Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dunia bertambah ketakutan: dunia bertambah konservatif. Di Roma, dinding-dinding masih menampakkan sisa-sisa poster Paus Yohanes Paulus II yang baru mangkat, yang membawakan kata-katanya yang terkenal, "Jangan takut." Tapi kalimat itu akan segera tenggelam, mungkin terhapus. Kini, di atas takhta yang mewakili posisi yang 2.000 tahun lebih umurnya itu, penggantinya, Benediktus XVI, paus yang ke-265, adalah seorang pembesar agama yang memperingatkan: "Kita bergerak ke arah kediktatoran relativisme".
Ia cemas. Ia khawatir bila kini manusia "tak mengenal apa yang pasti dan hanya membiarkan ego serta hasrat sendiri sebagai ukuran terakhir".
Harus saya tambahkan di sini: suaranya bukan satu-satunya yang menyatakan rasa waswas. Para pemimpin agama, yang selalu punya kecenderungan untuk jadi penyusun rasa takut, kini memang risau menyaksikan perubahan yang semakin lama semakin cepat dan semakin beraneka ragam. Tak adakah gerangan yang akan bertahan tinggal, yang layak dirawat dan dibiarkan lestari? Adakah kini dan nanti ukuran yang mantap untuk kehidupan bersama? Tak ada lagikah yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan?
Pertanyaan itu mencerminkan sebuah frustrasi, tapi sebenarnya menunjukkan bahwa ternyata ada yang tak lekang dan tak lapuk, yang bertahan dalam riwayat manusiadan itu adalah rasa takut akan nihilisme. Ia tak hanya muncul pada awal abad ke-21. Ia tak hanya datang dari Benediktus XVI.
Syahdan, pada suatu pagi, seorang datang ke sebuah tempat orang ramai bertemu. Ia mengumumkan: "Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya." Si pembawa kabar, tentu saja dianggap "gila", membawa sebuah lentera yang bernyala. Ia tahu, "kematian Tuhan" mau tak mau menimbulkan pertanyaan yang mengusik, dalam kegelapan yang semesta, ketika seakan-akan bumi telah dilepaskan rantai pengikatnya dari matahari.
Adegan di atas tentu saja saya ambil dari Nietzsche, persisnya dari Ilmu Ceria (Die fröhliche Wissenschaft) yang terbit pada tahun 1882. Bagi Nietzsche, kematian Tuhan yang dikabarkan oleh orang "gila" itu adalah sebuah kejadian dahsyat: akan hancur arah, terguncang ukuran, jungkir-balik nilai-nilai. "Ke manakah kini ia bergerak? Ke manakah kita bergerak? Menjauh dari semua surya? Tidakkah kita tengah hanyut seakan-akan melalui ketiadaan yang tanpa batas?"
Kita bayangkan rasa takut akan nihilisme di wajah si pembawa lentera, tapi ia tak marah. Ia menerima kenyataan ini: orang akan selalu menghendaki adanya sumber yang tunggal dan kekal, tapi akan selalu gagal menemukannya. Setelah Buddha tak ada lagi, tulis Nietzsche, "bayang-bayangnya masih diperlihatkan selama berabad-abad di sebuah gua." Setelah Tuhan mati, katanya pula, hal yang sama akan terjadi.
Nietzsche mengatakan bahwa "kita masih harus menaklukkan bayang-bayang itu", dan pada hemat saya itu berarti bahwa manusia tak bisa membiarkan diri teperdaya oleh "bayang-bayang". Ia harus mencari, menemukandan sebab itu si pembawa kabar di atas memegangi sebuah lentera yang bernyala: ia tak menyerah. Ia siap berjalan dalam gelap.
Dengan demikian ia sebenarnya berangkat dari nol, terbang dengan kemerdekaan yang penuh, justru karena tak ada menara kontrol, tak ada juga pangkalan untuk kembali, bahkan tak ada pelabuhan yang sudah dirancang pasti akan dimasuki.
Yang umumnya dicemaskan ialah kemungkinan manusia akan tak mampu menggunakan kemerdekaan itu. Kemerdekaan akan melahirkan kekacauan, atau "relativisme", anggapan bahwa segala aturan bersifat serba nisbi. Para penguasa agama marah dan sedih bila tak ada lagi pengakuan akan adanya tradisi dan akidah. Lihat, kata mereka, itu menara kontrol, itu pangkalan tempat berangkat dan itu tempat datang!
Kecemasan seperti ini sebenarnya tak mengakui adanya kemerdekaandan di situlah salahnya.
Kemerdekaan adalah momen di tengah gurun: tak ada rambu, perbatasan yang dijaga, bendera yang ditaati, kesempitan yang mengapit. Bila pada saat itu tak ada Tuhan, sebenarnya yang musnah adalah konsep tentang Tuhankarena tiap konsep bersifat membekukan, membentuk, seperti membuat patung dari batu untuk "menangkap" sebuah sosok. Tentang ini Jean-Luc Marion, seorang filosof Katolik, berbicara tentang "pemberhalaan konsep" ketika satu konsep Tuhan ditegakkan.
Agaknya sebab itu Nietzsche berbicara dengan antusias tentang Yesus. Kekuatan iman Yesus adalah karena ia "hidup dan menolak formula". Bagi Nietzsche, Yesus tak hendak mempedulikan apa yang "tetap", sebab "apa saja yang tetap bersifat membunuh". Menjalani hidup baginya merupakan oposisi dari kata, rumus, hukum, keyakinan, dogma.
Tapi kemudian Yesus tak ada lagi. Gurun diubah jadi kota, dengan rambu-rambu, aturan, dan tentu saja kekuasaan. Yang tak diakui ialah bahwa semua itu lahir dengan kekerasan, sebagaimana tercatat dalam sejarah agama-agama yang melembagakan diri.
Kita ingat bagaimana Sang Inkuisitor Agung dalam Karamazov Bersaudara Dostoyewski menyalahkan Yesus. Dalam cerita Ivan Karamazov ini, Sang Penebus turun ke bumi untuk menghalangi kekerasan Gereja kepada mereka yang dianggap menyalahi ajaran. Tapi Yesus kalah. Penguasa Gereja itu menangkapnya.
"Tuan menghasratkan cinta bebas manusia, agar ia dapat mengikuti Tuan dengan merdeka," kata Sang Inkuisitor mengecam. "Sebagai pengganti hukum lama yang tegar, Tuan beri manusia kesempatan untuk dengan hati bebas menentukan untuk diri sendiri apa yang baik dan yang burukhanya dengan berpedoman citra Tuan." Bagi Sang Inkuisitor sepuh, Yesus telah meletakkan dasar kehancuran Kerajaan-Nya sendiri.
Maka petinggi Gereja itu takutseperti Paus pada awal abad ke-21 takut akan "relativisme". Tapi sejarah juga selalu mencatat bagaimana orang lain juga takut: ada yang brutal dalam ambisi kepastian, tertib, dan otoritas.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo