Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tepat lima tahun lalu pada 28 September 2018, ibukota Sulawesi Tengah di Palu dan sekitarnya diguncang gempa bumi dahsyat yang diiringi peristiwa tsunami. Peneliti gempa dari Badan Geologi di Bandung Supartoyo mengatakan masyarakat di Kota Palu dan sekitarnya perlu memperingati kejadian itu setiap tahun untuk mengurangi risiko bencana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dengan berbagai kegiatan yang tujuannya adalah pengurangan risiko bencana,” katanya pada Kamis 28 September 2023 .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya pengurangan risiko bencana itu, menurutnya, dengan meningkatkan kegiatan mitigasi yang bersifat struktural maupun nonstruktural. Masyarakat disarankan untuk mengenali lingkungan tempat tinggal, sumber pembangkit bencana di sekitarnya, jenis-jenis ancaman bahaya, dan tempat serta jalur evakuasi.
Warga juga disarankan mengikuti pelatihan dan simulasi bencana, serta meningkatkan kapasitas dalam menghadapi kemungkinan berulangnya kejadian bencana. “Semoga dapat mengurangi risiko bencana yang mungkin akan terjadi dan terulang di kemudian hari,” ujar Supartoyo.
Sebelumnya pada 28 September 2018 pukul 17.02 WIB atau 18.02 waktu setempat, Kota Palu dan sekitarnya mengalami guncangan gempa yang dahsyat. Dengan kekuatan bermagnitudo 7,4, sumber gempa kemudian diketahui berada di darat dari kedalaman 10 kilometer.
Titik sumber gempa berada pada koordinat 119,85 derajat Bujur Timur dan 0,18 derajat Lintang Selatan. Guncangan gempa bumi menurut Supartoyo, terasa sangat kuat dengan skala intensitas maksimum hingga IX MMI (Modified Mercally Intensity) terjadi di daerah Jono Oge, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi.
Peristiwa yang disebut juga sebagai Gempa Bumi Palu Sigi Donggala atau Pasigala itu, menurut Supartoyo, mengakibatkan beberapa fenomena geologi permukaan yang selama ini jarang terjadi. “Lokasi episenter gempa terletak di darat namun memicu tsunami di pantai Teluk Palu,” kata dia. Selain itu terbentuk juga sesar permukaan (fault surface rupture) mengiri.
Pergeserannya sejauh 580 sentimeter atau 5,8 meter, dan tersebar mulai dari Teluk Palu hingga daerah Kulawi, Kabupaten Sigi. Terjadi pula likuefaksi tipe aliran atau flow liquefaction di daerah Jono Oge, Petobo, Balaroa dan Sibalaya. Tanah bergelombang terlihat di daerah Jono Oge dan retakan tanah yang sangat masif di Kota Palu dan Kabupaten Sigi.
Mengutip informasi dari Gubernur Sulawesi Tengah, kata Supartoyo, korban jiwa mencapai 4.340 orang dengan jumlah kerugian sebesar Rp 18,48 triliun. “Suatu dampak dan kerugian yang sangat besar,” ujarnya.