Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Dunia Riset dan Industri Belum Saling Percaya

Wawancara dengan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro tentang hambatan yang membuat ekosistem riset dan inovasi di Indonesia sulit berkembang.

8 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro di Jakarta, 1 Juli 2020./TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bambang Brodjonegoro mengatakan Badan Riset Inovasi Nasional dicita-citakan menjadi lembaga penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan pemerintah satu-satunya.

  • Tidak lancarnya komunikasi antara dunia riset dan industri berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang belum mengacu pada inovasi.

  • Rasio antara dana riset dan pengembangan terhadap produk domestik bruto Indonesia masih sangat kecil.

MENTERI Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengemban tugas baru. Sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ia bertanggung jawab terhadap penghiliran hasil riset perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Tugas yang belum ada dalam portofolio menteri-menteri riset terdahulu. “Dengan adanya BRIN, ada kata ‘inovasi’, maka indikator kinerja saya bertambah,” kata Bambang kepada Tempo melalui konferensi video, Selasa, 4 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bambang mengatakan dunia penelitian nasional selama ini lebih banyak mencetak laporan hasil riset. Padahal, untuk mewujudkan ekonomi berbasis inovasi, setiap hasil riset perguruan tinggi ataupun lembaga penelitian harus bisa diolah menjadi produk siap pakai. Di sinilah BRIN berperan menjembatani dunia penelitian dan dunia usaha. “Kita enggak ingin jadi negara yang menghasilkan laporan riset,” ujarnya.

Indonesia memiliki banyak lembaga penelitian. Bagaimana pemerintah mengambil kebijakan berdasarkan inovasi lembaga-lembaga tersebut?

Kalau ingin menjadi negara berbasis inovasi, kita harus menyiapkan apa yang menjadi sumber inovasi itu. Inovasi datangnya dari litbang jirap (penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan), yang menyebar di perguruan tinggi dan badan litbang di berbagai kementerian dan lembaga. Langkah kedua adalah partisipasi swasta.

Mengapa swasta penting dilibatkan?

Rasio antara dana riset dan pengembangan terhadap produk domestik bruto Indonesia masih sangat kecil, sekitar 0,25 persen. Bandingkan dengan Korea Selatan, misalnya, sebesar 4,3 persen PDB. Tapi bukan di situ yang ingin saya tekankan. Di dalam dana riset itu ada peran pemerintah dan swasta. Di Korea Selatan, peran swastanya 70 persen. Di Indonesia 80 persennya dari pemerintah. Swasta kita masih sangat terbatas keinginannya untuk berinvestasi di bidang riset dan pengembangan.

Bagaimana dengan kondisi ekosistem pengetahuan Indonesia saat ini?

Kami mengimplementasikan riset dan inovasi dengan pendekatan triple helix. Ini sinergi antara tiga pihak utama, yaitu dari sisi penelitiannya, baik perguruan tinggi maupun lembaga penelitian, lalu industri, dan pemerintah. Untuk membangun ekosistem triple helix, syaratnya bukan sekadar tiga pihak itu sudah ada, tapi bagaimana hubungan ketiganya. Saat ini implementasi triple helix memang belum ideal. Komunikasi yang lancar antara dunia penelitian dan dunia usaha belum intensif.

Mengapa hal itu terjadi?

Memang betul ada beberapa perusahaan swasta ataupun badan usaha milik negara yang punya unit riset dan pengembangan yang kuat, dan kami sangat mendukung itu. Tapi yang sering terjadi adalah mereka kurang menjalin hubungan dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian sehingga kadang dunia usaha menganggap kita belum bisa membuatnya. Akibatnya, saat ada kebutuhan di pasar, akhirnya yang dilakukan adalah impor. Ini yang terjadi selama ini.

Apa yang harus dilakukan agar pendekatan triple helix bisa berjalan ideal?

Triple helix bisa jalan kalau pemerintah, dalam hal ini Kementerian Riset dan Teknologi serta BRIN sebagai fasilitator, mengupayakan komunikasi yang intens antara dunia penelitian dan dunia usaha. Masalahnya, antaranggota belum saling bicara, kenal, saling percaya. Kalau komunikasinya buntu, dari triple helix enggak akan muncul apa-apa. Sewaktu kejadian Covid, saat masyarakat bilang kita kekurangan ventilator atau alat tes, peneliti meresponsnya dengan membuat sendiri dalam waktu dua-tiga bulan.

Apakah tidak lancarnya komunikasi antara dunia riset dan industri berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang belum mengacu pada inovasi?

Betul sekali. Saat saya dilantik Oktober tahun lalu sebenarnya ada perubahan mendasar dari segi portofolionya. Kalau kita bicara riset dan teknologi, otomatis yang menjadi output adalah temuannya. Tapi untuk menjadi inovasi masih panjang perjalanannya. Dengan adanya BRIN, ada kata “inovasi”, maka indikator kinerja saya bertambah. Jadi tidak hanya mendorong kegiatan riset dan aplikasi teknologi, tapi saya juga harus memastikan hilirisasi hasil riset tersebut. Makanya muncul istilah “litbang jirap”.

Apa tujuan jangka panjang BRIN?

BRIN dicita-citakan menjadi lembaga litbang jirap pemerintah satu-satunya. Menteri riset sebelumnya hanya seperti menteri koordinator urusan riset. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, misalnya, tidak seratus persen di bawah kontrol kami. Apalagi badan litbang kementerian dan lembaga yang hanya nurut sama menterinya. Kalau nanti badan-badan litbang sudah terkonsolidasi dengan baik, kami harap enggak ada lagi duplikasi hasil penelitian.

Bagaimana Anda meyakinkan kementerian agar bersedia memindahkan litbang mereka ke BRIN?

Kami bukannya mau memindahkan semua litbang mereka, tapi dibagi. Mana yang merupakan dukungan teknis atau kebijakan, silakan tetap di kementerian. Jangan sampai kebijakannya tidak berbasis data atau riset. Tapi saya tahu ada kegiatan di kementerian yang memang murni litbang jirap.

Anda banyak menjelaskan riset dan inovasi terapan, misalnya yang berhubungan dengan industri. Bagaimana dengan riset bidang ekonomi, politik, dan sosial?

Sebenarnya semua bidang penelitian atau litbang jirap itu tanggung jawab kami. Kami bagi dalam kluster-kluster. Ada kluster yang terkait dengan industri manufaktur, industri pertahanan, pertanian, kesehatan, dan sosial-humaniora.

Sebelum berintegrasi dengan BRIN, setiap badan litbang kementerian masih menjalankan penelitian masing-masing. Bagaimana Anda memastikan riset mereka tidak tumpang-tindih?

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019, sudah ditegaskan bahwa BRIN yang akan mengintegrasikan litbang jirap. Nanti operasionalnya dilakukan oleh kluster sesuai dengan bidang. Sebenarnya perintah integrasi sudah disampaikan Presiden (Joko Widodo) dua kali dalam rapat terbatas. Beliau sudah menginstruksikan kepada menteri-menteri agar mengintegrasikan badan litbang mereka ke kami.

Bagaimana tindak lanjutnya sejauh ini?

Saya melakukan pendekatan yang sifatnya bilateral, satu per satu dengan beberapa menteri yang punya unit litbang lumayan besar. Beberapa menteri sudah memberikan respons yang sangat baik. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sudah mengatakan dengan tegas bahwa sebagian dari badan litbangnya akan bergabung ke kami. Bahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan nantinya semua litbang ESDM akan bergabung dengan BRIN.

Apakah ada menteri yang resistan untuk mengintegrasikan badan litbangnya?

Susah juga, ya, kalau ngomongin temen sendiri, karena menyangkut menteri lain. Saya enggak usah sebut nama ataupun institusinya. Tapi begitu tahu ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019, lalu saya dilantik sebagai menteri dan Kepala BRIN, dan rapat terbatas saat Presiden memberikan arahan integrasi, ada menteri yang mengatakan litbangnya dibubarkan saja. Bukannya dibubarkan dan digabung dengan kami, tapi unit-unit yang ada dalam badan litbang diintegrasikan ke direktorat-direktorat jenderalnya. Jadi semacam berubah menjadi litbang direktorat jenderal.

Apakah tersendatnya integrasi badan litbang disebabkan oleh belum terbitnya peraturan presiden tentang struktur organisasi dan tata kelola BRIN?

Kami sudah mengikuti semua ketentuan perundangan untuk pembuatan perpres. Sudah sampai tahap disetujui Presiden. Kalau integrasinya enggak mulus, buntu di tengah jalan, ya kasihan Bapak Presiden. Seolah-olah instruksi beliau tidak dipatuhi seratus persen. Saya ingin menjaga reputasi Presiden dengan memastikan integrasi berjalan mulus dengan mekanisme yang membuat nyaman semua pihak. Ini bukan hal mudah karena ada ego sektoral. Litbang biasanya terlahir bersama kementeriannya. Mereka bisa bilang, “Eh, kami tuh lebih tua lho dari kalian, sudah sulung dan senior, tapi masih disuruh ikut yang junior.” Kadang masih ada sentimen seperti itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus