Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Sutradara Sidharta Tata mengubah cerita Ali Topan dari anak jalanan menjadi anak skena.
Isu dan cerita skena dianggap lebih mudah dicerna anak muda saat ini.
Pemilihan lagu juga menjadi keputusan krusial untuk menguatkan semangat komunitas musik underground.
Bagi sutradara Sidharta Tata, tak ada pilihan lagi selain mengubah isu cerita ketika ia mendapat tawaran menggarap film terbaru Ali Topan. Menurut Tata, cerita dan ragam isu yang dimiliki Ali Topan versi novel dan film pertamanya pada 1977 sudah tidak relevan lagi dengan kehidupan zaman sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut cerita asli karya penulis Teguh Esha, Ali Topan adalah anak orang kaya yang memilih untuk menghabiskan waktunya di jalanan bersama kawan-kawannya. Mereka berkeliling Ibu Kota seperti geng motor. Tindakan itu dipilih Ali Topan lantaran tak mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Tata, isu anak jalanan sudah tidak cocok untuk diaplikasikan saat ini. Dia sempat membaca novel Ali Topan Anak Jalanan. Hasilnya, Tata menemukan isu seksisme yang cukup kuat dalam cerita Ali Topan. Maklum, pada 1970-an, perempuan masih mendapat pandangan stereotipe dan ketidakadilan.
"Isu seksisme saat ini sudah menjadi sesuatu yang benar-benar harus dijaga," kata Tata kepada Tempo di sela jumpa pers pemutaran perdana film Ali Topan di Jakarta Selatan, 13 Februari lalu.
Dalam proses pencarian isu dan cerita baru, Tata menonton Ali Topan Anak Jalanan versi sinetron yang tayang pada 1997 dengan Ari Sihasale sebagai pemeran utama. Dari situ, Tata mendapat fakta bahwa cerita Ali Topan di sinetron mengalami perubahan dengan alasan yang sama, yakni menyesuaikan keadaan pada tahun itu.
"Jadi kami masih berkiblat pada nama-nama tokoh aslinya, tapi kemudian ada ruang bermain yang bisa dibedakan," ujar Tata.
Sutradara Sidharta Tata mengarahkan pemeran saat syuting film "Ali Topan" (2024). Dok. Visinema Pictures
Seketika Tata mencoba menggali isu dan tema tentang kehidupan anak muda yang masih relevan pada masa kini. Kebetulan Tata lahir dari komunitas musik bawah tanah alias underground di Yogyakarta. Dari situ, ia mendapat ide memasukkan isu komunitas musik underground untuk kisah terbaru Ali Topan.
Apalagi, dalam setahun terakhir, tren skena lekat dengan anak muda di berbagai kota, termasuk Jakarta. Skena adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelompok anak muda yang menyukai musik underground dan indie.
Tren ini dianggap berkelas lantaran ketertarikan terhadap musik yang tidak biasa. Selain itu, komunitas tersebut biasanya memiliki pemikiran kritis dalam musik hingga gaya berpakaian.
Untuk menguatkan nuansa skena, pemilihan musik latar menjadi krusial. Di sinilah, diskusi Tata dengan tim produser terjalin ketat. Maka terpilihlah dua lagu yang menjadi musik pengiring film Ali Topan, yakni lagu berjudul Kuning garapan band Morfem dan Serana dari band For Revenge.
Ide memilih Kuning muncul dari Tata yang menganggap lagu tersebut terdengar unik dan dimainkan oleh band yang punya semangat skena. Menurut Tata, lagu tersebut terdengar sangat keras, tapi juga romantis pada saat bersamaan. "Terasa anak Jakarta banget."
Sementara itu, lagu Serana dari For Revenge muncul sebagai ide produser Tersi Eva Ranti. Menurut dia, lagu yang belakangan viral di media sosial itu menjadi ekspresi patah hati laki-laki yang sangat pas mewakili perasaan Ali Topan. "Lagu ini menunjukkan sisi Ali Topan yang rebel, tapi ada sisi emosionalnya yang membuat dia bisa menangis," kata Tersi.
Di tengah perombakan cerita dan isu, Tersi dan Tata sepakat tetap mempertahankan jiwa pemberontak serta pembela keadilan hingga kebebasan. Sebab, semangat itulah yang menjadi nyawa cerita Ali Topan. Walhasil, jadilah Ali Topan yang diperankan Jefri Nichol sebagai pemuda skena yang rebel, tapi masih punya kepekaan sosial dan perjuangan akan kebebasan.
Selain itu, sutradara dan produser menyuguhkan kegiatan kolektif anak-anak pegiat musik underground. Termasuk menyoroti komunitas anak muda berbagai latar dan tujuan di berbagai kota yang disinggahi Ali Topan serta Anna Karenina. Sebagai contoh, anak-anak pesisir utara Jawa Tengah yang aktif di musik underground sekaligus gerakan penolakan penggusuran demi proyek properti mewah.
Namun sutradara Tata mengaku sempat terkejut atas tanggapan keluarga mendiang Teguh Esha saat melihat konsep terbaru Ali Topan. Awalnya, salah satu anak Teguh Esha mengatakan dia tidak mengenal lagi sosok Ali Topan garapan Tata.
Tata merasa seperti disambar geledek di siang bolong. Ia sempat khawatir cerita versi barunya bakal mendapat penolakan dari pihak keluarga Teguh Esha. "Tapi setelah itu anak Teguh Esha mengatakan dia enggak kecewa dengan cerita yang saya buat," tuturnya.
Sutradara Sidharta Tata bersama Jefri Nichol dan Lutesha saat syuting film "Ali Topan" (2024). Dok. Visinema Pictures
Tentu saja Tata dan tim produser merasa lega. Beruntung, salah satu anak Teguh Esha juga hidup di dunia musik. Walhasil, cerita bertema anak skena lebih mudah diterima. "Hilang sudah tekanan yang sebelumnya saya rasakan," kata sutradara film horor Waktu Maghrib itu.
Tata juga memasukkan isu perlawanan politik dalam lingkungan anak-anak skena Ali Topan cs. Sebagai contoh, munculnya poster tuntutan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat, seperti wartawan Udin dan Wiji Thukul. Tata beralasan, perjuangan ini menjadi salah satu poin yang bisa ia terjemahkan dari semangat Ali Topan ala Teguh Esha. Intinya, Ali Topan tetap menyuarakan keadilan bagi korban ketidakadilan.
Salah satu anak Teguh Esha, Yusuf Hikmah Adrai, mengaku puas atas pendekatan yang dilakukan jajaran produser dan sutradara film Ali Topan terbaru. Pihak keluarga Teguh Esha selalu dilibatkan dalam berbagai kegiatan dan pengambilan keputusan. Sebagai contoh, keterbukaan soal draf cerita hingga final sampai pemilihan pemain. "Produser dan sutradara mengajak kami mengobrol soal proyeksi pemain," kata pria 29 tahun itu.
Yusuf mengatakan sejak awal ayahnya sudah setuju dengan tawaran kerja sama yang diajukan pihak Visinema Pictures. Menurut Yusuf, komunikasi tersebut sudah terjalin sebelum ayahnya wafat pada 17 Mei 2021.
Menurut Yusuf, kesepakatan tersebut terjadi lantaran ada gagasan dari Visinema yang berhasil membuat ayahnya yakin dengan ide tersebut. "Sebelumnya banyak pihak berminat, tapi beberapa kali enggak tercapai kesepakatan. Ini yang membuat bapak banyak kecewa."
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo