Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berebut Posisi Jawara di Asia Tenggara

Para pemain e-commerce bersaing ketat di Asia Tenggara. Shopee, yang bernuansa lokal dari Singapura dan didukung Tencent berebut pasar dengan Lazada yang disokong Alibaba. Sementara Tokopedia siap menyalip di tikungan. 

8 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kantor Tokopedia di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Situs belanja online milik Alibaba, Lazada, mestinya bisa meraup keuntungan saat Singapura dilanda krisis ekonomi yang disebabkan oleh virus corona pada April 2020 lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun saat kebijakan lockdown digalakkan di Negeri Singa, Lazada tidak sanggup memenuhi permintaan yang membludak sehingga mereka justru harus mengurangi suplai kebutuhan sehari-hari dan membatasi jumlah barang yang boleh dibeli pelanggan menjadi 35 item saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Lazada membatasi suplai dan mengurangi variasi barang yang justru paling dibutuhkan oleh masyarakat," kata seorang manajer modal venture top di  Singapura yang berinvestasi di beberapa perusahaan e-commerce. "Setiap orang berebut untuk mendapatkan slot pengiriman barang dan hal tersebut membuat orang jengkel." 

"Saya belum pernah mendengar Alibaba melakukan hal tersebut di Cina," ia menambahkan. Beberapa bulan kemudian, pada Juni 2020 lalu, CEO Lazada Pierre Poignant digantikan oleh Chun Li. Ini merupakan pergantian yang ke-empat dalam dua tahun terakhir.

Kantor toko online Shopee di Jakarta, Januari 2019. Sejumlah e-commerce menyiapkan materi pemasaran digital untuk industri kecil. TEMPO/Tony Hartawan

 

Pergantian manajemen tersebut merupakan masalah baru di Lazada, sebuah  perusahaan startup yang dibeli Alibaba dari perusahaan Jerman Rocket Internet dan investor lain termasuk Tesco, pada 2106. Pada saat itu, untuk mengulangi kesuksesan raksasa Cina di Asia Tenggara rasanya tidak terlalu sulit, padahal Amazon saja belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.

Namun sampai saat ini, setelah menyuntikkan dana yang sangat masif sebesar $4 miliar, Alibaba belum menemukan formula yang tepat untuk menemukan hasil yang diinginkan. Bahkan Alibaba mengumumkan di laporan tahunannya bahwa Lazada merupakan salah satu perusahaan mereka yang diprediksi akan menghasilkan efek negatif pada kondisi finansial mereka, setidaknya dalam jangka pendek.

Lazada ketinggalan jauh di belakang rival terberatnya Shopee, bahkan di beberapa pasar utamanya.

Berdasarkan penelitian iPrice Group, App Annie, dan SimilarWeb, Shopee mengambil alih posisi Lazada sebagai aplikasi belanja online yang paling sering digunakan di Asia Tenggara pada 2019. Shopee juga lebih banyak diunduh hingga Mei 2020 di enam negara di mana Shopee dan Lazada beroperasi: Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Singapura.

Bahkan di Vietnam dan Indonesia, pengguna aktif bulanan Shopee jauh lebih banyak dibandingkan Lazada pada bulan Mei. “Anda melihat pertumbuhan yang lebih cepat dari Shopee yang berbasis kecil. Empat tahun lalu Lazada lebih besar,” kata Sion Wintels dari McKinsey.  

Lazada mengklaim memiliki lebih dari 70 juta pelanggan unik di 6 negara dalam 12 bulan hingga Maret 2020 lalu. "Pengunduhan aplikasi dan trafik situs bukanlah metrik yang diakui investor, bukan pula menjadi fokus kami,” demikian rilis mereka.

Perusahaan yang menaungi Shopee adalah firma bernilai $50 miliar asal Singapura, Sea Group, sebuah konglomerat bisnis game dan e-commerce. Tencent, rival Alibaba di Cina, memiliki saham yang signifikan di Sea Group.

Tahun lalu, Shopee melayani lebih dari 1,2 miliar pesanan senilai $17,6 miliar, namun, sebagian dari pertumbuhan pesat tersebut merupakan hasil subsidi yang tidak sedikit. Dalam laporan tahunannya, Sea Group, yang mengalami kerugian $1,45 miliar pada 2019, memperingatkan bahwa "revenue yang dihasilkan dari monetisasi Shopee mungkin belum bisa menutupi biaya operasional yang signifikan, sehingga perusahaan terpaksa beroperasi dengan menanggung kerugian di masa mendatang." 

"Kita bisa mendapatkan hasil yang cukup jika kita mau membelanjakan uang ini,” kata Wintels.

Aplikasi yang paling sering diunduh di iOS & Google Play, Juni 2019-Mei 2020

FT/ Firdhy Esterina C

Tidak ada tempat dengan persaingan yang lebih mahal daripada di Indonesia, pasar yang paling menjanjikan di Asia Tenggara dengan 267 juta orang populasi dan pendapatan per kapita 1,6 kali dari India.

Di Indonesia, Lazada bukan hanya bersaing dengan Shopee, namun juga dengan Tokopedia yang juga didukung oleh Alibaba dan SoftBank. Sedangkan Bukalapak berada di peringkat keempat.

Para ahli meyakini konsolidasi tidak dapat dihindari. Pilihannya adalah menggabungkan Lazada dan Tokopedia, dua perusahaan di mana Alibaba menginvestasikan dananya.

Namun menurut analis dari CLSA, Paul Mckenzie, bukannya menjadi pemain yang paling ditakuti, Lazada justru berpotensi menjadi target akuisisi. "Shopee dan Tokopedia akan menguasai dua pertiga pasar pada tahun 2023." 

Yang menjadi masalah adalah bagaimana meluncurkan model Lazada pada customer service berkualitas dan mampu menjalankan logistiknya sendiri  seperti Alibaba dan Amazon. "Lazada selalu menjadi “top heavy”, kata Wilson Cuaca, pendiri East Venture yang berinvestasi di Tokopedia. “Mereka selalu melakukan segalanya sendiri - misalnya memiliki gudang sendiri.”  

Gudang penyimpanan barang toko online Lazada di Cimanggis, Depok, Jawa Bara. [TEMPO/Tony Hartawan; TH2017121215]

 

Sedangkan Shopee dan Tokopedia merupakan “marketplace” di mana bisnis kecil bisa mendaftarkan barang dagangannya untuk dijual dan mengatur pengantarannya secara mandiri. 

Untuk menarik hati pelanggan, Lazada berencana memanfaatkan teknologi Alibaba. Presiden Lazada, yang juga salah satu pendiri Alibaba, Lucy Peng mengatakan bahwa mereka akan ‘meningkatkan’ inovasi digital, misalnya dengan menggabungkan belanja dengan hiburan dan pengalaman sosial, termasuk live-streaming. 

Namun, hanya bergantung dengan Alibaba tentu menimbulkan problema lain. Para pembeli di Asia Tenggara menganggap Lazada sebagai perusahaan asing; awalnya dari Jerman lalu Cina, dan mereka selalu dibandingkan dengan Shopee yang menekankan program perekrutan lokalnya.

Manajemen atas dan menengah Lazada, setidaknya pada peran teknologi, memang cenderung diimpor dari Cina.

Persaingan nampaknya akan semakin sengit. Investor dan rival bersiap di belakang Amazon yang sudah lebih dulu diluncurkan di Singapura, untuk melebarkan kesuksesannya di Asia Tenggara. Sementara Tokopedia mendapatkan suntikan investasi sebesar $1 miliar.

“Kalau harus memilih satu perusahaan, saya akan memilih mendukung Tokopedia,” kata pendiri Insignia Ventures Partners di Singapura, Yinglan Tan. “Tokopedia memiliki model seperti Taobao [consumer-to-consumer], sedangkan Lazada dimulai dengan model business-to-consumer seperti T-Mall. Ini adalah waktu yang kurang tepat, model itu masih terlalu canggih untuk Indonesia.” 

Aplikasi dengan pengguna aktif bulanan terbanyak*, iPhone dan Android, Mei 2020

FT/ Firdhy Esterina C

Artikel ini pertama dimuat di Financial Times pada 20 Juli 2020.
Alih bahasa: Laila Afifa

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus