, Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan -- suku-suku yang membentuk masyarakat Afghanistan -- dengan mudah mereka mengganti alat-alat pertanian, kambing, dan domba-domba gemuk menjadi alatalat pembunuh modern yang dingin. "Allahu Akbar," -- Tuhan Mahabesar -- seru seorang mujahidin muda, yang mengenakan pakaian kerja modern, sambil meluncurkan roket dari peluncur di bahunya ke arah tank-tank yang mengepung Gardez. Komandan yang berdiri di dekatnya, bernama Habib Gul, menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa, lalu, ia mengusap-usap cangkir yang berisi teh hijau Afghanistan yang dipegangnya. Habib Gul, komandan sebesar beruang, memulai perang sebagai anggota Partai Demokratik Rakyat Afghanistan, partai yang berkuasa. Kemudian ia menjalani latihan sebagai agen KGB Afghanistan di Leningrad (sekarang kembali bernama St. Petersburg), badan intelijen yang pernah dipimpin oleh Najibullah. Bagi Gul, yang dibesarkan dalam keluarga muslim yang saleh, latihan di Leningrad hanya membuatnya sadar. "Tak seorang pun percaya pada apa pun di sana (Soviet)," tuturnya. "Mereka bukan komunis. Mereka bukan apa-apa. Lalu, beberapa orang datang memberikan kuliah tentang Marx dan Lenin. Kuliah mereka sungguh bertentangan dengan Islam. Jadi, begitu pulang, dengan keterampilanku kujalin kontak dengan mujahidin." Menurut sejumlah komandan mujahidin, berkat info intelijen Gul, sebagai agen ganda, mereka dapat merebut Khowst, kota strategis yang dibentengi dengan sangat kuat. Najibullah, suatu ketika pernah bersumpah, bila Khowst sampai jatuh ke tangan pejuang muslim, ia akan mengundurkan diri. Khowst jatuh, tapi pemimpin rezim Kabul itu rupanya lupa pada sumpahnya. Malah Maret lalu ia kembali mengeluarkan janjinya, ia akan mengundurkan diri setelah pemerintahan sementara yang dibentuk oleh PBB berdiri. Di tengah Gul bercerita itu, tiba-tiba ia berteriak menyuruh seorang prajuritnya, yang sedang bersemangat menembakkan senapan mesinnya, untuk tiarap. Sebuah peluru bercahaya meluncur mengikuti garis lengkung panjang dari arah Gardez. Lalu, prajurit itu tampak mengambil sesuatu dari pergelangan tangan kirinya: sebuah peluru. Gul segera mencengkeram pemuda itu seperti seorang pelatih sepak bola yang membantu seorang pemain yang terjatuh. Sekilas diperhatikannya luka itu, lalu kata Gul, luka itu tak berbahaya. "Mujahidin," katanya sambil angkat bahu, "apa yang kamu bisa lakukan?" Pada usia hampir 40 tahun, Gul masih suka melakukan penyerangan malam ke Gardez. Tapi, kini ia sering tak sabaran menghadapi anak buahnya, rata-rata masih 20-an tahun, yang suka berlagak dan melakukan hal-hal yang tak berguna. Gul bersama anak buahnya meluncur turun bukit dengan langkah tertahan-tahan untuk menghindari ranjau dan mortir. Di kawasan itu bahan peledak di mana-mana: ranjau untuk manusia dan ranjau untuk tank. Mereka yang luka ditaruh di sebuah truk Toyota hijau, yang digunakan sebagai ambulans. Dengan truk itulah mereka diangkut ke klinik di Khowst, enam jam perjalanan. Di klinik itulah para pejuang di garis depan yang terluka terkena ranjau atau mortir dirawat. Tapi, sebenarnya para prajurit yang dirawat di situ lebih banyak karena terserang malaria, demam kuning, dan hepatitis. Jumlah mereka yang luka perang tergantung sering tidaknya baku tembak antara faksi-faksi mujahidin sendiri dan juga pertempuran antara mujahidin dan pasukan rezim Kabul. Biasanya, yang terluka dalam pertempuran antara belasan dan seratus orang. Dari atas bukit tempat berdiri Habib Gul dan anak buahnya, sejumlah pejuang Arab mulai mengebomi kota dengan hebat sebagai balas dendam atas kawan mereka yang luka tak berarti itu. Banyak dari mereka hanyalah orang Palestina berusia belasan tahun yang memanggul peluncur roket pun belum sanggup. Suara mereka yang mirip anak-anak meledak selagi meneriakkan nama Allah setelah meluncurkan setiap tembakan. Sudah diketahui, bersama para mujahidin Afghanistan adalah sejumlah pejuang simpatisan yang datang dari Palestina dan berbagai negeri Arab. Mereka disebut-sebut sebagai pejuang part time. Mereka itulah anak-anak dari negeri-negeri minyak kaya yang meninggalkan sekolahnya untuk beberapa bulan dan bekerja atau berjuang dalam perang jihad, lalu kembali ke negara masing-masing bila tak gugur di medan perang. Di antara para pejuang part time itulah berdiri seorang laki-laki yang tidak pelak lagi berpengalaman dan berwibawa. Dialah Abu Harras, komandan Palestina berjanggut dengan senyum kemenangan dan mata cokelat yang hidup. Dengan bahasa Inggris patah-patah, ia yakin Afghanistan adalah ayunan langkah pertama ke arah suatu perang suci yang akan menyebar ke Palestina, Amerika, dan republik-republik muslim yang tadinya tergabung sebagai Uni Soviet. "Islam akan segera menguasai dunia," katanya. Pejuang "Part Time" Membanjirnya orang muslim dari luar Afghanistan dimulai pada pertengahan 1980-an. Itulah masa ketika Abdullah Azam, seorang ulama Palestina yang mengajar di Arab Saudi, dikirim ke Pakistan selama satu tahun dalam program pertukaran kunjungan. Di dalam kelas dan melalui stasiun-stasiun radio gelombang pendek ia mengkhotbahkan perlunya seluruh kaum muslimin terjun berjihad. Ia sendiri ikut berjuang, berpindah-pindah komandan. Pada 1984 Azam ditunjuk sebagai koordinator pendidikan untuk Liga Islam Dunia yang berkedudukan di Peshawar, sebuah kota Pakistan tempat berpusatnya oposisi dan jutaan pengungsi Afghanistan. Kemudian ia membuka beberapa "kantor pelayanan" tempat para sukarelawan dari seluruh dunia dapat mendaftar. Sekali waktu, kantor seperti itu malah pernah juga dibuka di New York. Usaha untuk mengadakan rekruiting itu menarik banyak pejuang dengan pelbagai latar belakang. "Tak ada bedanya apakah Anda mati di Chicago, Los Angeles, atau Atlanta," kata Abu Wakkas, seorang berkulit hitam tinggi besar dari negara bagian di tengah Amerika. Ia berteman dengan Abu Harras, si komandan Palestina tadi. Wakkas sebelumnya bekerja sebagai teknisi dan kemudian satpam di Ohio. Ia hanya mengenakan pakaian serba hitam, mulai dari kemeja, celana, dan penutup kepala. Ia juga memakai kaca mata hitam. Ia kelihatan sebagai granit yang menjulang tinggi dengan otot-otot yang berada di bawah kulitnya yang tipis. Wakkas berjuang dalam jihad sejak tiga tahun silam dan luka parah dalam pertempuran di sekitar Khowst. "Aku sedang duduk di pos artileri di luar gua persis di atas bandara," katanya mengenang. "Aku sedang membaca Quran ketika tiba-tiba saja serentetan tembakan mortir berjatuhan. Lalu, kurasakan panas bagaikan sengatan lebah di kaki kanan. Terlihat darah mengalir dan aku pun berdiri pelanpelan, berjalan masuk gua dan terkena lagi serpihan mortir di bahu kiri. Entah bagaimana aku mulai tertawatawa dan semua orang turut ketawa. Allah Mahabesar," katanya sambil membuka kemeja untuk memperlihatkan bekas lukanya. Untuk sebagian kaum muslim yang saleh, terlibat dalam perang jihad merupakan suatu ujian memasuki dunia kedewasaan. Perang itu telah memberi peluang kepada para komandan untuk menunjukkan komitmen mereka. Walaupun selalu enggan membicarakannya, paling tidak Haqqani telah kehilangan seorang saudara laki-laki dalam pertempuran. Dua dari anak-anaknya, satu berusia 14 tahun dan yang lainnya 11 tahun, terus berjuang dalam unit artileri di bukit-bukit di atas Gardez. Lalu Nasir Udeen Haqqani, yang lebih tua daripada kedua bersaudara itu, dihormati teman-temannya yang berusia lebih tua bagaikan seorang komandan saja. Pada tahap awal pertempuran untuk merebut Gardez, banyak sekali serdadu pemerintah yang usianya belasan tahun menyerah dan menyeberang ke pihak gerilyawan. Kebanyakan dari mereka mengatakan, mereka dikumpulkan secara paksa dari desa-desa mereka di daerah pertanian di utara. Mereka dilatih selama tiga minggu dan kemudian dijebloskan ke dalam pertempuran. Para gerilyawan memperlakukan mereka dengan baik dan mereka pun belajar bertempur. Selain anak-anaknya, adik laki-laki Haqqani juga hilir-mudik di garis depan dengan menggunakan tank T72 buatan Soviet rampasan. Kaca mata hitamnya yang mahal bersinar mengkilap di bawah sinar matahari. Ia menjabat sebagai penghubung antara saudaranya dan para gerilyawan di garis terdepan. Ia bergerak dari satu unit ke unit lainnya menyampaikan instruksi. Qaseem dari Tajikistan Pada tahun 1979 ribuan pemuda dari semua republik Uni Soviet menyimpan seragam partai mereka dan menggantinya dengan baju tempur untuk menyerbu Afghanistan. Abul Qaseem dari Uzbekistan, yang dipaksa menjadi serdadu pada usia 19 tahun, bergabung dengan 115.000 serdadu lainnya. Mereka itulah yang terdiri dari "putra-putra buruh, petani, dan proletar. Jarang yang anak insinyur, apalagi anak jenderal," kata seorang bekas tentara Soviet yang menyeberang. Qaseem adalah seorang pemuda berpembawaan tenang, bermata bagaikan buah almon matang dengan dua tulang pipi tinggi. Sama dengan bekas tentara Soviet dari Asia Tengah yang lain, selama setengah abad mereka tak tahu sedikit pun, atau boleh bersentuhan sedikit pun, dengan kebudayaan tradisional mereka. Sekarang, setelah bergabung dengan mujahidin Afghanistan, ia mempelajari dengan tekun agama dan tradisi yang baru ia temukan kembali itu. "Ketika kami dikirim kemari, kami diberi tahu bahwa Afghanistan telah diserbu Cina. Semuanya ternyata bohong belaka," kata Qaseem. Ketika mereka sampai di sini, katanya lagi, orang-orang yang ditemuinya adalah orang sederhana "seperti kami". Qaseem berasal dari Tajikistan. Ia bisa memguasai delapan dialek lokal. Ia mengaku, ketika mahasiswa ia peminum, perokok, dan suka main cewek. Ibunya selalu menasihatinya agar menjadi seorang muslim yang baik. Tapi ia tak pernah peduli. "Di sekolah mereka mengajarkan bahwa Uni Soviet adalah negeri yang ideal, cinta damai. Mereka mengajar kami tentang komunisme. Mereka pun mengajarkan pada kami bahwa kami ini adalah keturunan kera. Hanya setelah saya mulai bertempur, saya mulai tahu tentang siapa yang menciptakan langit dan matahari. Saya juga mulai tahu bahwa kaum komunis tidak cinta damai dan ini adalah perang antara yang percaya dan yang tak percaya." Sambil bercerita tentang dirinya, ia terus mengusap-usap senapan Kalashnikov yang terbaring di sisinya. "Saya sekarang mempelajari Quran," katanya. "Sehingga saya bisa berjihad dengan pena dan senapan." Bubarnya Uni Soviet di akhir 1991 lalu telah membangkitkan kembali semangat Islam di seluruh Asia Tengah. Para penyeberang dari tentara Soviet menjadi barang sangat berharga bagi para komandan mujahidin. Khaleel Massoud, komandan paling ditakuti yang berasal dari Tajikistan dan menguasai wilayah utara Afghanistan, sering muncul didampingi dua pengawal Rusia. Nama-nama muslim Soviet yang bergabung dengan perjuangan jihad,~ kata Haqqani, Uakan terukir dengan tinta emas." Neraka Kabul Tak ada pola yang tetap ketika sebuah pesawat mendekati Kabul. Tapi semuanya biasanya dilakukan dengan penurunan ketinggian yang tiba-tiba dan cepat. Pesawat pengangkut jet Dyushin 76, yang masih menghubungkan Kab~ul dengan Tashkent, biasanya menjatuhkan peluru magnesium sebelum menukik dengan tajam. Maksudnya untuk "menipu" senjata pencari panas yang dimiliki para gerilyawan. Tapi roket Stinger bikinan Amerika itu tak bisa dikecoh. Roket itu sering mengejar pesawat dan nyelonong masuk ke mesin dan meledakkan pesawat yang nahas itu. Mendekati Kabul sama gentingnya dengan mendarat di sana. Di gunung-gunung yang mengelilingi kota, beberapa pejuang muslim tak takut pada bekunya udara musim dingin. Mereka bermain kucing-kucingan dengan pesawat-pesawat Dyushin yang mengintai mereka. Dua puluh menit dari Kabul, Dyushin menukik dan prajurit di dalamnya mengirimkan pesan: "Para bandit telah kabur. Padahal baru kemarin dia di situ di antara ketinggian dan batu-batu itu." Menembaki pesawat Soviet, bagi para pejuang muslim, hampir seperti berolahraga. Saat ban pesawat menyentuh landasan di Tarmac, sang pilot dibikin harus siap naik lagi karena mencium serangan bom mujahidin -- bom yang bisa menghancurkan pesawat dan menerbangkan hampir semua pintu di terminal. "Selamat datang di neraka," kata Paktil Hamayan, 23 tahun, mahasiswa kedokteran Universitas Kabul. Kampusnya, di pusat kota yang rendah dan berdebu, relatif tak tersentuh oleh tembakan mortir. Afghanistan adalah negeri yang dicintai Hamayan dalam perang yang dibencinya. Ia ingat bahaya yang dihadapi Kabul setiap hari -- ketika kepalanya disuruh merunduk oleh pengawal yang menenteng AK 47 di gerbang sekolahnya, ketika ia mendengar senjata otomatis dari dekat, atau tembakan meriam yang menandakan jam malam, pukul 22.30. Di seberang sekolahnya, di Komite Internasional Rumah Sakit Palang Merah untuk korban perang, Hamayan berhadapan dengan orang yang terluka. Mereka yang pincang dari buntung duduk sambil berdoa di luar. Palang Merah tak pernah menanyakan pasiennya apakah mereka dari pasukan pemerintah atau mujahidin. Namun, kebanyakan korban merasa bangga bila mengaku sebagai anggota salah satu kelompok mujahidin. Palang Merah berusaha mengajari para mujahidin agar mereka tidak melukai atau membunuh tawanannya. Tetapi pusat Palang Merah di Swiss kemudian membatasi tugas anggotanya karena perang ini tidak lagi untuk menentang pendudukan tapi telah menjadi perang temadap dominasi politik. Kata salah seorang petugas administrasinya, "Ini jenis situasi yang paling berbahaya untuk kami." Mereka telah menutup dua pos pertolongan pertama di luar Kabul karena beberapa petugas diculik dan dibunuh. Jika Kabul adalah neraka, hampir semuanya -- politisi, pengusaha, mahasiswa, dan pekerja -- terkena pengaruhnya. Hanya, ada yang lebih menderita daripada yang binasa. Misalnya beberapa ratus orang yang berbicara bahasa Rusia, yang masih tertinggal di Afghanistan sebagai penasihat, mata-mata, teknisi rudal Scud, dan para diplomat. Sekretaris pertama di bekas kedutaan Soviet dapat merasakan bahaya itu karena ia mendengar di tempat penukaran uang kepunyaan orang Sikh bahwa ia menjadi sasaran pembunuhan. "Kebanyakan orang Afghanistan yang tinggal di Kabul mendukung mujahidin dan mereka semua membenci orang Rusia," ujar seorang pria yang mengaku bernama Singh. Iring-iringan truk dari Rusia yang menuju jalan besar Salang dipenuhi kotak berisi peralatan militer, bensin, tepung, gula, dan kebutuhan pokok lainnya. Itu menjadi bukti jelas terakhir bahwa Moskow merasa bertanggung jawab pada Kabul (meskipun bantuan militer dihapus, bantuan kemanusian berlanjut). Dan menurut seorang pejabat Soviet, sampai akhir 1991, Kremlin tetap menyalurkan bantuan sekitar US$ 400 juta per bubn ke Afghanistan. Tapi, di tengah kesulitan ekonomi dalam negeri di bekas Uni Soviet kini, Presiden Rusia Boris Yeltsin telah berjanji akan menghapuskan seluruh bantuan ke luar negeri dalam waktu dekat. Ini tentu saja akan menempatkan Najibullah di ujung tanduk. Walaupun ia masih punya timbunan besar senjata, kekalahan akhirnya tak terhindarkan. Banyak pengamat kemudian bertanya, apakah oposisi dapat bekerja sama setebh Najibullah turun takhta. "Sejauh ini tidak disangsikan bahwa Afghanistan adalah kemenangan besar Islam, ujar wartawan Suriah di pengasingan, Ahmad Muaffaqzaidan. "Dan kemenangan itu akan menyebar ke bagian dunia yang lain. Tapi Afghanistan bukan sebuah bangsa. Di sana selalu ada perkelahian antarsuku. Dan saya tidak yakin pertengkaran itu akan berakhir kabu ada sebuah pemerintahan Islam di Kabul." Lalu kata Abdul Haq, salah seorang komandan mujahidin, "Kepemimpinan yang kami miliki benar-benar tidak cukup bagus. Sudah 14 tahun mereka mencoba mencari bentuk konsensus dan selalu gagal." Haq, yang kaki kanannya diterbangkan ranjau dalam operasi sekitar dua tahun lalu, kini mengenakan kaki buatan dari plastik. Dinding ruang kerja di markasnya di Peshawar dihiasi foto ledakan bom yang menyemburkan warna oranye terang dan abu-abu. Buku sampul tebal Petunjuk Internasional Terorisme karangan George Rosie tergeletak di meja. Haq, seperti kebanyakan perwira yang lebih moderat, ragu untuk melancarkan serangan terakhir ke Kabul. "Masalahnya," kata perwira botak itu, "bukan karena Najibullah secara militer kuat. Tapi karena kami tak punya penggantinya. Jadi, kami tak ingin mempercepat kejatuhannya.~ Dan, "Saya tidak akan menjual orang kami," kata lelaki berjanggut tebal ini, "untuk sebuah pemerintah yang tak becus." Masih berapa tahun lagikah pejuang mujahidin mesti belajar dari pengalamannya ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus