Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Desa Tenganan Pegringsingan di Karangasem, Bali, dipercaya penduduk setempat sebagai anugerah Dewa Indra. Sekali waktu setelah menang perang, Dewa Indra bermaksud mempersembahkan kurban sembelihan. Pilihannya jatuh pada seekor kuda bernama Onceswara—yang kabur sebelum disembelih. Sepasukan prajurit dikirim untuk mengejarnya. Di Karangasem, Onceswara ditemukan dalam ujud bangkai. Dewa Indra tetap berkenan pada kerja keras pasukan itu—dan menghadiahkan mereka lahan. Luasnya? Sejauh-jauh bau bangkai tercium. Para prajurit pun memotong bangkai Onceswara dan berlari ke segala arah agar area berbau lebih meluas.
Bentuk-bentuk bangunan di desa ini segera melontarkan kita ke masa silam—lengkap dengan jejak para prajurit. Bangunan yang lurus memanjang dari utara ke selatan diseragamkan untuk memenuhi fungsi ritual-sosial. Pemisahnya adalah awangan atau jalan utama dan dua rurung (gang). "Pola bangunannya seperti ini karena kami keturunan prajurit," kata sesepuh desa, I Mangku Widia, 63 tahun. Maksudnya, rapi dan lurus mirip barak tentara. Kayu, ijuk, dan daun kelapa menjadi materi utama setiap rumah.
Terletak 70 kilometer dari Denpasar, Tenganan adalah satu dari sedikit desa yang mencoba mempertahankan keaslian arsitektur tradisional. Di Garut, Jawa Barat, ada Kampung Naga Dalam. Rumah di sini dibuat seragam. Ada 110 rumah—semua berjajar menghadap utara-selatan. Tiga bangunan lain adalah balai pertemuan, lumbung padi, serta masjid yang menghadap timur dan barat.
Bentuk rumah berupa panggung persegi panjang. Desain arsitektur dan interiornya sederhana, sirkulasi udara dan cahaya cukup baik. Kayu, bambu, daun nipah, ijuk, atau alang-alang adalah bahan utama bangunan. Rangka kayu diambil dari pohon tanpa getah agar tak dimakan rayap.
Lantai dapurnya unik: menggunakan belahan bambu (palupuh) agar mudah dibersihkan. Arsitektur masa silam itu bahkan memikirkan agar makanan yang tercecer bisa langsung dibuang ke bawah, tempat ternak-ternak dikandangkan. Fondasi rumah terbuat dari batu papas yang dipasang di sejumlah titik.
Arsitektur tradisional memang "tumbuh" dari budaya dan alam sekitar. "Bangunan disesuaikan dengan kondisi alam dan bagaimana mereka (penghuninya) hidup," kata arsitek Avianti Armand. Selain menyangkut pola hidup dan agama, penyesuaian ini mengantisipasi bencana yang kerap melanda kawasan tersebut. Hasilnya?
Rumah adat kecil atau omohada tetap utuh saat gempa melanda Pulau Nias, Sumatera Barat, tujuh tahun lalu. Sekitar 600 omohada di Desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam, tak runtuh ketika gempa 8,7 pada skala Richter mengguncang. Ada kayu patah atau terlepas, tapi strukturnya tak goyah atau runtuh menimpa penghuni.
Desain omahada berupa rumah yang disangga tiang-tiang kayu. Hubungan antartiang cukup diikat dengan tali atau dikaitkan saja dengan cara salah satu kayu dikerat untuk mengikat kayu lain. Ini membuat strukturnya elastis dan tahan gempa. Tiang-tiang terbuat dari kayu pohon laban, yang keras dan besar. Penduduk menebang pohon-pohon itu saat bulan purnama agar kandungan airnya rendah.
Rumah-rumah adat yang kokoh melawan gempa rupanya kalah oleh zaman. Di Nias, banyak omahada dibongkar lalu dijual ke luar pulau. Saat membangun rumah baru, penduduk kini lebih senang membuat rumah tembok berlantai keramik. Selain lebih murah, rumah batu terlihat lebih "keren". Apalagi pasokan kayu pun kian menipis.
Hal yang sama terjadi di Tenganan, Bali. Sejak 1970-an, pariwisata menggerus rumah-rumah adat di sana. Banyak rumah berubah fungsi menjadi toko suvenir dan etalase barang-barang kerajinan. Hanya pada saat upacara adat, rumah itu difungsikan ke guna semula.
Problem lain adalah bangunan tradisional kini menjadi terlalu mahal dan kurang awet. Maka genting pun menggeser atap daun kelapa dan alang-alang. Lantai batu-batu yang disusun dengan pola tertentu berganti dengan keramik.
Mangku Widia sebagai tetua mengakui mereka putus asa dalam mewariskan pengetahuan membangun rumah adat kepada generasi muda. Apalagi tak ada kesepakatan tertulis tentang cara memelihara rumah-rumah itu. Akibatnya, pelestarian adat dan tradisi kurang dihayati.
Ini amat berbeda dengan di Kampung Naga Dalam, yang masih teguh memegang adat. Hampir seluruh bangunan di Kampung Naga Dalam pernah dibakar oleh DI/TII pimpinan Kartosuwirjo. Namun masyarakat berhasil membangunnya kembali. "Bangunannya sama, tak ada yang berubah," ujar Dharmawan, keturunan salah seorang warga Kampung Naga.
Hal tersebut dimungkinkan karena budaya yang menjadi akar arsitektur tradisional masih dipelihara. Masyarakat hidup sederhana, tanpa listrik dan kompor gas. Segala hal yang dianggap tabu masih dijunjung dengan hormat. "Tapi kita tak bisa meminta semua masyarakat hidup seperti itu. Mereka juga berhak berubah," kata Avianti. Bukan berarti bangunan lama itu mati. "Sosoknya bisa masih ada, meski fungsinya mungkin berubah."
Hal itu yang kini diterapkan oleh penduduk Tenganan. Untuk mengembalikan keaslian bangunan di desa itu, mereka tak memaksa penduduk desa yang sudah menjadi pengacara, dokter, atau pegawai kembali bertani dan tinggal di rumah beratap rumbai. Mengatasi pariwisata massal, mereka membangun Jaringan Ekowisata Desa (JED). Tugas JED adalah memasarkan Tenganan sebagai obyek wisata serta menggali potensi tradisi dan ekowisata agar turis yang datang adalah mereka yang menghargai budaya Tenganan.
Warga desa pun merasa sebagai subyek perubahan—bukan sekadar obyek tontonan. "Di sini saya menemukan segalanya," kata Wayan Arsana, 41 tahun. Seniman ini pernah tinggal di Amerika Serikat. "Sebagai pengurus adat, saya sudah seperti kerbau terikat tali. Tapi saya jalani dengan senang hati," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo