Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERNYATA para perempuan berani juga berbicara tentang tubuh sendiri. Dan segera terkesan bahwa para perupa perempuan ini memandang tubuh sendiri begitu berbeda dengan para perupa laki-laki memandang tubuh wanita. Bila dibandingkan secara bentuk, para perupa perempuan terkesan ”menggoda”. Mereka tak membuka diri blakblakan, tapi dengan reserve. Dari sisi bentuk sosok, ini terasa benar dibandingkan dengan lukisan Basuki Abdullah yang menampilkan wanita, terutama tentang yang jasmani. Dari sisi yang bukan jasmani, para perupa perempuan Indonesia ini terkesan kurang membuka diri dibandingkan dengan, misalnya, karya-karya Frida Kahlo, perupa perempuan Meksiko.
Itu yang terkesan pada saya dari seratusan karya 40-an perupa perempuan yang dipamerkan di Grand Indonesia, salah satu mal megah di Jakarta. Pameran yang bakal ditutup pada 25 Oktober ini bertema My Body, dikuratori dua kurator yang dua-duanya bukan perempuan: Hardiman dan A. Anzieb.
Ada tiga lukisan karya Arahmaiani, umpamanya, tentang sosok wanita. Sosok ini tak dihadirkan dengan tegas, tapi seluruh kanvas disapu warna putih transparan, hingga seolah-olah sosok itu berada di balik kabut. Ada karya Erika Ernawan, selengan tangan kanan dan sebagian punggung dan rambut tergerai. Tapi ini ”dikaburkan” juga dengan sapuan hijau, mengesankan seluruh kanvas seperti foto bakteri dibesarkan. Bila saja muncul sesuatu yang sensual (pada sosok berkabut yang mengundang khayalan itu, pada warna lengan dan punggung mulus), misalnya, segera ”kabut” dan sapuan hijau mengalihkan ke sesuatu yang lain.
Ada karya Lelyana, yang secara bentuk termasuk sangat blakblakan, tak kalah dengan lukisan-lukisan wanita telanjang Basuki Abdullah. Inilah lukisan perempuan sepenuhnya telanjang, berdiri pada daun teratai, mengangkat kedua tangan dengan telapak tangan tengadah. Di latar belakang ada wanita-wanita telanjang dalam tangkapan jauh (long shot) dan bunga-bunga teratai dalam ukuran yang lebih besar daripada wanita-wanita latar belakang itu. Tapi Lelyana tak hendak mengetengahkan tubuh yang sensual. Adalah sesuatu yang alami, yang tumbuh menjadi yang dinamakan perempuan, sebagaimana teratai itu tumbuh. Kira-kira itulah yang terkesan. Suatu kepasrahan, apa pun makna perempuan. Ini gambaran damai, tak seperti karya Frida Kahlo yang seolah memberontak terhadap takdir, kenapa ia diciptakan sebagai perempuan dengan segala nikmat dan deritanya.
Kepasrahan itu ada juga pada lukisan Laksmi Sitaresmi. Perempuan duduk telanjang digambar dari sudut agak ke atas. Lekuk pada pinggang yang tak sepenuhnya terbuka karena tertutup oleh paha yang dilipat, dan kontras hitam rambut yang tergerai dengan kulit yang terang menggoda secara sensual. Dibandingkan dengan karya Lelyana, karya Laksmi lebih ”menggoda” meski pada akhirnya kepasrahan (yang mendinginkan godaan itu) adalah asas karya ini.
Demikianlah, pada umumnya karya di pameran ini mencerminkan sikap menerima tubuh sebagaimana adanya. Ada secercah humor, karya Gilang Cempaka. Empat lukisan perempuan seperempat dada (tampaknya ini lukisan serial) muncul dari balik selimut. Ini seperti lukisan perempuan yang gelisah, tidur sendiri, telanjang (setidaknya sampai dada), tapi tak terkesan ada semangat memberontak. Pada gambar keempat, perempuan ini tertidur nyaman: telapak tangan kiri di bawah kepala, tangan kanan menyilang dada. Lukisan ini mestinya diambil dari atas, tegak lurus. Sayang, kekuatan perspektif penggambaran dari atas kurang terasa—gambar seperti diambil dari depan, sehingga terasa perempuan ini duduk, bukan tidur.
Humor itu juga yang terkesan pada karya Dyan Anggraini dan Cinanti Astria Johansjah. Dua-duanya menampilkan sosok perempuan dengan tubuh sebagai binaragawati. Lukisan Cinanti menyuguhkan perempuan berkacamata dengan lengan, paha, dan badan berotot. Namun wajah perempuan berkacamata ini bukannya menunjukkan kegembiraan seperti umumnya kita lihat pada kontes binaraga. Wajah perempuan Cinanti ini adalah wajah yang tersiksa, murung. Ia sebenarnya tak menyukai tubuhnya yang berotot dan perkasa. Ini sebuah ”tantangan”, wahai para lelaki, ”apa katamu bila tubuhku seperti ini”.
Karya Dyan hampir sama, cuma binaragawati ciptaannya menyembunyikan wajah di balik topeng. Dari sisi visual, karya Dyan lebih menarik perhatian karena di latar belakang sosok binaragawati itu ada gambar monster berkain kotak-kotak khas Bali. Di sini ruang menjadi luas tanpa batas: gambar monster itu dibuat dengan pensil, dan hampir sepenuhnya hanya garis—sebuah kontras bentuk namun paralel dalam semangat kegagahperkasaan.
Dan adalah sebuah puisi dari Neneng S. Ferrier. Tiga patung perempuannya (biru, merah, dan hijau) bersuasana liris. Tubuh perempuan adalah lahan yang subur tempat tumbuh bunga-bunga. Ketiga perempuan telentang dengan lutut agak ditekuk, dari perut dan dadanya tumbuh tanaman bunga. Ini kepasrahan yang lebih jauh dibandingkan dengan karya yang telah disebutkan. Perempuan adalah ibu dari segala ibu penciptaan. Perempuan adalah ibu dari alam raya.
Dan karya Astari. Sosok perempuan sebatas paha dan leher, lalu tiga lembar daun (satu menutup kelamin, satu tumbuh di punggung, satu di bawah ketiak). Serta sekuntum bunga belum mekar, menjulur dari leher. Bagi saya, karya Astari jauh dari suasana pasrah. Sepenuh tubuh yang diukir dengan gambar sulur-suluran dan sepotong sayap terasa seperti tubuh ini tak menerima kodratnya. Ia hendak merusakkan tubuh itu, meski dengan indah. Menurut kesan saya, sosok perempuan ini masih berjuang untuk sebuah penerimaan bahwa ia ditakdirkan sebagai perempuan.
Adalah karya-karya yang tak menghadirkan sosok perempuan, tapi sesuatu yang lain, mungkin sesuatu yang dianggap menyimbolkan perempuan. Karya Iriantine Karnaya, misalnya: sebiji patung abstrak, selempeng bentuk yang dibuat seolah sayap burung yang melayang. Dipamerkan dalam konteks ”My Body”, karya ini memang bernapaskan feminin. Imajinasi saya melihatnya seolah perempuan yang melayang, bidadari yang turun dari surga. Iriantine telah melepaskan yang fisik, bukan karena ini patung abstrak, melainkan karena ia lebih berurusan dengan sesuatu yang tak lagi jasmani.
Begitu juga dengan karya Bonita Margaret. Botol merah berdiri miring di meja perak. Isi botol meletup keluar, dalam warna putih susu. Karya ini pun bersuasana feminin, tanpa sebentuk pun yang mengingatkan pada tubuh perempuan.
Satu-satunya karya yang terasa sakit menusuk justru dengan penyederhanaan bentuk adalah karya Kadek Murniasih. Figur merah pastel dalam posisi kayang (tubuh melengkung bak busur, bertumpu pada tangan dan kaki), hak tinggi sepatu hijau menusuk kelamin. ”Tubuhku kesakitanku”, begitu kira-kira lukisan Kadek ini.
Jadi, demikianlah para perupa perempuan tak jatuh mengikuti cara pandang yang umum, yang mengeksploitasi tubuh perempuan sebatas obyek seks. Itu sebabnya suasana ruang pameran ”dingin”, meski ”tubuh perempuan” kuat berasosiasi dengan sesuatu yang erotis, yang sensual. Mungkin ini pandangan yang tidak tepat untuk sebuah pameran yang datang dari perempuan tentang perempuan. Harap maklum, penulis resensi ini seorang lelaki.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo