Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berthold Damshauser*
Saya akan kembali bercerita tentang peristiwa yang terjadi pada jam mata kuliah bahasa Indonesia di Universitas Bonn.
Ini terjadi beberapa minggu yang lalu. Seorang mahasiswi melaporkan dengan antusias: "Pak, kebetulan saya baca artikel di sebuah majalah wanita Indonesia (Femina Nomor 10/XL, 10-16 Maret 2012) berjudul 'Nasib Bahasa Indonesia'. Ternyata di situ ada foto Bapak, karena Bapak diminta mengomentari tema itu. Sepertinya Bapak di sana dianggap sebagai pakar bahasa Indonesia, ya? Saya kaget, tapi bangga juga punya dosen seperti itu."
"O, artikel itu," saya menjawab sesantai mungkin, supaya tidak diketahui bahwa rasa bangga saya jauh melebihi rasa bangga mahasiswi ini. Masih bangga-bahagia, tiba-tiba saya mendengar bisikan dari belakang:
"Kok, ia dianggap pakar bahasa Indonesia. Kemarin, saat menerangkan makna teks Pancasila kepada kita, ia begitu bingung, mati-matian memeras otak, akhirnya nyaris menyerah." Untungnya, ada bisikan lain yang menghibur: "Jangan lupa, orang Indonesia pun tidak memahami kalimat seperti 'kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan', bahkan cenderung tidak menyadari bahwa mereka tidak memahami."
Sementara itu, si mahasiswi angkat bicara lagi: "Pak, bisa kita diskusikan artikel tersebut, terutama kenyataan bahwa orang Indonesia kurang menguasai bahasanya sendiri. Di situ tercatat, banyak sekali siswa SMA tidak lulus ujian nasional justru karena gagal dalam mata pelajaran bahasa Indonesia."
"Ya, Pak, ini menarik," terdengar suara lain. "Tema ini bahkan perlu diperluas ke arah lain lagi. Bukankah Bapak pernah bercerita bahwa sastrawan Indonesia teman Bapak, terutama mereka yang menjadi redaktur media sastra, mengeluh karena karya-karya rekan mereka penuh kesalahan tata bahasa, juga pengabaian logika kalimat, dan kelemahan bahasawi yang lain?"
"Begini, ya," saya mulai menjawab sambil memasang wajah ilmiah, "jangan gegabah dalam menilai. Jangan juga lupakan prestasi bangsa Indonesia dalam mengembangkan bahasa nasionalnya, terutama juga saham besar para sastrawan. Kalau segala sesuatu belum sempurna, itu bisa dimaklumi. Bagi kebanyakan penutur di sana, bahasa Indonesia bukan merupakan bahasa ibu. Mereka mempelajarinya sebagai bahasa kedua, dan gurunya sering juga bukan penutur asli bahasa Melayu-Indonesia."
"Iya, Pak," kata mahasiswa yang tadi berbisik kurang ajar, "tapi kalau betul bahwa bahkan di antara sastrawan Indonesia ada yang kurang menguasai bahasa yang digunakan dalam karyanya, itu pertanda apa kiranya? Bukankah justru sastrawan mesti menjadi teladan bahasa bagi bangsanya?"
Belum sempat menjawab, saya mendengar suara lain: "Kiranya, itu harapan terlalu besar dalam keadaan di Indonesia. Belum pasti juga pembaca Indonesia, yang jumlahnya sedikit, mencari teladan demikian. Mereka mencari, dan itu haknya, sesuatu yang menghibur, sesuatu yang ringan, misalnya novel pembangun jiwa seperti novel Ayat-ayat Cinta. Lagi pula, kosakata bahasa Indonesia sedikit sekali, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia baru tercatat 90 ribu kata Indonesia. Bandingkanlah dengan Jerman atau Inggris, yang memiliki satu juta kata, dan…."
"Angka itu memang menarik," saya menginterupsi untuk kembali memegang kendali, sambil mencium kemungkinan menyelamatkan nama baik kesusastraan Indonesia modern, bidang yang saya amati dan terjuni itu. "Bayangkan, dengan kosakata yang sedikit itu, para sastrawan Indonesia sudah sanggup menghasilkan karya besar. Hebat, kan?"
"Betul, Pak," jawab suara lain lagi, "tapi bagaimana dengan masalah tadi? Bahwa mutu teks para sastrawan bisa kurang memadai?"
"Ah," saya mulai tak sabar, "ini mungkin kesan keliru, paling sedikit agak berlebihan. Menurut saya, itu sering cuma masalah editing yang kurang teliti. Mungkin juga soal waktu. Naskah gemilang mesti cepat terbit, kan?"
"Saya tak puas dengan jawaban Bapak," terdengar suara tajam yang mengarah ke kekurangajaran. "Masalah mutu bahasa dalam karya sastra Indonesia modern saya anggap tidak hanya disebabkan oleh kurang editing. Menurut pendapat saya, masalah itu patut dijadikan tema bagi penelitian ilmiah."
"O ya, ide hebat itu," kedengaran suara paduan para mahasiswa yang memadati ruangan. "Untuk skripsi master nanti, saya akan meneliti aspek kesalahan tata bahasa dalam novel-novel Pramoedya Ananta Toer."
"Saya akan membahas masalah logika kalimat atau kohesi dalam karya-karya Mochtar Lubis."
"Saya akan memilih puisi Indonesia yang mutakhir. Itu lahan yang subur bagi penelitian demikian."
Wah, saya pikir, dari mana asal sikap yang terlalu kritis itu? Bukan saya kok yang menanamkan! Bukankah saya kerap menjadi korban sikap demikian? Maka jangan mereka kira saya akan memberi mereka izin untuk tema-tema tak sopan itu. Enak saja!
*) Kepala Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Bonn, Pemimpin Redaksi Orientierungen, dan Redaktur Jurnal Sajak
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo