Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI anak kunci harus menemukan lubangnya.
Demikianlah cara virus, termasuk virus flu burung H5N1, membajak tubuh inangnya. Mula-mula virus harus menemukan tempat mendarat di permukaan sel inang. Dok itu tidak sembarangan, karena mesti klop dengan modul pendarat yang ada di permukaan sel virus. Yup, dok itu menjadi gemboknya, dan modul pendarat virus sebagai anak kuncinya.
Lalu, ceklak, virus itu segera membuka pintu masuk ke sel inang dan mengirim material genetik untuk diperbanyak di sistem sel sial tersebut. Akan tiba masanya sel itu penuh sesak oleh sel virus baru dan meledak. Virus baru lalu mencari sel yang masih sehat untuk diinfeksi. Terus begitu sampai inangnya mati.
Bila tidak menemukan dok yang cocok, virus akan mati tanpa sempat menjangkiti sel inang. "Itulah yang selama ini mencegah virus flu burung menular dari manusia ke manusia," ujar C.A. Nidom, Ketua Pusat Riset Flu Burung Universitas Airlangga, Surabaya, awal bulan lalu.
Tapi datang kabar buruk dari sejawat Nidom, Yoshihiro Kawaoka. Flu burung berpotensi memiliki modul pendarat yang cocok dipakai untuk merapat pada permukaan sel manusia. "Mungkin tinggal menunggu waktu," ujar guru besar Universitas WisÂconsin, Amerika Serikat, itu ketika bertandang ke Unair bulan lalu.
Modul pendarat virus tersusun dari persenyawaan gula dan protein yang disebut hemaglutinin. Pada flu burung, modul tersebut cuma bisa dipakai untuk merapat di permukaan sel unggas, karena hanya bisa terkait ke reseptor asam N-asetilneuraminik (NANA) pada ikatan alfa-2,3. Manusia punya NANA alfa-2,3, tapi dalam jumlah sangat sedikit. Itu pun terpencil di alveoli paru-paru. Karena pada manusia dok itu susah dijangkau, hanya sedikit virus flu burung yang membuat manusia jatuh sakit.
Agar dapat mendarat di permukaan sel manusia, flu burung harus memiliki modul pendarat yang dapat menempel pada reseptor NANA alfa-2,6, yang jumlahnya melimpah di sepanjang saluran pernapasan. "Percobaan kami menunjukkan H5N bisa memiliki hemaglutinin untuk alfa 2,6 manusia," ujar Kawaoka.
Bukan cuma tim Kawaoka—kerap disebut Grup Wisconsin—yang melakukan eksperimen itu. Ada tim kedua dari Grup Erasmus yang dipimpin Ron Fouchier dari Pusat Medis Erasmus, Rotterdam, Belanda. Sementara penelitian grup Wisconsin telah dipublikasikan di jurnal Nature edisi Mei, publikasi lengkap penelitian Grup Erasmus di majalah Science masih terganjal kekhawatiran bahwa informasinya bisa dipakai untuk mengubah flu burung menjadi senjata biologi.
"Kedua tim menunjukkan H5N1 yang selama ini menjangkit dari unggas ke manusia dapat berubah sehingga dapat menular dari manusia ke manusia," ujar Nidom. "Satu hal lagi, penularan itu terjadi melalui udara, seperti ditunjukkan pada musang yang menjadi obyek uji coba dalam kedua eksperimen itu."
Jangan menganggap remeh musang. "Hewan ini adalah golden animal yang direkomendasikan WHO untuk setiap penelitian vaksin influenza dan model transmisinya," ujar Nidom. Selain hewan tersebut tergolong mamalia seperti halnya manusia, manifestasi klinik infeksi flu burung pada musang paling mendekati manusia—dari demam, sakit kepala, hingga hidung meler.
Pada Kawaoka, kemampuan flu burung untuk menginfeksi mamalia diperoleh melalui reabsorbment. Oleh tim Kawaoka, virus H5N1 asal Vietnam "dipaksa" melakukan koalisi dengan virus flu babi H1N1 yang sudah memiliki hemaglutinin untuk reseptor alfa 2,6. Agar virus baru itu lebih gampang menempel di sel mamalia, reseptor alfa 2,3 disingkirkan dari permukaan virus. "Pemisahannya menggunakan sel darah merah kalkun," ujar Nidom.
Ketika virus baru tersebut diinfeksikan pada musang, sang musang jatuh sakit. Terbukti pula virus itu bisa menular ke musang lain lewat udara. "Namun virus strain baru itu tidak mematikan musang, hanya membuat musang demam dan hidungnya beringus," ujar Nidom.
Fouchier memakai metode yang berbeda. Ia memberi perlakuan mutasi buatan terhadap sampel virus H5N1 dari Hong Kong. "Virus itu berasal dari Indonesia," ujar Nidom.
Mutasi dilakukan menggunakan robot pembuat mutasi. Fouchier hanya memanen strain yang memiliki modul pendarat untuk sel mamalia. Strain itu lalu diuji pada musang dan hasilnya sama seperti percobaan Kawaoka. Bedanya, virus strain Belanda lebih ganas, membuat musang terbunuh.
Eksperimen Kawaoka sebenarnya komplemen dengan eksperimen Nidom pada 2006. Waktu itu Nidom menggabungkan virus flu burung dari ayam dengan virus flu musiman (H3N2). Virus hibrida ini lalu diinfeksikan ke mencit. "Pada eksperimen saya, virus hasil koalisi itu ternyata lebih ganas daripada aslinya dan memiliki derajat virulensi lebih tinggi," ujar Nidom.
Ketiga eksperimen itu, untunglah, baru terjadi di laboratorium. Namun hal yang sama bukan tak mungkin terjadi di alam. "Penelitian itu dilakukan semata-mata untuk mengetahui pola karakter virus flu burung tatkala ketemu dengan virus flu lain. Hasilnya, karakter utama virus flu, yakni antigenic shift, terbukti dimiliki oleh H5N1," ujar Nidom. Antigenic shift adalah pertukaran fragmen (mutasi) antar-strain virus flu yang bisa menghasilkan karakter baru.
Menurut Nidom, peluang pertukaran fragmen antara H5N1 dan virus flu lainnya lebih besar di Indonesia. Soalnya, Indonesia kaya akan virus flu—semuanya ada lima varian. Padahal Indonesia juga sering diserang flu burung. Sejak 2005, tak kurang dari 189 kasus flu burung terjadi pada manusia.
Celakanya, Indonesia tak bersikap tegas dalam mencegah penyebaran penyakit ini di sumbernya, yakni pada ternak unggas. "Pemerintah seperti terus berada di persimpangan jalan: mau menyelamatkan manusia atau ekonomi peternakan," kata Nidom. "Bila keselamatan manusia menjadi fokus kebijakan, berapa pun ongkos untuk mencegah jatuhnya korban manusia harus dilakukan."
Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Kementerian Kesehatan Rita Kusriati mengakui pemerintah memang belum bersikap. "Belum ada alasan untuk memilih hanya satu jenis pencegahan: vaksinasi saja atau hanya eradikasi," katanya.
Padahal, menurut Kawaoka, untuk mencegah terjadinya mutasi dan koalisi antarvirus di alam, cuma ada satu cara: eradikasi. "Indonesia harus meniru kebijakan Jepang atau Korea Selatan," ujarnya.
Pemerintah kedua negara melakukan eradikasi alias memusnahkan semua hewan yang terserang virus flu burung atau berpotensi terserang virus ini. Thailand yang semula menerapkan sistem vaksinasi juga telah mengubah kebijakan menjadi eradikasi. "Pencegahan dengan vaksinasi hewan tidak efektif," kata Kawaoka.
Menurut Nidom, upaya vaksinasi pada hewan tidak hanya tak efektif, tapi juga terbukti telah mengakibatkan virus flu burung di Indonesia terus-menerus bersirkulasi. "Karena tidak dimusnahkan, virus itu seperti disuruh menunggu kesempatan untuk berkoalisi dengan virus flu manusia."
Jika virus hasil koalisi benar-benar tercipta di alam, keadaan fatal bisa terjadi. Pasalnya, virus ini bisa menular segampang influenza tapi dengan daya bunuh yang amat hebat. Rerata angka kematian pada manusia di seluruh dunia akibat virus ini 50-55 persen, dan di Indonesia, akibat manajemen penanganan yang buruk, angkanya jauh lebih tinggi, yakni 82 persen.
Memang pandemi flu burung belum tentu bakal terjadi, tapi bisa pula sebaliknya. Sudah berkali-kali flu membikin bencana global. Pada 1918, misalnya, flu Spanyol merenggut lebih dari 40 juta nyawa, lebih besar dari kematian akibat Perang Dunia I. Ah, jangan-jangan Cesc Fabregas dan pemain tim Spanyol lainnya di Piala Eropa adalah keturunan dari orang yang selamat dalam wabah ketika itu?
Dwi Wiyana, Mahardika Satria Hadi, Isma Savitri, Fatkhurohman Taufiq (Surabaya)
Membuat virus mutan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo