Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKELOMPOK perempuan, tak lagi muda, naik ke panggung. Kostum mereka berwarna-warni dengan berbagai pernak-pernik yang menyembunyikan umur. Diiringi orkestra, mereka menyanyikan Dancing Queen, tembang ternama kelompok ABBA. Penonton di baris VVIP berdiri, ikut menggoyangkan badan.
Para ibu, sebagian sudah berstatus nenek, itu adalah sekelompok peragawati era 1970. Layar besar di samping panggung menampakkan gambar dekat wajah mereka. Di antaranya ada Rima Melati, Enny Soekamto, Citra Darwis, dan Carmanita menari secukupnya. Mereka bukan penyanyi, tapi tampilnya para tokoh senior ke panggung menguatkan kesan nostalgia Dancing Queen in Concert di Istora Senayan, Jakarta, Rabu pekan lalu.
Ini konser kenangan terhadap ABBA, kuartet musik legendaris Swedia. Anni-Frid Lyngstad, Benny Andersson, Björn Ulvaeus, dan Agnetha Fältskog berkarier pada 1973-1983, tapi hit mendunia mereka tetap diingat hingga kini.
Adalah komposer Andi Rianto, 37 tahun, yang menggagas konser itu. Lulusan jurusan Berklee College of Music, Boston, itu mengemas nostalgia bernuansa orkestra dengan timnya: Magenta Orchestra dan Magenta Chamber Girls. Pengarah seni Denny Malik, sutradara Inet Leimena, dan penata kostum Lenny Agustine menghidupkan dengan tema ala Mamma Mia!, film musikal tribute untuk ABBA, yang penuh tari-tarian dan kostum 1970-an.
Panggung terbagi-bagi. Panggung atas terhubung ke panggung tengah dengan tangga berhias lampu warna-warni pada tiap pijakannya. Tim orkestra duduk mengapit tangga. Andi dan pianonya menjadi pusat mereka. Di kiri-kanan panggung tengah, dua layar besar yang bisa berotasi bertukar dengan dua panggung mini. Panggung terdepan membujur, layaknya catwalk, membelah arena penonton festival.
Dua puluhan hit ABBA dibawakan para penyanyi bergantian: I Have A Dream, Fernando, Chiquitita, SOS, The Name of the Game, Voulez Vous, dan lainnya. Penonton di kursi VVIP dan VIP, umumnya berumur lebih tua, menghadap tepat ke panggung. Lebih banyak duduk, para pasangan setengah baya itu sesekali bergoyang juga.
Sebagian besar dari 2.000-an penonton yang menebus tiket Rp 100-750 ribu berusia lebih muda. Yang muda umumnya mengenal ABBA dari koleksi kaset orang tua.
Penonton muda meriuh saban si seksi Agnes Monica, penyanyi muda Vidi Aldiano, dan Mike Mohede naik panggung. Mereka juga bersorak tatkala penyanyi cilik Patton, biduan Titi Dwijayati, dan Elfa’s Singers naik panggung. Penyanyi bergantian masuk, nyaris tak menyapa penonton. Konsep penampilan susul-menyusul memang membuat penyanyi tak berbasa-basi. Tema 1970-an dinyalakan melalui tata panggung dan kostum.
Suasana menghangat pada lagu ke-16. Menemani Elfa’s Singers menyanyikan Mamma Mia, puluhan penari bendera masuk. Mereka menyebar ke seluruh panggung, memutar dan mengibarkan bendera warna-warni. Ada yang lincah memainkan tongkat di tangan. Paduan seru itu dihadiahi aplaus meriah.
Dalam orkestrasi musik, Andi Rianto tidak banyak memperlihatkan kreativitasnya. Aransemen dicocokkan dengan karakter penyanyi. Titi D.J., misalnya, banyak membawakan lagu seru macam Money, Money, Money dan, bersama Sita Nursanti, Gimme Gimme. Thank You for the Music dinyanyikan Agnes Monica dengan lambat. Seksi string memberi sentuhan sedih, Andi menutup dengan solo piano. Orkestrasi Andi—ia mengisi musik skor film dari Ca Bau Kan, Mengejar Matahari, hingga Kuntilanak 2 dan Pocong 3—berbeda dengan, misalnya, Twilite Orchestra, yang suka ”menyelundupkan” musik klasik ke telinga muda pendengar lagu pop.
Nostalgia ini, di mata penggemar zaman dulu, cukup menghibur. Arie S. Wijaya, 49 tahun, memaafkan kurangnya interaksi demi durasi pertunjukan. Sayang pula, kata dia, tiada lagu Disillusion dan I’ve Been Waiting for You. Dan, kata petinggi Aquarius Musikindo ini, ”Mestinya lirik dimunculkan di layar, agar penonton bisa karaoke bersama. Sepertinya yang muda-muda kurang hafal liriknya.” Wah, betul juga.
Ibnu Rusydi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo