Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Wabah Flu Burung di Dunia, Bagaimana di Indonesia? Ini Kata Penelitinya

Varian baru virus flu burung yang menyebabkan kematian ayam di peternakan dan mengganggu produksi telurnya telah terjadi di Indonesia. Lalu?

19 Februari 2023 | 19.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas berpakaian pelindung berjalan menuju peternakan unggas di Higashikagawa, Jepang sebelah barat, untuk menyelidiki dugaan wabah flu burung di tengah pandemi Covid-19. Foto diambil oleh Kyodo, 8 November 2020. (ANTARA/Kyodo via Reuters/as)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Varian baru virus flu burung yang menyebabkan kematian ayam di peternakan dan mengganggu produksi telurnya telah terjadi di Indonesia. Sejumlah kasus flu burung itu bahkan sudah muncul sejak pertengahan tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"September-Oktober sudah muncul kasus-kasusnya dengan hitungan kerugian ekonomi yang cukup signifikan," kata Guru Besar di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, Chairul Anwar Nidom, saat dihubungi, Minggu 19 Februari 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nidom mengungkap itu saat ditanyakan perihal perkembangan flu burung di beberapa bagian dunia saat ini. Kekhawatiran mengemuka karena virus flu burung H5N1 diketahui menjangkiti luas unggas liar dan domestik, bahkan mamalia, serta menyebabkan kematian.

Di Amerika Serikat, pembantaian unggas besar-besaran sampai memukul harga telur di pasaran setempat. Sedangkan di Ekuador, flu burung diduga pula menyebabkan kematian seorang anak yang memiliki riwayat kontak dengan unggas peliharaan--yang sebelumnya mengalami kematian misterius di daerah itu.

Menurut Nidom, kewaspadaan atau surveillance harus ditingkatkan di Tanah Air, terlebih dengan sejumlah kasus kematian unggas di peternakan yang juga sudah terjadi tersebut. Satu contoh kasus disebutnya di Kalimantan. Kematian terjadi setelah ada gejala klinis yang ditemukan--persis seperti yang terjadi di beberapa negara lain.

"Harus segera diikuti simulasi atau penelitian di laboratorium, jangan menunggu reaksi virus di lapangan," tutur pria yang telah meneliti virus flu burung sejak awal 2000-an ini. Penelitiannya pada 2005 mengungkap kemampuan virus H5N1 melompat ke babi dan bahkan menyebabkan kematian pada manusia di Tangerang.  

Simulasi atau penelitian terkini, kata Nidom, untuk mencari tahu sudah berapa jauh luas infeksi virus yang terjadi, termasuk seperti apa risikonya bagi manusia. "Supaya antisipasi kita tidak terlambat." 

Nidom menduga, varian baru virus flu burung di Indonesia sama seperti yang ditemukan di dunia, yakni memiliki mutasi PB2. Mutasi ini berdampak ke kemampuan perbanyakan diri virus yang meningkat.

Namun, untuk memastikan keganasan si virus, Nidom menambahkan, perlu penelitian terhadap sampel virusnya. "H5N1 varian baru 2.3.4.44 ini belum kami dapatkan sampelnya," kata dia.


Ancaman dari Varian Lain yang Low Pathogenic 

Yang justru telah didapati sampelnya oleh Nidom dan timnya adalah virus flu burung H9N2. Virus ini dikenal low pathogenic atau tak mematikan. Namun, hasil simulasi yang sudah dilakukan membuktikan virus flu burung ini menyerang saluran reproduksi dan bukannya pernapasan.

"Ini yang menyebabkan ayam tak berproduksi telur," katanya. Riset lebih jauh juga mengungkap virus yang sama bisa ditemukan pada saluran reproduksi mencit dan monyet. "Kita harus mulai berpikir sejak sekarang bahwa virus flu burung menyerang saluran reproduksi mamalia," katanya menambahkan.


Surveillance dan Jaga Jarak dengan Peternakan

Pendiri Laboratorium Profesor Nidom Foundation ini menekankan pentingnya surveillance berkelanjutan untuk menghadapi segala bentuk infeksi yang terjadi. Upaya ini memang membutuhkan biaya namun data yang diperoleh akan sangat penting  untuk membuat kebijakan di masa yang akan datang.

Dia merujuk sejumlah wabah seperti penyakit mulut dan kuku dan lumpy skin disease pada sapi, african swine virus pada babi, serta flu burung. "Itu semua menyebabkan kerugian yang tidak sedikit hanya karena kita tidak antisipastif."

Penting pula, menurut dia, mengatur jarak antara populasi manusia dan hewan atau peternakan saat jumlah penduduk semakin besar dan wilayah dirasa semakin padat. Ini untuk mencegah penularan penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis) atau sebaliknya. 

"Ancaman terhadap kesehatan karena tidak mengatur jarak kehidupan hewan dan manusia berpotensi merugikan negara besar," katanya lagi. 

 

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus