Tiga buku Pak Harto terbit. Anak-anak dengan polos mengkritiknya. Trilogi surat anak-anak dan enam jilid Jejak Langkah akan terbit sebelum masa jabatannya berakhir 1993. PRESIDEN Soeharto, tahun ini, menurut rencana akan menunaikan ibadah haji. Tujuh tahun lalu, Tiyar Fitriyannyah Ahyar, seorang bocah kelas III SD Muhammadiyah Jalan Manukan Lor Surabaya, memberi saran serupa. "Kok Pak Presiden belum menunaikan haji. Ya, Pak Presiden, pergi haji itu wajib," tulisnya dalam surat pribadi anak itu tertanggal 20 Oktober 1984 dan dibukukan dalam Anak Indonesia dan Pak Harto yang beredar mulai pekan lalu. Ternyata, banyak surat anak-anak yang diterima Presiden selama lima tahun, sejak 1984, Pak Harto menerima surat pribadi anak-anak usia SD sampai SMA sebanyak 43 ribu pucuk. Setelah dipilih, 141 surat dikumpulkan dalam buku yang mulai diedarkan bertepatan dengan tumbuk yuswo kesembilan atau usia -dalam perhitungan tahun Jawa -genap sembilan windu, 17 April lalu. Tentu saja, isinya tak terlepas dari perangai kanak-kanak. Seperti tulisan tangan Pak Harto dalam pengantar buku itu: "Puluhan ribu surat dari anak-anak Indonesia telah saya terima yang isinya tentu tidak terlepas dari sifat kekanakan, tetapi cukup berani mengemukakan isi hatinya dan menyampaikan keinginannya." Banyak hal ditulis anak-anak itu. Ada yang mengkritik, minta bantuan, bertanya, atau memberi usul. Misalnya saja Mathilda, siswi kelas II SMA 5 Medan tahun 1987, mengajukan pertanyaan: "Apakah orang Batak boleh jadi Presiden RI? Dan saya memang orang Batak ... saya ingin sekali menjadi orang Batak yang pertama menjabat presiden." Kritik pun diajukan dengan nada polos. Maina Firita, siswi kelas III SMP dari Medan 1986, mempertanyakan mengapa Pak Harto selalu memakai logat bahasa Jawa dalam pidato. Ia menunjuk ucapan Pak Harto yang berbunyi ken untuk kan. Kritik sosial juga disampaikan, misalnya soal Porkas. "Itu kan termasuk judi, dilarang agama. Tetapi mengapa Bapak masih mengizinkan adanya Porkas?" tulis seorang anak kelas II SMP di Surabaya tahun 1989. Sebagian besar surat, kecuali disertai salam untuk Ibu Tien, juga minta foto Presiden. Tapi Yenni Riyantuti dari Solo berani minta kamus Inggris dan .... kaca mata hitam. "He... he... lucu ya! Sekarang ini kan baru populer di kalangan remaja," tulisnya. Dan tanpa malu-malu, ia mengakhiri suratnya dengan "Matur nuwun, soen sayang selalu...." Rupanya, menulis surat kepada Presiden tak semuanya dengan santai. Henny Widi Astuti, siswi kelas II SMP Kediri, 1987 memberi catatan khusus. "Saya harap Bapak jangan membalas lewat sekolahan. Nanti kalau saya disetrap bagaimana." Keaslian isi surat anak-anak itu, yang sebagian besar ditulis tangan, dipertahankan. "Hanya kesalahan fatal saja yang dibuang," kata Sinansari Ecip, wartawan dan ahli komunikasi yang mengedit kumpulan surat-surat itu bersama G. Dwipayana, Asisten Mensesneg Urusan Dokumentasi dan Mass Media, sebelum wafat. Misalnya, "Bolehkah saya dan temanku yang banyak akan datang ke rumah ke hadapan Yang Mulia Bapak Presiden Soeharto di Cendana ...." Kiriman Ferrawati yang tunarunggu itu ditempatkan sebagai surat pertama. Buku setebal 249 halaman -disusun menurut tahun pengiriman -dihiasi dengan ilustrasi gambar oleh Ipe Ma'ruf. Buku pertama lebih menekankan unsur human interest. Jilid berikutnya akan sedikit berbeda. "Mungkin buku II berisi puisi anak-anak, dan buku III memuat jawaban Presiden," kata Sinansari Ecip. Diharapkan, katanya, tahun 1993, tepatnya sebelum masa jabatan Presiden berakhir, trilogi surat anak-anak untuk Pak Harto itu sudah bisa diterbitkan. Dalam acara yang sama, Presiden juga menerima dua buku lagi yakni Jejak Langkah Pak Harto 1 Oktober 1965 - 27 Maret 1968 dan Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968 - 23 Maret 1973. Buku Jejak Langkah seluruhnya akan diterbitkan menjadi enam jilid, merupakan catatan kegiatan Pak Harto sebagai negarawan mulai 1 Oktober 1965 sampai akhir jabatannya 1993. Menurut Nazaruddin Sjamsuddin yang menjadi editor -juga bersama G. Dwipayana -Tim Dokumentasi Presiden baru menyelesaikan dua jilid. Buku pertama menampilkan Jenderal Soeharto sebagai pelopor Orde Baru, sejak meletusnya G30S-PKI sampai 27 Maret 1967, saat pelantikannya sebagai presiden oleh SU-MPRS. Buku kedua, berisi catatan kegiatan Presiden sampai pelantikannya kembali 23 Maret 1973. Dalam kedua buku itu, dicatat ratusan peristiwa dan acara Pak Harto, yang merupakan agenda politik sebagai negarawan. Ada acara peresmian waduk, kunjungan kenegaraan, pembubaran partai, atau sidang kabinet. "Jejak Langkah adalah dokumentasi, sebagai bahan mentah buat para peneliti dan penulis," kata Nazaruddin. Sumber penulisan hanya sebatas dokumen tertulis yang tak tergolong konfidensial. Namun, katanya, masih ada benang merah dari ribuan peristiwa yang akan dihimpun dalam enam jilid itu. "Yang menonjol, ada komitmen Pak Harto terhadap pembangunan dan konsistensinya." Tiga buku baru itu diterbitkan oleh PT Citra Lamtoro Gung Persada pimpinan Ny. Siti Hardiyanti Rukmana. Nomor "perkenalan", masing-masing dicetak seribu buah, dibagikan untuk keluarga dan para pejabat. Menurut Jaelani, dari penerbitnya, bulan depan ketiga buku itu baru dilempar ke pasaran. Masing-masing dicetak 25.000 buah. Liston P. Siregar dan Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini