UNTUNG, saya tidak terkena serangan jantung ketika membaca berita Kompas tentang tewasnya Dokter Victor P. Chang. Dia salah seorang yang kartu namanya selalu berada di dompet saya. Dia juga yang dengan kesungguhannya memprioritaskan saya sehingga lewat tangannya, dan rekan-rekannya, Tuhan masih memanjangkan umur saya. Ketika diberi tahu oleh Dokter Edi Hartanuh, ahli jantung yang menangani saya di Indonesia, bahwa dokter yang akan mengoperasi saya adalah Dokter Chang saya agak rikuh. Maklum, TEMPO pernah membuat berita yang kurang baik dalam kasus kematian seorang pasiennya di Sydney, Australia. Tapi setelah saya dalam perawatannya, dan dalam satu percakapan kami menyinggung TEMPO, ternyata ia seorang gentleman. Katanya, "I don't like TEMPO, but I like you." Lebih dari itu, terkesan Chang sangat menjunjung profesinya sebagai dokter, yakni mengutamakan kesembuhan pasien. Dia sudah mempunyai daftar panjang pasien yang akan dioperasinya, ketika saya tiba di St. Vincent's Private Hospital, 17 Desember 1989. Namun, saya diprioritaskan karena katup saya sudah sangat parah. Ia tak menyembunyikan apa pun tentang saya, dan semua pertanyaan saya dijawab. Satu-satunya pertanyaan yang tidak dijawab adalah tentang perkiraan biaya operasi dan rumah sakit. Pun setelah saya masuk karantina, petugas di rumah sakit tidak pula menanyakan uang jaminan seperti yang sering saya dengar di Indonesia -- dan juga saya alami sendiri ketika harus membayar uang jaminan Rp 500.000 sebelum diterima sebagai pasien di sebuah rumah sakit di Jakarta. Menurut perhitungannya, saya dapat pulang pada tanggal 4 Januari 1990. Pada pengecekan terakhir, 2 Januari, ternyata tekanan darah saya naik tajam. Dokter Chang khawatir sehingga ia meminta saya menunda pulang beberapa hari. Saya agak mengotot agar diizinkan pulang karena toh ia sendiri yang membuat jadwalnya. Ia juga bersikeras agar saya menunggu lebih lama di hotel karena ia tidak ingin saya mendapat gangguan selama perjalanan. "Kalau Anda meninggal dalam perjalanan, saya pasti yang dipersalahkan karena mengizinkan pulang pasien yang belum sehat benar," katanya. "Dan pers Indonesia pasti akan mengeroyok saya." Rupanya, Chang mengambil jalan tengah. "Saya harus membuat surat untuk Dokter Edi bahwa Andalah yang bersikeras ingin pulang segera," ujar Chang. Untuk terakhir kalinya saya tanyakan, berapa uang yang harus saya minta ke Jakarta untuk jasa operasi. Ia menolak menjawab dan meminta saya menghubungi sekretarisnya. "Yang penting Anda sampai di Jakarta dengan selamat. Setelah Anda sehat benar, barulah kirim biaya operasi. Selamat jalan," itulah kata terakhir dalam perpisahan kami. Saya melihat kontras yang besar sekali antara layanan di rumah sakit Dokter Chang dan di Tanah Air. Beberapa bulan sebelumnya, saya tertunda pulang karena ada kekurangan uang Rp 25.000 untuk pembayaran di atas Rp 1,1 juta. Dengan Dokter Chang, saya dibolehkan pulang walaupun belum membayar sesen pun untuk tarif yang US$ 15.000 (sekitar Rp 28 juta waktu itu). Saya tidak sempat bertemu dengan Chang untuk memeriksakan katup plastik yang saya pakai sekarang. Memang tidak ada keharusan. Kata Chang, katup itu tahan seumur hidup. "Ya, 20 tahun. Tetapi itu seumur hidup juga karena 'jatah' kita kan hanya paling-paling 65 tahun," ujarnya sambil tertawa. Ternyata, ia mengakhiri hidupnya jauh mendahului "jatah"-nya, dan tragis. Kepala dan tubuhnya ditembus peluru oleh orang yang tidak dikenal, tidak jauh dari umahnya, Kamis pekan lalu, dalam usia 54 tahun. Dokter Chang, selamat jalan. Slamet Djabarudi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini