Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sepakbola

Bagaimana Cara Unik Jepang Merevolusi Sepak Bola dalam 25 Tahun Terakhir?

Jepang berhasil membangun sepakbola dalam 25 tahun terakhir. Federasi punya cara unik dengan kombinasi aspek olahraga dan pendidikan.

12 November 2024 | 12.16 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Jepang berhasil membangun sepakbola dalam 25 tahun terakhir. Prestasinya terbilang tak biasa. Sebelum tim nasional melakukan debut Piala Dunia pada 1998, sepakbola Jepang sama sekali tak diperhitungkan di Asia dan levelnya masih terbentang jauh dengan tim-tim kuat asal Eropa dan Amerika Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Situasinya segera berubah. Selain tampil di tujuh edisi terakhir di Piala Dunia, kemenangan tak terlupakan atas Jerman dan Spanyol di Piala Dunia 2022 Qatar masih segar dalam ingatan. Penampilan mengesankan tim wanita di Australia & Selandia Baru di Piala Dunia 2023 juga tidak kalah penting. Jepang pernah menjadi juara pada tahun 2011.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim Samurai Biru membidik partisipasi kedelapan secara beruntun di Piala Dunia 2026 di Meksiko, Amerika Serikat, dan Kanada. Jepang akan menghadapi Timnas Indonesia pada laga kelima putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Lantas bagaimana Jepang bisa begitu berkembang? Berikut ulasannya.

Turnamen antar-sekolah menengah dan akar rumput Jepang

Salah satu momen penting dalam sepakbola Jepang muncul pada tahun 1993. J-League akhirnya terbentuk. Setelah bertahun-tahun merenungkan cara terbaik untuk melawan mandeknya sepakbola di Negeri Sakura, upaya membentuk liga profesional akhirnya membuahkan hasil.

Meskipun J-League dan tim sepak bola profesional telah ada selama tiga dekade di hampir setiap prefektur, sepak bola amatir tetap memiliki tempat khusus di hati publik Jepang. Turnamen yang melibatkan tim sepakbola di tingkat sekolah menengah selalu menarik perhatian penonton. Hanya sedikit negara yang dapat menandingi tingkat keterlibatan publik dalam turnamen akar rumput. Ini membuat sepak bola Jepang begitu unik.

Namun, kegiatan klub ekstrakurikuler sekolah ini sering kali lebih bersifat rekreasi daripada kompetitif. Tidak ada turnamen besar antar-sekolah. Jadi mereka yang mencari permainan kompetitif menemukannya saat mewakili akademi klub lokal.

Bermain di sekolah telah menjadi pilihan utama bagi banyak pemain. Beberapa sekolah memiliki lebih dari 100 anggota dan persaingan selalu ketat. Salah satu contoh terbaik dan paling mengejutkan adalah legenda Jepang Keisuke Honda, yang justru tampil menonjol di sekolah menengah atas daripada di akademi sepak bola. Karena tidak dapat menembus tim U-18 Gamba Osaka, ia memilih bermain di Sekolah Menengah Atas Seiryo di Prefektur Ishikawa. Di sana, ia mengasah keterampilan dan menempa kariernya.

Sepakbola universitas di level tertinggi

Sepak bola universitas mengangkat level permainan setiap pemain lebih jauh lagi. Ini juga membuat pengembangan sepakbola Jepang menjadi unik. Standar persaingan sangat tinggi, hampir menyentuh level semi-profesional. Buktinya adalah nama-nama terkenal seperti Kaoru Mitoma (Brighton) dan Kyogu Furuhashi (Celtic) muncul ketika berkiprah di tingkat universitas. Sekarang, mereka bermain di Eropa dan untuk tim nasional.

Fakta penting lainnya adalah bahwa sembilan pemain dari skuad Piala Dunia 2022 berasal dari kampus. Junya Ito memiliki pengalaman bermain sepak bola di sekolah menengah dan universitas. Alih-alih masuk akademi sepak bola, ia justru masuk dalam tim universitas. Ia menandatangani kontrak dengan Ventforet Kofu dari J-League untuk memulai karier profesionalnya.

Bagi para pemain, salah satu keuntungan utama dari pengalaman pendidikan tinggi ini adalah memiliki lebih banyak pertandingan resmi daripada pemain baru J-League. Pengalaman ini menjadi lebih berharga, mengingat level permainannya hampir setara dengan tim J-League 2 dan J-League 3. 

Tidak mengherankan jika Jepang juga memenangkan Universiade, yang diselenggarakan oleh Federasi Olahraga Universitas Internasional (FISU). Jepang menang sebanyak tujuh kali, termasuk turnamen tahun 2017 dan 2019. Ini semakin memperlihatkan tingkat kualitas dan persaingan sepak bola level universitas sangat tinggi.

Persaingan antaruniversitas di level ini tetap tak lebih untuk laga persahabatan, tetapi intensitas dan keterampilan yang ditampilkan para pemain dan tim sebanding dengan standar klub profesional. Ini adalah kompetisi resmi yang sengaja dibuat untuk membina pemain. Banyak calon pemain bola di Jepang menganggap level universitas sebagai batu loncatan untuk menjadi pemain profesional.

Sesi latihan Timnas Jepang U-17 di Bandung. Istimewa.

Jalan panjang menuju puncak prestasi

Pengembangan sepak bola di Jepang terbilang unik. Hubungan antara pendidikan dan olahraga merupakan komponen utama. Baik di tingkat sekolah menengah atau universitas, pendidikan tetap menjadi landasan penting bagi keberhasilan olahraga negara tersebut. Satu-satunya dorongan terbesar adalah penekanan pada pembinaan karakter manusia.

Pesepakbola universitas, misalnya, menikmati lebih banyak ruang untuk memperluas wawasan daripada rekan-rekan profesional mereka, yang hanya mementingkan hasil. Dengan latar belakang akademis, mereka memiliki waktu untuk merenungkan jalan hidup mereka, menetapkan tujuan dan area yang perlu ditingkatkan. Pemain bisa mencapai tujuan dengan cara yang lebih holistik.

Keuntungan-keuntungan inilah yang menjelaskan mengapa beberapa pemain Jepang memilih bermain di level sepakbola universitas terlebih dahulu, bahkan jika ditawari kontrak profesional. Salah satu contoh utama adalah Kaoru Mitoma. Setelah lulus dari sekolah menengah, ia menolak tawaran kontrak klub papan atas dari Kawasaki Frontale dan memilih untuk kuliah di Universitas Tsukuba.

Banyak yang menganggap keputusan seperti itu sebagai langkah mundur. Namun, Mitoma merasa bahwa rute yang lebih berliku-liku akan memberinya waktu dan ruang untuk menyempurnakan kemampuan menggiring bolanya. Bermain di universitas memungkinkannya untuk mendalami aspek ini secara mendalam, baik di dalam maupun di luar lapangan. 

Mitoma pun membuat penelitian tentang menggiring bola yang menjadi topik pembicaraan di dunia sepak bola akhir-akhir ini. Akhirnya, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengasah keterampilannya dan mendapatkan keuntungan dari riset dan rekan satu timnya. Dunia akademik akhirnya membantu pemain meningkatkan kariernya di kemudian hari.

Sepak bola universitas Jepang telah melampaui ranah amatirisme. Olahraga ini telah menjadi ekosistem tempat banyak bakat paling cemerlang mencari peluang untuk tumbuh dan mencapai potensi penuh  di panggung profesional. Meskipun ada ruang untuk perbaikan dan tantangan yang melekat, ia tetap menjadi komponen utama dalam jalur produksi bakat sepak bola Jepang.

Konsistensi terhadap filosofi dan pembinaan berjenjang

Jepang membagi pelatihan sepakbola ke dalam beberapa tahap. Metode manajemen pengetahuan terstruktur ini memastikan bahwa pemain menerima pelatihan dan dukungan yang tepat di setiap usia perkembangan. 

Jepang membagi pelatihan sepakbola pemuda menjadi lima tahap. Pertama, usia 8-9 tahun sebagai periode pengenalan sepakbola. Kedua, usia 10-15 tahun sebagai periode pembelajaran teknik dan taktik dasar dan transisi ke pertandingan praktis. Ketiga, usia 16-17 tahun sebagai periode praktik bertanding. Keempat, usia 18-21 tahun sebagai periode pendewasaan. Kelima, usia 21 tahun ke atas sebagai masa untuk menyempurnakan..

Sepak bola Jepang percaya bahwa sistem saraf manusia berkembang paling cepat saat seorang anak memasuki sekolah dasar. Otak mereka sudah mencapai 90 persen dari kapasitas orang dewasa. Namun, otot tubuh dan stamina tidak cukup kuat dan kerap membuat pemain rentan terhadap cedera. Bagi anak-anak kecil dan siswa sekolah dasar, langkah pertama adalah membiarkan mereka menikmati olahraga, mempertahankan fokus, berlatih sebentar namun intensif, memperoleh lebih banyak keterampilan dan memori tubuh selama periode perkembangan saraf yang cepat. Para pemain juga mendapatkan ajaran bahwa akurasi lebih penting daripada kekuatan.

Sekolah menengah pertama adalah fase yang sulit. Performa pemain sekolah dasar yang punya skill bisa tiba-tiba menurun, sementara anak yang biasa saja mulai bisa menyusul. Pelatih harus membantu mempertahankan dan meningkatkan kemampuan mereka dan menstabilkan kondisi psikologis mereka. 

Misi utama selama tahap sekolah dasar dan sekolah menengah pertama adalah menumbuhkan minat siswa terhadap sepak bola, mengajarkan teknik dan taktik dasar, dan berpartisipasi dalam pertandingan pada level yang sesuai. Tujuan utama fase sekolah menengah atas adalah untuk memantapkan keterampilan melalui pertandingan dan mempersiapkan pemilihan bakat sepak bola ke jenjang profesional.

Pemain Timnas Uruguay, Giovanni Gonzalez dihadang oleh pemain Timnas Jepang, Kaoru Mitoma dalam Pertandingan Persahabatan di Japan National Stadium, Tokyo, Jepang, 24 Maret 2023. REUTERS/Kim Kyung-Hoon.

FIFA | JFA | REALKM

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus