Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Kampung Budaya Sindangbarang</font><br />Dari Pantun Lahirlah Kampung

"Di sini kami bukan membangun sebuah kerajaan baru. Hanya agar masyarakat tahu, dulu daerah ini pusat Kerajaan Pajajaran."

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Achmad Mukami Sumawijaya, 41 tahun, punya ide gila. Dia ingin membangun kembali perkampungan dengan arsitektur Sunda Bogor di Sindangbarang, Bogor. Kampung tersebut luluh-lantak dihajar lahar letusan Gunung Salak pada 1699. Keinginan menghidupkan kembali kampung tertua di Bogor ini terinspirasi pentas seni Sunda saat Achmad bekerja di Manado. "Waktu itu saya menonton gamelan Sunda. Juru kawihnya bule dan sangat Sunda. Saya sedih, kok orang luar saja mencintai budaya Sunda," ujarnya.

Masalahnya, ide itu muncul pada 2006, artinya 307 tahun setelah kampung tersebut lenyap. Perlu kerja keras untuk mengetahui seperti apa sebenarnya arsitektur Sunda itu. Ia pun berdiskusi dengan para budayawan, seperti Anis Djati (almarhum), Eman Sulaeman, Inoci, Hendra, Ukat, serta para kokolot (tetua). "Penggarapan awal membuat gambar bangunan berdasarkan pantun Bogor," ujarnya.

Gagasan ini mendapat dukungan dana dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bogor. Pembangunan dimulai pada 2007 di atas lahan milik keluarga Entong Sumawijaya—kakek Achmad yang juga pupuhu (ketua) Sindangbarang era 1970-an. Daerah ini dipilih karena merupakan lokasi situs sejarah Pakuan Sindangbarang. "Ini merupakan perkampungan luar Kerajaan Pajajaran yang paling dekat," katanya.

Sebagian material bangunan, seperti atap ijuk dari pohon aren, berasal dari Pegunungan Halimun. Kayu diambil dari Banten Selatan. Konsep bangunan tradisional Sunda Bogor memiliki perbedaan dengan rumah adat Sunda lainnya. "Ciri khasnya ada pada suhunan (atap bagian atas) yang disebut gado bangkong. Filosofinya agar penduduk siap siaga saat datang ancaman," ujar Achmad. Gado artinya dagu, sedangkan bangkong itu kodok. Atapnya memang terlihat seperti kodok yang siap melompat.

Di atas lahan seluas 8.600 meter persegi yang dipagari pohon hias dan bambu, berderet 20 bangunan tradisional Sunda. Di depan kanan lapangan berdiri enam lumbung (leuit). Di samping kiri ada tempat tinggal pupuhu, Imah Gede (rumah besar) namanya. Di sisinya ada Girang Serat, tempat petugas pembantu pupuhu. "Fungsinya sekarang untuk sekretariat pengelola," kata Achmad, yang kini menjadi pupuhu Sindangbarang.

Di sebelah Girang, ada Saung Talu untuk pementasan seni. Di bagian dalam kanan, sejajar dengan leuit, berderet rumah para kokolot. "Di sini kami bukan membangun sebuah kerajaan baru. Hanya agar masyarakat tahu, dulu daerah ini pusat Kerajaan Pajajaran," kata Pupuhu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus