Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia in the Soeharto Years. Issues, Incidents and Images Kumpulan tulisan 40 pengamat ekonomi, sosial, sejarah, budaya, mantan menteri, politisi, wartawan, bahkan mantan jenderal. Tebal: 484 hlm. Penerbit: Yayasan Lontar, 2005
Buku kumpulan tulisan pendek ini ibarat album potret wajah Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto. Tulisannya berwarna-warni, tapi pesannya satu: dapatkah kita belajar dari sejarah untuk membangun demokrasi di Indonesia?
Mantan Presiden AS Jimmy Carter tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Ia berkunjung ke Indonesia pada 1999 dan 2004, dua-duanya saat pemilu sedang berlangsung. Waktu itu Carter, istri, dan kontingen The Carter Center menjadi saksi sejarah betapa rakyat Indonesia amat sukses menerapkan demokrasi yang jujur, transparan, dan aman. Pemilu 1999, pemilu yang bebas sejak pemilu pertama 1955. Pemilu 2004 juga merupakan momen historis tak terlupakan, dengan rakyat Indonesia memilih presidennya secara langsung lewat sistem dua putaran. Bagi Carter, seperti ia ungkapkan dalam kata pengantar buku ini, mewujudkan suatu sistem demokrasi tidak mudah, tapi komitmen baru Indonesia pada demokrasi dan kebebasan dapat menjadi simbol bagi yang lain.
Nada optimistis tentang masa depan demokrasi di Indonesia juga diungkapkan oleh Douglas E. Ramage, perwakilan The Asia Foundation untuk Indonesia sejak 1996. Di samping sisi kelamnya, pemerintahan Soeharto punya sisi positif. Antara lain perbaikan kehidupan masyarakat melalui perluasan pendidikan, perbaikan infrastruktur, terbangunnya sistem telekomunikasi, dan kesehatan yang lebih baik (semua yang memungkinkan civil society di Indonesia), serta merencanakan dan membangun demokrasi dan masyarakat yang bebas setelah Soeharto meninggalkan panggung politik.
Pendapat Juwono Sudarsono senada. Ia menilai merosotnya peran angkatan bersenjata di pemerintahan merupakan keberhasilan dari Presiden Soeharto dan ABRI dalam meletakkan landasan bagi stabilitas politik pada 1966-1970. Ini menimbulkan gelombang perubahan dalam tata sosial, ekonomi dan politik Indonesia yang bertahan lebih dari 20 tahun. Ini juga melahirkan masyarakat baru Indonesia, tata ekonomi baru dan gaya baru dalam manajemen politik. Namun Juwono juga mengungkapkan bahwa metode yang berlaku pada 1970-an sampai 1990-an itu tak lagi berguna. Reformasi di segala bidang sungguh diperlukan. Pertanyaannya kemudian: apakah Indonesia memiliki kepemimpinan sipil yang dapat memberikan arah pasti bagi fase ke depan demokratisasi ekonomi dan politik?
Stabilitas politik dan keamanan yang ditekankan pemerintahan Soeharto merupakan mantra yang meluluh-lantakkan kebebasan pada masa itu. Bukan hanya pers yang dibungkam, ak-tivitas kepartaian dan kebudayaan pun mengalami nasib yang sama. Seperti kata Goenawan Mohamad dalam buku ini, "Atas nama keamanan, kontrol atas kehidupan masyarakat hampir-hampir total." Meski begitu, kata Ramage, masih ada kelompok elite dalam masyarakat yang terus-menerus berjuang untuk menegakkan demokrasi di Indonesia.
Indonesia in the Soeharto Years. Issues, Incidents and Images, seperti diungkapkan oleh editor utama buku ini, John H. McGlynn, sebenarnya dipersiapkan sejak 1997, setelah pemilu terakhir Orde Baru. Awalnya, ini sebagai hadiah bagi Soeharto jika ia dapat menyelesaikan pemerintahannya pada 1998-2003. Tapi, pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri setelah tak lagi mampu mempertahankan tiga pilar legitimasi kekuasaannya: stabilitas politik dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan.
Kekuatan buku ini terletak pada keahlian para editornya merangkai satu peristiwa ke peristiwa lainnya, khususnya kisah yang menyertai berbagai foto yang dapat mengembalikan memori kita dari masa peristiwa 1 Oktober 1965 sampai pemilihan presiden langsung di Indonesia pada September 2004. Sayangnya, artikel dari para penulis tersebut terlalu pendek untuk dapat menjelaskan diorama sejarah panjang republik ini. Bahkan amat terasa betapa ada artikel yang termuat hanya menyentuh kulit-kulitnya tanpa menyentuh esensinya.
Jika dibaca secara saksama, buku ini dapat memberikan pelajaran sejarah yang amat berharga bagi penguasa, elite politik, atau masyarakat Indonesia kini dan esok. Namun, seperti diutarakan sejarawan Taufik Abdullah yang mengutip Voltaire, "The only lesson one can learn from history is that the people never learn from history." Mudah-mudahan masa depan akan membuktikan bahwa apa yang diutarakan Voltaire itu salah.
Ikrar Nusa Bhakti, Ahli peneliti utama LIPI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo