Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Laskar Laba-laba Merah Benteng Vredeburg  

Sudut-sudut Museum Benteng Vredeburg diserbu laskar laba-laba merah. Sebuah pameran seni di tengah wabah.

8 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Karya pematung Lutse Lambert Daniel Morin dalam pameran bertajuk Jaring Artropoda di Museum Benteng Vredeburg, Jogjakarta, 3 Agustus 2020. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HALAMAN Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, terasa mengintimidasi dengan citraan tarantula berwarna merah darah. Patung laba-laba jumbo berkepala helm tentara ini seakan-akan sedang berjalan, menancapkan kakinya yang panjang. Bola matanya yang terbuat dari lampu menyorot tajam, bagai mengawasi langkah setiap musuh. Benda ini seperti sedang menjaga garis depan pertahanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Serdadu laba-laba yang lebih kecil berbahan besi berpencar di sekelilingnya, seperti formasi militer. Citraan artropoda berbahan tabung gas merambat di pohon kemboja, ada juga yang bergelantungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prajurit laba-laba lain berjaga di kanan-kiri sungai yang mengalir, mengawasi pintu masuk benteng. Lalu di bagian atap bangunan berumur 260 tahun itu terdapat laba-laba mini yang merayap.

Pasukan laba-laba berjaga berdekatan dengan meriam dan patung prajurit di sepanjang koridor setelah melewati pintu masuk. Sebagian laba-laba lain yang terbuat dari wajan merambat di batang-batang pepohonan.

Kumpulan patung laba-laba berkelir merah dalam berbagai ukuran itu karya pematung Lutse Lambert Daniel Morin, dipajang dalam pameran bertajuk “Jaring Artropoda di Museum Benteng Vredeburg”, 1 Agustus-28 September 2020. Patung paling tinggi berukuran 3,5 meter dan paling kecil setinggi 1 sentimeter

Pameran kolaborasi Museum Benteng Vredeburg dan Jurusan Tata Kelola Seni Fakultas Seni Rupa Institusi Seni Indonesia Yogyakarta ini adalah yang pertama kali digelar sebagai terobosan yang menggabungkan seni dan sejarah di tengah pandemi Covid-19.

Pameran itu memajang 50 patung dari yang berukuran besar hingga mini, sekilas tampak seperti pasukan robot yang menyerbu benteng. “Jaring laba-laba dimaknai terus membangun jaringan saat wabah menyerang. Manusia butuh Internet, media sosial sebagai jejaring penghubung,” kata Lutse kepada Tempo, Selasa, 4 Agustus lalu.

Lutse yang juga pengajar Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta ini dikenal sebagai pematung yang menggunakan benda sehari-hari dan barang bekas untuk menghasilkan karya seni berbentuk laba-laba. Sejak 20 tahun lalu, dia mengeksplorasi material patung laba-laba. Dia menggunakan karakter binatang predator itu sebagai terapi mengatasi rasa takut.

Ide jaring laba-laba muncul setelah melewati serangkaian diskusi panjang antara sang seniman; kurator pameran, Mikke Susanto; dan pengelola museum. Tema laba-laba merah dianggap cocok dengan filosofi sejarah museum. Laba-laba punya simbol menangkap mangsa melalui jaring. Semua patung laba-laba itu dipajang dengan kepala ke arah museum dengan harapan orang memaknai museum bersejarah sebagai tempat yang penting untuk disinggahi.

Pengelola museum berharap bisa menghimpun pengunjung dan memperluas jaringannya. Selain itu, laba-laba punya filosofi gampang beradaptasi dengan lingkungannya, yang juga menjadi keinginan museum tersebut.

Lutse menjelaskan, warna merah pada semua patung laba-laba itu dipilih untuk menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus mendatang. Warna merah menyimbolkan keberanian.

Adapun laba-laba raksasa dengan helm baja yang ditempatkan di halaman benteng, menurut Lutse, menggambarkan perjuangan tentara melawan penjajah di masa perebutan kemerdekaan. Patung laba-laba di sungai melukiskan pasukan yang menjaga sungai yang menopang sistem pengairan dan penghijauan benteng.

Seniman 44 tahun ini tidak sekadar menggunakan benda-benda bekas sebagai bahan patung. Dia mendekatkan makna bahan-bahan itu dengan anatomi laba-laba. Finalis Indonesian Art Award di Galeri Nasional pada 2007 dan 2010 ini mencontohkan wajan sebagai perut laba-laba. Wajan sebagai perkakas rumah tangga ia gunakan karena lekat dengan kebutuhan mengisi perut.  

Pada bagian mata patung laba-laba, ia menggunakan lampu sebagai simbol penglihatan. Gir sepeda motor dia pilih untuk merepresentasikan persendian atau gerak artropoda. Sekrup dia pakai untuk membentuk kaki-kaki dan sikut menggambarkan buku-buku laba-laba. “Keseluruhan bahan nyambung dengan anatomi laba-laba,” katanya.

Lutse menggarap patungnya di studionya dan studio patung kampus ISI Yogyakarta. Dia menggunakan teknik merangkai dengan las atau teknik aditif, sambung-menyambung, dan menambah bahan.

Tema laba-laba bukan hal baru buat Lutse. Dia terlibat berbagai pameran seni sejak 1998 baik di dalam negeri maupun di mancanegara. Dia pernah berpameran di Budapest, Hungaria; Seoul, Korea Selatan; dan Bangkok, Thailand.

Karya Lutse juga pernah dipamerkan di International Cultural Centre di Pasuruan, Jawa Timur, serta dipajang di galeri kampus ISI Yogyakarta dan Seoul. Laba-laba merah pernah menjadi bagian dari latar panggung konser musik yang dikonduktori Addie M.S. di sebuah obyek wisata di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, November 2019.

Upaya menggelar pameran kolaborasi seni dan museum sejarah ini rupanya tidak mudah. Pembahasan tema pameran antara kurator, seniman, dan pengelola museum berjalan alot. Awalnya, kalangan internal museum tak paham soal hubungan laba-laba dengan museum.

Ide menggarap pameran itu bermula dari pihak museum yang menghubungi Mikke Susanto yang kerap diundang sebagai narasumber museum tersebut. Kepada Mikke, pengelola museum menyatakan ingin memanfaatkan halaman benteng sebagai ruang pamer. Mikke kemudian mengusulkan pameran luar ruangan dengan memajang patung yang tahan panas dan hujan. Dari situ muncul nama Lutse, yang sering menggelar pameran luar ruangan.

Semula Lutse mengusulkan patung berbentuk kupu-kupu. Tapi Mikke menyatakan gagasan itu tak selaras dengan sejarah museum dan situasi pandemi sekarang. Lutse kemudian menggantinya dengan laba-laba atas saran Mikke selepas berembuk dengan pengelola museum.

Sebelum pameran berlangsung, pihak museum mewanti-wanti agar pameran itu digelar secara hati-hati. Pengurus khawatir dinding atau artefak museum rusak bila pengelolaan pameran serampangan. “Mereka berkonsultasi melalui WhatsApp berkali-kali. Termasuk bicara soal pameran pascapandemi,” ujar Mikke.

TEMPO/Shinta Maharani

Menurut dia, pameran itu memberikan citra baru melalui dinamika ruang, kontras warna, dan simbolisasi seni tanpa melupakan pelestarian warisan budaya dan koleksi di dalamnya. Foto-foto sejarah perjuangan, misalnya, beradu dengan patung laba-laba karya Lutse.

Kurator koleksi Museum Benteng Vredeburg, Winarni, menyebutkan, selain memajang patung laba-laba merah, museum memamerkan koleksi foto sejarah perjuangan kemerdekaan, memorabilia, lukisan, dan diorama. Di antaranya foto Sri Sultan Hamengku Buwono IX, pelantikan Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat, dan Agresi Militer II. “Perpaduan seni dan sejarah. Bagian dari adaptasi museum agar lebih menarik perhatian publik,” ucap Winarni.

Patung laba-laba itu juga dipamerkan dengan tujuan mengisi halaman museum yang sebelumnya berfungsi sebagai tempat parkir pengunjung museum dan kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Rupanya, ada laporan dari masyarakat bahwa sejumlah wisatawan tidak tahu soal Benteng Vredeburg sebagai museum yang memamerkan koleksi benda bersejarah.

Mereka mengira benteng itu hanya bangunan. Dari hal itulah pengelola museum kemudian mengganti halaman benteng sebagai tempat parkir wisatawan menjadi area publik untuk memajang karya seni.  

Setelah tutup karena pandemi sejak Maret lalu, Benteng Vredeburg telah dibuka kembali mulai 28 Juli. Pengelola membatasi jumlah pengunjung dan menerapkan protokol keselamatan dengan mewajibkan semua pengunjung menjalani pengecekan suhu tubuh, mengenakan masker, dan mencuci tangan. Jumlah pengunjung dalam sehari dibatasi hanya 220 orang dan dibagi dalam empat sesi.

Tapi, selama pameran patung itu digelar, tak banyak pengunjung yang datang. Pengelola museum menyebutkan per hari hanya ada 20-30 pengunjung. Sebagian dari mereka pun tak begitu paham soal hubungan patung laba-laba tersebut dengan museum sejarah. 

SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus