Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hasil survei dan pengamatan pada tingkat peternak yang dilakukan oleh Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Institut Pertanian Bogor mengindikasikan adanya penurunan populasi lebah madu.
Pemicu penurunan tersebut yang paling utama adalah dampak alih fungsi lahan dan perubahan iklim.
Perlu dukungan pemerintah agar lebah tidak dianggap sebagai hama.
SUSUNAN kotak kayu seukuran peti es dengan warna beragam terlihat berjejer di antara pohon kelapa sawit yang tak berbuah di Desa Danau Lamo, Kabupaten Muarojambi, Jambi. Dua pekerja peternakan lebah milik Budiarto yang mengenakan penutup kepala berjaring berdiri di depan dua kotak yang disebut stup itu. Sambil memegang tambang yang ujungnya terbakar, mereka mengembuskan asap secara perlahan ke dalam kotak yang memuat koloni lebah Apis mellifera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak berselang lama, kedua pekerja itu membuka penutup kotak dan melepas topi jaring. Mereka mengambil beberapa tala atau bingkai tempat lebah membuat sarang berisi madu. Menggunakan kuas kecil, mereka menyapu lebah-lebah yang menempel pada tala dan sarang. Budiarto tampak mengawasi para pekerjanya itu memanen madu. Rutinitas ini dilakukan Budiarto bersama istri dan lima pekerjanya setiap pekan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menggeluti bisnis madu sejak 2001, kini Budiarto memiliki merek dagang Cipta Lebah Berkah. Awalnya, ia beternak lebah lokal Apis cerana. Mula-mula hanya ada empat koloni lebah yang ia budi dayakan. Tiap koloni berisi 300-700 lebah. Setelah kesulitan mencari Apis cerana alias lebah madu Asia, pada awal 2020 ia beralih ke jenis lebah impor dari Eropa, Apis mellifera, yang dibeli dari Jawa. "Sekarang sudah 1.000 koloni," kata Budiarto, Selasa, 6 Juli lalu.
Menurut survei Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Center for Transdisciplinary and Sustainability Science (CTSS) Institut Pertanian Bogor (IPB University), Jawa Barat, yang didukung PT Syngenta pada Agustus 2019-April 2020 dengan 272 peternak sebagai responden, Apis cerana adalah lebah yang umum ditemukan di Indonesia. "Temuan lain, 57 persen peternak mengakui mengalami penurunan jumlah lebah," kata Damayanti Buchori, Direktur CTSS, yang menggagas survei itu, Jumat, 9 Juli lalu.
Peternak lebah mengambil madu dari sarang lebah, di Desa Danau Lamo, Kabupaten Muarojambi, Jambi, 6 Juli 2021./Tempo/Ramond Epu
Damayanti mengatakan survei dilakukan pada lebah ternak, belum menyinggung lebah hutan. Namun, saat ditanyai apakah survei terhadap peternak lebah itu dapat merefleksikan kondisi populasi lebah secara umum, ia menyatakan keyakinannya bahwa ada indikasi yang sangat kuat telah terjadi penurunan populasi lebah. "Kalau melihat deforestasi dan sebagainya, sudah pasti terjadi penurunan. Tapi buktinya apa, harus riset lagi," ujar Damayanti, yang juga pengajar di Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB University.
Sih Kahono, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang mengamati lebah hutan, mendukung hipotesis Damayanti itu. Menggunakan intuisinya sebagai peneliti, dari pengalaman kunjungan ke beberapa daerah berulang kali dengan rentang waktu lama, ia menguatkan pandangan bahwa terjadi penurunan populasi lebah. "Ada indikasi, kok, yang jenis ini dulu banyak di sini sekarang sudah berkurang," ucap Kahono, Selasa, 6 Juli lalu.
Kahono antara lain mengamati koloni lebah di Kebun Raya Bogor. Pada 1989, saat sedang musim lebah, di dalam kebun raya yang berdiri pada 1817 itu, menurut Kahono, setidaknya terdapat lebih dari 70 koloni lebah hutan Apis dorsata yang bergantung di 12-14 pohon. “Ada pohon yang menampung lebih dari 30 koloni. Sarangnya memiliki panjang lebih dari 1 meter,” tuturnya.
Pengamatan terakhir Kahono di Kebun Raya Bogor pada 2018 menemukan penurunan populasi lebah yang drastis. Kini terdapat 12 batang pohon yang dipakai sebagai tempat tinggal lebah. Namun jumlah koloni tidak lebih dari belasan. Ukuran sarang pun menciut hingga kurang dari 1 meter, biasanya 60-80 sentimeter. "Sekarang tersisa hanya belasan koloni. Itu pun dengan ukuran sarang yang lebih kecil," kata doktor ekologi dari Kanazawa University, Jepang, tersebut.
Para pencari madu hutan juga merasakan penurunan jumlah lebah. Sofian, warga Olak Kemang, Kota Jambi, misalnya. Ia menjadi pencari madu di kawasan hutan Muarojambi dan Tanjungjabung Timur sejak 1998. Sofian merasa beberapa tahun terakhir lebih sulit mendapatkan madu dari lebah madu raksasa Apis dorsata. Sebelumnya, ia dan rekannya bisa memperoleh masing-masing 1 ton dan 2 kuintal madu. "Sekarang hanya bisa dapat 80 kilogram dalam satu kali pencarian madu hutan," tuturnya, Selasa, 6 Juli lalu.
Didik B. Purwanto, Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Perlebahan Indonesia (API), menguatkan cerita Sofian. Berdasarkan informasi dari anggota API yang menjadi pemburu lebah hutan, Didik mengatakan situasi saat ini sangat berbeda dengan 20 tahun lalu. "Kalau dulu jalan 10 menit saja sudah dapat koloni lebah. Sekarang jalan lima jam masuk hutan baru dapat koloni," katanya. Perubahan tata guna lahan, Didik menambahkan, membuat pencari madu hutan hanya bisa memanen madu satu-dua kali dalam setahun.
Peneliti lebah di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB University, Rika Raffiudin, mendapati kondisi yang sama saat melakukan studi di Sumatera pada 2020. Para pencari lebah hutan, Rika mengungkapkan, mengakui soal berkurangnya jumlah lebah hutan secara drastis. "Pemburu lebah di Riau pada 2018 mengaku ada penurunan hasil 80-90 persen. Asosiasi Perlebahan Indonesia Daerah Jambi melaporkan penurunan populasi Apis dorsata 65-70 persen," ujar Rika melalui pertemuan via Zoom, Kamis, 24 Juni lalu.
Banyak hal yang menyebabkan penurunan populasi lebah ini. Salah satunya dampak langsung perubahan iklim ekstrem. Rika memberikan contoh hujan deras yang dipicu siklon tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur, awal April lalu. "Di sana ada pohon yang dilaporkan bisa menampung ratusan sarang lebah. Saat terjadi badai Seroja, ada 20 pohon yang tumbang," ucap doktor biologi molekuler dari James Cook University, Australia, itu.
Di Jambi dan Riau, Rika menambahkan, banyak lebah hutan bersarang di pohon sialang. Sayangnya, pohon tempat tinggal lebah itu banyak ditebang. Selain itu, ada pohon yang musnah saat terjadi kebakaran hutan hebat pada 2015. "Bagaimana mendeteksi berkurangnya lebah? Ya, lebahnya tidak ada lagi karena tempat bersarang dan pohon sumber makanannya sudah tak ada," kata Rika. Ia mengaku senang karena Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada April lalu menetapkan sialang sebagai pohon adat yang dilindungi.
Kahono menambahkan, lebah hutan seperti Apis dorsata tidak bisa diternakkan atau didomestikasi. Kehidupan lebah-lebah hutan itu sangat bergantung pada bunga liar yang tersedia di alam. Karena itu, menurut Kahono, perubahan lingkungan seperti lahan hutan yang berganti menjadi kebun sawit, area pertanian, perumahan, dan industri sangat berdampak terhadap kelangsungan hidup lebah. "Perubahan tata guna lahan itu menjadi masalah bagi lebah," ujarnya.
Faktor lain yang mempengaruhi kelangsungan hidup lebah, baik lebah hutan maupun lebah ternak, adalah model pertanian yang tidak ramah lingkungan, yaitu pemakaian pestisida secara berlebihan. Menurut Didik, ada anggota API yang mengaku kehilangan 80 persen koloni lebahnya saat menggembalakan lebah di dekat lahan pertanian yang tengah disemprot pestisida tanpa informasi kepadanya.
Bagi peternak lebah seperti Dianita Kartika, yang memiliki peternakan lebah di Jepara, Jawa Tengah, salah satu tantangan saat ini adalah mencari tempat menggembala. Lokasinya harus menyediakan tumbuhan dan bunga yang menghasilkan nektar dan serbuk sari (pollen)—makanan utama lebah. Peternak yang tidak punya kebun sendiri, Dianita menambahkan, akan berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Dianita kadang mengeluarkan uang sekitar Rp 200 ribu untuk memiara lebah di suatu tempat selama tiga pekan-tiga bulan.
Sekali waktu, Dianita pernah diminta membayar Rp 5 juta untuk ngangon lebahnya di sebuah tempat. Untungnya, lahan tersebut luas sehingga biaya sewa itu bisa ditanggung bersama dengan peternak lain. Pernah juga dia menggembalakan lebah bersama peternak lain ke Subang, Jawa Barat. Biaya sewa lahannya Rp 4 juta. "Sampai di sana, ternyata nektarnya enggak keluar," tuturnya, Rabu, 7 Juli lalu. Dianita kini memiliki 150-160 koloni lebah.
Peternak lebah di Desa Danau Lamo, Kabupaten Muarojambi, Jambi, 6 Juli 2021./Tempo/Ramond Epu
Agar tak salah pilih tempat, Dianita menugasi pekerja lapangan menyurvei daerah yang punya tumbuhan penghasil nektar dan pollen. Pohon kapuk, rambutan, kopi, sonokeling menyediakan nektar dan pollen untuk lebah. Kalau karet hanya menghasilkan nektar sehingga pollennya didapat dari jagung, rumput-rumputan, padi atau tanaman lain di sekitarnya. "Kalau nektar saja, itu seperti orang hanya makan nasi. Hanya mengenyangkan," kata perempuan 44 tahun ini.
Berbekal pemahaman tentang pola ternak lebah selama ini, pada Mei-Juli dia akan memiara lebahnya di kebun kapuk randu di Pati. Saat nektar kapuk randu mulai habis, ia pindah ke area pohon karet. Pada Agustus-September, ia bergeser ke kebun rambutan atau sonokeling. Adapun November sudah masuk musim hujan. "Itu masa paceklik madu, dari Januari sampai Mei," ucapnya. Hujan membuat nektar terbawa air. Lebah pun tak bisa terbang keluar dari sarang.
Bagi peternak lebah, dampak ekonomi dari hilangnya pohon sangat besar. Rika membuat kalkulasi sederhana. Jika di satu pohon terdapat 100 koloni, setiap koloni bisa menghasilkan 10-15 kilogram madu yang dapat dipanen tiga-empat kali dalam setahun. “Jika harga per kilogram madu Rp 75 ribu, kalau dikalikan 100 koloni, jumlah kerugian berkisar Rp 200-300 juta.” Menurut Rika, taksiran kerugian akibat hilangnya satu pohon sialang di Riau Rp 210-280 juta per tahun.
Perubahan iklim juga sangat berdampak bagi peternak. Menurut Dianita, saat menggembalakan lebah di area pohon kapuk, dalam satu kali periode panen selama tiga bulan ia bisa menghasilkan 2 ton madu. "Tapi tahun ini hasil madu anjlok sampai hanya 150 kilogram," tuturnya. Penurunan ini adalah efek menurunnya jumlah kapuk randu. Ada pula kontribusi perubahan iklim. “Sekarang seharusnya musim panas, tapi hujan enggak berhenti. Produksi kapuk menurun,” ujarnya.
Peternak lebah juga dihadapkan pada sikap masyarakat yang kurang memahami manfaat lebah. Rika mengingat pengalamannya tahun lalu, saat mengikuti kunjungan studi mahasiswa ke Sumedang, Jawa Barat, dengan membawa lebah. Sempat ditolak karena dianggap membawa hama, Rika berupaya meyakinkan masyarakat agar mereka diizinkan meletakkan 20 koloni lebah untuk studi. Upaya Rika berhasil. Seusai studi, penduduk justru meminta koloni lebah itu ditinggalkan di desa. "Mereka sudah merasakan madunya. Hasil panen jagung dan stroberi juga lebih bagus," katanya.
Di Indonesia, pemanfaatan lebah masih terbatas. Mahani, dosen Universitas Padjadjaran, Bandung, mengatakan pemanfaatan lebah masih terfokus pada madunya. Padahal ada produk lain seperti propolis sebagai bahan obat. Peternak bisa juga menjual koloni yang harganya mencapai Rp 1,2 juta per kotak berisi 300-700 lebah. Yang juga belum dimanfaatkan adalah jasa lebah sebagai penyerbuk tanaman, yang lazim dipraktikkan di Amerika Serikat dan Eropa. "Di sana pendapatan utama ternak lebah dari pollination. Sampingannya madu," tutur pria yang juga pengusaha lebah itu, Selasa, 6 Juli lalu.
Ramadhani Eka Putra, pengajar Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, menilai petani kita masih tidak menyadari pentingnya peran lebah. "Tanpa lebah, mungkin makanan tak akan beragam. Kita tak kenal lagi rendang kalau susah cari kelapa atau bumbu," ucapnya saat ditanyai bagaimana jika lebah punah. “Sebab, tumbuhan itu dibantu dalam pembentukan buah atau biji oleh penyerbukan lebah. Kalaupun ada buah atau sayuran, harganya mahal karena harus diserbuki secara manual oleh manusia.”
Ramadhani pernah membuat studi perbandingan penyerbukan lebah dengan penyerbukan terbuka dan penyerbukan sendiri pada tanaman terung. Hasilnya, tanaman yang diserbuki lebah memiliki tampilan dan kualitas lebih baik. Dia pun menyitir hasil studi lain yang menyatakan penyerbukan lebah berkontribusi 20-80 persen dalam peningkatan kualitas sayuran, seperti melon, mentimun, cabai, anggur, tomat, dan kacang panjang.
Peternak lebah dan petani, kata Ramadhani, sebenarnya saling membutuhkan. "Petani dapat keuntungan dari lebah yang ada di sana tanpa perlu memiliki koloninya. Peternak bisa dapat makanan untuk lebahnya," dia menjelaskan. Ihwal penyerbukan ini, ia berharap pemerintah membantu dengan menerbitkan aturan petunjuk teknis pemanfaatan jasa lebah. "Setidaknya memberikan dorongan bahwa lebah ini bukan hama, dan punya dampak besar bagi ekologi dan ekonomi petani. Sebelum lebah menghilang.”
ABDUL MANAN, DODY HIDAYAT, RAMOND EPU (JAMBI), ANWAR SISWADI (BANDUNG), DIDIT HARIADI (MAKASSAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo