Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak ada satu pun bangunan rumah penduduk Kampung Dukuh di Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, memakai batu bata, kaca, atau genting. Itu tabu. Rangka bangunan hanya memakai bambu sebagai tiang dan jalur. Bambu juga menjadi dinding (bilik) dan lantai (palupuh). Atapnya alang-alang, daun nipah, atau ijuk.
Tiang atau kolom bangunan ditopang batu-batu sebagai fondasi (umpak). Sambungan rumah memakai pasak kayu dan diikat rotan. "Konstruksi sambungan sistem pasak membuat rumah ini mengikuti goyangan gempa," ujar Moeliono.
Moeliono bukanlah penduduk kampung itu. Dia adalah pendiri Arsitektur Hijau Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Sejak 1986, kelompok yang dia gagas bersama Akbar, Rudi M. Bintang, dan Marco H. Kusumawijaya ini meneliti kampung itu. Tim menggambar sketsa setiap bangunan, lanskap, dan denah tapak serta mewawancarai penduduk dan kuncen.
Tidak hanya meneliti, mereka juga mencoba merekonstruksi desa adat berpenghuni 172 orang itu. Rekonstruksi dilakukan karena, meski tahan gempa, rumah Kampung Dukuh tidak tahan api. Lebih dari dua kali kampung terbakar. Terakhir, September tahun lalu, 38 rumah hangus. Pusaka sejarah Kampung Dukuh dalam huruf Arab gundul berbahasa Sunda Buhun turut musnah.
Pembangunan kembali tidaklah mudah. Selain membutuhkan dana besar, warga kesulitan membangun kampung sesuai dengan aturan adat. Mereka terpaksa membeli kayu di toko bangunan, memakai paku sebagai pengganti pasak, dan menggunakan gergaji. Bahkan ada warga yang memasang pintu dengan engsel. "Sekarang kami dan warga sepakat untuk kembali memakai pintu geser," kata Moel.
Menurut Moel, setiap rumah dibangun sesuai dengan perhitungan tanggal lahir penghuninya. Total perkiraan biaya membangun 40 rumah ke bentuk aslinya memerlukan dana Rp 1,2 miliar.
Kampung Dukuh Dalam dikelilingi pagar kayu, persis Desa Galia dalam komik Asterix. Sisi utara kampung—tempat pendiri dusun, Syekh Abdul Jalil, dimakamkan—menjadi wilayah keramat. Bangunan rumah tidak boleh menghadap utara. Kampung memiliki dua masjid khusus untuk laki-laki dan perempuan serta tempat mandi, cuci, dan kakus bersama. "Fasilitas umum yang lebih dulu dibangun," kata Moel.
Setelah rekonstruksi bangunan di dalam kampung selesai, Arsitektur Hijau juga akan membuat border zone. Jarak zona batas itu sekitar 100 meter dari pagar kampung adat. Menurut Moel, zona itu penting sebagai mitigasi bencana, mengurangi tiupan angin, serta mencegah kekeringan dan kumuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo