Dinding rumah tahan gempa model Sri Lanka, dengan campuran sabut kelapa, layak dikembangkan di Indonesia. Lebih murah. Untuk rumah Perumnas? ADA beberapa persamaan antara Indonesia dan Sri Lanka: sering dikunjungi gempa, punya banyak pohon kelapa, dan dihuni oleh (sebagian besar) kaum berpenghasilan pas-pasan. Namun, Sri Lanka punya satu kelebihan: bisa memanfaatkan sabut kelapa untuk membangun rumah tahan gempa, yang terjangkau oleh warga berpenghasilan pas-pasan. Untuk urusan satu ini, Menteri Negara Perumahan Rakyat Siswono Yudohusodo rela mencontek. Dia meminta bantuan Balai Penyelidikan Bangunan dan Gedung (BPBG), Bandung, instansi yang ada di bawah Balitbang Departemen PU, mengadopsi teknologi Sri Lanka itu. Dan Siswono pun bertandang ke Bandung, disertai Jaya Peri Sudaram, Duta Besar Sri Lanka di Jakarta, untuk melihat hasil pesanannya, akhir Juni lalu. Rupanya, Menteri Siswono cukup puas. Dia menyaksikan model rumah Sri Lanka itu dibangun di atas meja tungkit. Di meja besi sebesar 6 x 6 meter itu, sebuah bangunan sederhana diuji, digoyang-goyang, bahkan dimiringkan 45 derajat. Tak ada yang rontok. "Bisa diandalkan," ujar Siswono. Gempa memang merupakan satu hal yang perlu diperhitungkan untuk membuat rancangan bangunan. Maka, sejak 1987 muncul peraturan agar semua bangunan di Indonesia harus sanggup menahan gempa sampai batas skala gempa 200 tahunan. Namun, tingkat kerawanan gempa itu bermacam-macam. Daerah Irian Jaya dan Maluku Utara diakui sebagai kawasan paling rawan, dan masuk dalam kategori zone 1. Pantai Selatan Sumatera, Banda, Seram, dan Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, yang pekan lalu diguncang gempa menewaskan lebih dari 20 orang -- berada di zone II. Daerah selatan Jawa masuk zone III, pesisir utara Jawa zone IV, pantai utara Sumatera zone V. Yang paling ringan Kalimantan Barat, zone VI. Ketentuan Departemen Pekerjaan Umum itu, menurut pakar konstruksi dari Bandung, Wiratman, memang sudah lama dipraktekkan di bangunan-bangunan gedung bertingkat yang kini menjamur di kota besar. Untuk Jakarta, misalnya, konstruksi bangunan gedung dirancang sesuai dengan zone IV, yang gempa kekuatan gempa 200 tahunannya mencapai 0,25 G, seperempat percepatan gravitasi. "Hanya pada batas ini gedung-gedung itu boleh runtuh," katanya. Tapi Wiratman tak yakin bahwa perhitungan gempa itu dijalankan di kalangan perumahan rakyat, sebab konsekuensinya harga bangunan akan jadi lebih mahal. Maka, dia menyambut gembira upaya Menteri Siswono membangun rumah rakyat tahan gempa. "Kita tahu, korban gempa itu lebih banyak karena runtuhnya bangunan," katanya. Rumah tahan gempa ala Sri Lanka ini menekankan kelenturan dinding. Komponen utama dindingnya adalah abu batu, butir-butir batu sebesar butiran jagung sisa-sisa pecahan batu. Abu batu dijadikan adonan dengan semen, dengan perbandingan 11 : 1. Sabut kelapa dicampurkan secara merata pada adonan semen dan abu batu tersebut. Sabut kelapa itu, menurut Ketua BPBG Dedi S. Partadinata, membuat tubuh dinding lebih lentur, tak mudah retak oleh guncangan. "Hal itu penting untuk menahan guncangan gempa, yang biasanya menimbulkan gaya dari arah samping," ujar Dedi. Kelenturan dindingnya, dalam ujicoba di Bandung, mencapai 7 kg/cm2, dua kali lipat dari rata-rata kelenturan dinding tembok batu bata. Tapi tak berarti segi lainnya ditinggalkan. Kuat tekan dinding ala Sri Lanka itu mencapai 60 kg/cm2, kuat tariknya 7,8 kg/cm2, dan kuat gesernya 15 kg/cm2 -- tak kalah dengan dinding bata yang bermutu tinggi sekalipun. "Dan harganya bisa bersaing," tambah Dedi. Kepala BPBG Bandung ini memang siap dengan kalkulasi. Dinding tahan gempa buatannya, tebalnya 10 cm, hanya menelan ongkos Rp 8.100/m2. Lebih murah dari dinding tembok bata merah yang Rp 8.900/m2 dan dinding batu cetakan yang Rp 9.650/m2. Namun, dia lebih mahal ketimbang dinding bilik rakyat yang Rp 5.800/m2. Kendati cukup murah, dinding berserabut itu memerlukan kerja yang lebih rumit. Sebab, pembuatannya harus dengan cor, dan perlu cetakan khusus dari kayu atau pelat besi, seperti ketika membikin tiang beton. Dia hanya memberikan efisiensi secara nyata pada proyek rumah masal seperti Perumnas. Secara rata-rata, menurut Menteri Siswono Yudohusodo, efisiensi yang diberikan mencapai 15%. Pada rumah murah model konvensional, biaya per meter persegi Rp 150.000 -- untuk kawasan Jabotabek. Dengan konstruksi ala Sri Lanka itu, biayanya bisa ditekan menjadi Rp 125.000. Penghematan tak cuma dari pemakaian bahan. "Pengerjaannya pun lebih cepat," kata Siswono. Untuk memberikan efek kelenturan, menurut Siswono, ijuk pun bisa. Bahkan mungkin lebih baik. "Karena lebih panjang-panjang," kata Siswono. Tapi sabut kelapa baginya lebih memberi janji. "Karena ketersedianya lebih luas. Ijuk tak bisa diperoleh di semua tempat," tambahnya. Ijuk atau sabut kelapa akan memberikan efek yang sama: dinding itu berserabut dan hasil cetakannya kurang halus. Riset pemakaian bahan campuran semen sebetulnya telah lama dilakukan di Indonesia. Rotan, serutan kayu, dan sekam padi, pernah pula dicoba mendampingi semen sebagai material bangunan. Tapi, menurut Wiratman, bahan-bahan itu belum memberikan hasil memuaskan. Sebab, bahan-bahan itu suka menyerap air, hingga volumenya mekar-mengkerut, dan ikatannya dengan permukaan semen putus. Akibatnya, timbul retak-retak. Tembok ala Sri Lanka itu lain. Sabut kelapa yang dipakai diolah lebih dahulu. Tanin-nya dihilangkan, hingga tersisa serat-serat yang tak menyerap air. Tapi itu makan biaya tambahan. Putut Trihusodo, Ivan Harris, dan Riza Sofyat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini