Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Antara subur dan bulimia

Tubuh gemuk atau kurus bisa menimbulkan gangguan seksual. kecenderungan tersebut diteliti domeena renshaw md. mereka memiliki chitra yang buruk ter- hadap tubuhnya sendiri.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Makan salah, tak makan salah. Tubuh gemuk dan kurus bisa mengalami gangguan seksual. BAGI masyarakat negeri miskin, rawan pangan merupakan ancaman menakutkan. Tapi di negeri makmur lain lagi urusannya. Makan malah menjadi momok. Akibatnya, di tengah mereka yang hidup di abad modern ini, muncul penyakit baru. Yakni setelah memiliki badan subur, ia dihinggapi problem seksual. Kecenderungan tersebut belum lama ini diungkapkan Dr. Domeena Renshaw MD. Ia adalah Direktur Klinik Disfungsi Seks di Loyola University, Illinois, Amerika Serikat. "Jika seorang perempuan mengidap gangguan emosional dalam makan, seperti anorexia nervosa, biasanya ia mengalami gangguan seksual," katanya. Anorexia nervosa adalah gangguan pada seseorang yang hilang selera makan, karena takut berlebihan sehingga berat badannya bertambah. Ketakutan yang berawal dari keinginan mendapatkan ideal ini terbawa-bawa ke tempat peraduan. Seseorang yang mendapatkan dirinya bertubuh subur (gemuk) akan dihinggapi kecemasan yang membawanya kepada perasaan minder, atau rendah diri. Dengan kata lain, tanpa disadarinya, ia mulai memandang dirinya sama sekali tak menarik bagi lawan jenisnya. Begitu pula bagi mereka yang mengidap bulimia nervosa. Kebalikan dari anorexia, penderita bulimia selalu dihantui perasaan bahwa tubuhnya masih kekurangan zat-zat makanan untuk mencapai berat badan ideal. Akhirnya timbul akibat yang sama: secara psikologis, ia menganggap tubuhnya masih terlalu kurus sehingga tidak menarik bagi lawan jenisnya. Kalau kedua gangguan ini diderita kaum Hawa, buntutnya jadi panjang. Menurut penelitian yang dilakukan di AS tadi, dari seribu lebih wanita yang mendatangi Klinik Disfungsi Seks untuk minta terapi seks, lebih dari 10% pasiennya mengalami gangguan makan yang ada hubungannya dengan masalah seksual. Renshaw menemukan bahwa penderita kedua jenis gangguan makan tersebut biasanya mengeluhkan perkara urusan di atas ranjang. Mereka, rata-rata, mengatakan mengalami kesulitan mendapatkan orgasme. Selain itu, pada saat bersebadan dengan pasangannya, mereka juga mengalami dispareunia, rasa nyeri ketika sanggama. Kalangan perempuan tadi, menurut Dr. Renshaw, memiliki citra yang amat buruk terhadap tubuhnya sendiri. Akibatnya, mereka cepat merasa depresi, dan tak punya gairah seks. "Mereka juga takut hamil. Mereka tidak ingin tubuhnya lebih buruk selagi hamil, atau setelah melahirkan," ujar Renshaw. Lalu apa jalan pintasnya? Para penderita bulimia ternyata lebih suka melakukan masturbasi untuk pelepas hasrat seksnya. Tapi, setelah itu mereka dihantui perasaan bersalah. Sikap yang sama timbul pula ketika mereka makan dengan lahap, dan kemudian dimuntahkannya kembali, karena merasa bersalah. Bahkan dalam pergaulan pun, perempuan seperti ini menghadapi masalah rumit. Ketika ada pria yang "naksir", misalnya, ia lalu bergegas menutup diri. Memang, banyak contoh kisah kasih manusia yang bubar gara-gara gangguan makan. Walaupun Renshaw mewanti-wanti bahwa kegemukan bisa mengakibatkan gangguan seks, bukan itu pangkal sebabnya. Sebenarnya, gemuk tak menghalangi seseorang melakukan kegiatan seksual, tetapi citra dirinya yang buruk karena kegemukan itulah yang menimbulkan gangguan emosi. "Karena itu, terapi seks saja tidak cukup. Kebiasaan makannya juga perlu dibenahi," katanya. Jalan keluar bagi penderita gangguan ini, menurut Renshaw, yang pertama harus dilakukannya mengubah citra terhadap tubuhnya sendiri. Bila keadaan tubuhnya diterima seperti apa adanya, dengan sendirinya ia akan menerima dirinya sendiri. Ia tidak gelisah, dan emosinya tak terganggu. Dalam keadaan tenang dan menerima apa adanya, orang biasanya lebih mudah mengusahakan yang diinginkan. Termasuk menjalankan program penurunan berat badan, tapi tetap mesra di atas tempat tidur bersama pasangannya. Saran serupa juga diajukan Sawitri Supardi, pemimpin Biro Konsultasi Psikologi Psikodinamika di Bandung. Ketua Jurusan Psikologi Klinis, Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, ini mengatakan bahwa sebelum persoalan seksual diatasi, gangguan soal makan harus diatasi dahulu. "Jika masalah kebiasaan makan sudah diatasi, barulah mereka diajak bicara tentang citra terhadap dirinya masing-masing," katanya kepada Achmad Novian dari TEMPO. Kalau problem ini menyangkut suami-istri, yang terbaik mengajak pasangannya sama-sama terbuka. Lewat langkah yang sudah disepakati, tambah Sawitri, perlahan problem seksual juga bisa mereka atasi. "Jadi, kita harus tahu latar belakang atau psikodinamikanya terlebih dahulu, dan baru dicari psiko terapinya," ujar Dr. Dadang Hawari kepada Thomas Djiwandono dari TEMPO. Kalau sudah ketahuan, kata psikiater kondang di Jakarta ini, kemudian baru dicari hubungannya dengan psikoseks penderita dan menentukan pengobatannya. Gangguan anorexia dan bulimia tak berlaku bagi wanita yang belum kawin saja. Dalam banyak kasus, kata Joy Melville dalam bukunya The ABC of Eating, di kalangan perempuan yang sudah menikah juga ditemukan kesulitan itu. Bahkan, munculnya setelah melahirkan satu atau dua anak. "Dan mereka sebenarnya menikmati hubungan sebadan dengan baik sebelum berurusan dengan gangguan makan," tulis Joy Melville. Rustam F. Mandayun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus