Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemalsuan madu marak di masa pandemi Covid-19.
Madu hutan suku Baduy salah satu madu yang banyak dipalsukan.
Ada bermacam cara sederhana untuk mengenali madu asli atau bukan.
MARAKNYA penjualan madu lebah hutan suku Baduy justru membuat Uday Suhada resah. Pemerhati budaya dan pendamping komunitas adat Baduy ini senang mengonsumsi madu, dan tentu saja dia gembira jika madu hutan yang dipanen suku Baduy laris. Apalagi, di masa pandemi Covid-19, madu bisa menjadi suplemen tambahan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. “Masalahnya, sebagian madu yang beredar palsu," kata Uday. "Bukan madu Baduy asli. Bahkan ada yang isinya sama sekali tidak mengandung madu."
Madu hutan Baduy memang sering dipalsukan. Pada 2015, Kepolisian Resor Tangerang menangkap tiga pemalsu madu di kawasan Cisoka, Kabupaten Tangerang, Banten. Mereka bukan warga Baduy. Mereka membuat madu palsu dengan mencampur air gula, asam sitrat, dan perisa madu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Madu palsu itu mereka kemas dalam botol kaca berukuran 500 mililiter, lalu diberi label "Madu Baduy" dan dijual di Jakarta. Kepada polisi, para pemalsu madu ini mengaku bisa menjual 1.700 botol dalam sepekan. Mereka mengaku menjual madu abal-abal ini sejak 2013.
Sempat reda, pemalsuan madu Baduy kembali muncul pada 2020. Pelakunya adalah M. Shopiudin, 47 tahun, Tamuri (35), dan Asep (25). Shopiudin dan Tamuri orang Lamongan, Jawa Timur, yang tinggal di Joglo, Kembangan, Jakarta Barat. Mereka memiliki usaha produksi sirop CV Yatim Berkah Makmur yang dijadikan kedok. Mereka membuat madu palsu dengan memakai olahan fruktosa, glukosa, molase atau tetes tebu, dan perisa madu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembuatannya sederhana. Mereka mencampur glukosa dengan fruktosa dan molase ke dalam drum plastik berkapasitas 300 kilogram. Campuran itu lalu diaduk hingga berwarna kuning menyerupai madu dan diberi perisa madu. Orang awam tak akan bisa membedakan penampilan madu palsu ini.
Untuk pemasaran, mereka bekerja sama dengan Asep, warga Lebak, Banten. Asep mengemas madu palsu ke dalam botol kaca dan membalutnya dengan pelepah pisang kering supaya tampak sebagai madu hutan. Ia menjual madu palsu itu, termasuk di berbagai toko online, dengan harga Rp 60 ribu per botol.
Kepolisian Daerah Banten menangkap Shopiudin, Tamuri, dan Asep pada November tahun lalu. Berdasarkan keterangan mereka di Pengadilan Negeri Rangkasbitung, Banten, komplotan ini telah memproduksi madu palsu selama 11 bulan dengan keuntungan mencapai Rp 300 juta per bulan.
Pada April lalu, majelis hakim yang dipimpin Yudi Rozadinata memvonis mereka melanggar Pasal 140 Undang-Undang Pangan dan Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hakim menghukum mereka 5 bulan penjara.
Perbuatan komplotan pemalsu madu ini membuat resah para tetua adat suku Baduy. Apalagi penjualan madu palsu itu sempat melibatkan sejumlah pemuda Baduy luar. Tidak lama setelah tertangkapnya komplotan pemalsu madu di Kembangan, Lembaga Adat Baduy merazia kampung Kadu Ketug, Desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Mereka menemukan satu drum dan 20 botol madu palsu yang lantas dimusnahkan.
Tetua Lembaga Adat Baduy, Jaro Saija, meminta semua warga Baduy tidak terlibat dalam penjualan madu palsu. Menurut Uday, pemalsuan madu Baduy membahayakan konsumen sekaligus mencoreng citra suku Baduy. "Nama baik suku Baduy yang selama ini terkenal jujur, mengedepankan kesederhanaan, memuliakan kehidupan, telah dimanfaatkan beberapa orang untuk menipu,” ujar Uday.
Soalnya, pemalsuan madu merembet ke luar Jawa. Pada Maret tahun lalu, polisi dan tentara menggerebek tempat pembuatan madu palsu di Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Sebulan kemudian, ada laporan polisi menangkap pemalsu madu di Bengkulu. Pemalsu ini diburu hingga ke Riau.
Maraknya pemalsuan madu juga membuat para pengusaha madu, terutama pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), kelimpungan. Kepercayaan konsumen terhadap madu industri kecil anjlok. “Kami yang menjual madu asli kena dampaknya. Sebagian pembeli beralih ke madu merek terkenal saja karena madu UMKM dianggap rawan palsu,” ujar Wahyudi, pengusaha madu merek Asha di Jakarta Barat.
Pengusaha muda yang mengelola peternakan madu di Pati, Jawa Tengah, ini mengaku omzetnya anjlok 50 persen saat marak kasus madu palsu Baduy. Menurut Wahyudi, pemalsuan madu adalah fenomena lama, tapi kembali marak di masa pandemi Covid-19. “Karena kebutuhan masyarakat akan madu meningkat, sedangkan produksi madu tetap. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh para pemalsu,” ucapnya.
Pernyataan serupa diungkapkan Nur Triani, pembuat madu di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. “Tidak mudah membedakan madu asli dan palsu. Sekitar 15 tahun lalu, saya juga tertipu,” tuturnya. Karena pengalaman itu, Nur mendirikan tempat wisata edukasi madu bernama Gubug Jowo.
Dosen Departemen Teknologi Industri Pangan Universitas Padjadjaran, Bandung, Mahani, mengatakan madu yang baik adalah madu murni-alami—tanpa campuran dan dihasilkan lebah dengan cara alami. Sedangkan madu yang tidak masuk kategori murni-alami digolongkan menjadi tiga macam, yaitu siropan, oplosan, dan sintetis.
Madu siropan, Mahani menerangkan, adalah madu dari lebah yang diberi pakan sirop atau gula sehingga tidak menghasilkan madu murni dari nektar tanaman. “Madu siropan masih bisa dikategorikan madu murni, tapi tidak alami,” ujar Mahani.
Adapun madu oplosan adalah madu murni yang dicampur dengan bahan selain madu. Menurut Mahani, sebagian besar madu yang beredar di pasar adalah madu oplosan. “Ini tidak melanggar, asalkan menyebutkan dengan terang bahan apa saja yang dicampurkan,” Ketua Tim Konseptor Standar Nasional Indonesia Madu itu menambahkan. Sedangkan madu sintetis adalah cairan mirip madu yang sama sekali tak mengandung madu.
Memang, tak mudah mengetahui keaslian madu selain melalui uji laboratorium. Meski begitu, Mahani mengungkapkan, masyarakat bisa menguji keaslian madu dengan mengecek enzim diastase. Caranya: simpan madu di dalam kulkas selama dua bulan. “Tapi bukan dimasukkan ke freezer,” ucapnya. Jika muncul kristal es, bisa dipastikan madu tak mengandung enzim diastase sehingga patut diduga palsu.
Pengujian sederhana ini tidak berlaku untuk madu karet, kaliandra, dan kopi. Sebab, kata Mahani, ketiga jenis madu itu memiliki kadar glukosa lebih tinggi dibanding fruktosa. Akibatnya, secara alami cairan mudah membeku meski mengandung enzim diastase.
Pemilik perusahaan madu PT Kembang Joyo Sriwijaya di Malang, Jawa Timur, Ustadi, memiliki cara lain untuk membedakan madu asli dan palsu. Ia memasukkan madu ke larutan bekas rendaman pati dan yodium.
Reaksi kimia dari rendaman pati dan yodium akan menyebabkan air berwarna biru. Jika air kembali berwarna bening, berarti madu mengandung enzim diastase yang mampu memecah ikatan pati dan yodium. “Jika air tetap biru, patut diduga madu tersebut palsu,” tutur Ustadi.
AGUNG SEDAYU, WASIUL ULUM (BANTEN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo