Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panggilan menyebarkan semangat Martin Luther ke belahan dunia mana pun telah membawanya sampai ke tanah Batavia. Minggu, 25 Januari 1779, dalam udara pagi, penumpang kapal Holland via Tanjung Harapan tersebut mendapat sambutan meriah warga Batavia. Pendeta baru untuk sebuah gereja Lutheran—sekarang letaknya di bilangan Kota—itu turun dengan hati berbinar.
Tiap Senin, Jan Brandes, nama pendeta itu, berkewajiban berkhotbah di depan umat. Namun lambat-laun koleganya melihat materi ceramahnya tak atraktif, hambar, jumlah jemaatnya merosot. Dan akibatnya gereja sedikit menerima sumbangan uang. Mereka melihat sang pendeta yang botak dan suka mengenakan wig itu tak begitu antusias terhadap dunia tulis-menulis. Membaca buku, sebuah kewajiban intelektual bagi para teolog, juga dijauhinya. Malah ia berkebun, memelihara burung, dan membikin sketsa.
Jan Brandes tentu bukan seorang pelukis profesional. Pada waktu itu sosok tersohor dalam dunia seni rupa di Batavia adalah orang seperti Johannes Rach, pelukis asal Denmark, seorang juru gambar militer. Karya sketsa Rach pernah dipamerkan di Perpustakaan Nasional, beberapa waktu lalu. Pada zaman itu rata-rata pelukis profesional ikut terlibat pendokumentasian VOC atau menjadi anggota Bataviaasch Genootschap voor Kurnsten en Wetenscgappen, perkumpulan pencinta seni dan sains Batavia.
Brandes kebanyakan melukis dengan cat air dan untuk diri sendiri. Tak ada niat untuk dijual, apalagi dipamerkan. Tentu, apa yang disketsakannya tidak lari dari mata eksotik seorang priayi Eropa. Ia merekam pertunjukan ronggeng, tari topeng, wayang, mengabadikan ritual Kong Hu Cu di kelenteng, dan juga sembahyang di masjid. Ketika VOC pada 1783 meminta bala bantuan kepada keraton Solo dan Yogya untuk ikut menjaga Batavia dari serangan Inggris, segera ia melukis punggawa-punggawa itu.
Tapi yang membuatnya istimewa adalah sesuatu yang mungkin tak menarik bagi pelukis profesional. Dan itulah yang membuat Rijkmuseum sampai sekarang memburu sketsanya, lalu bersusah payah menerbitkan buku luks The World of Jan Brandes, sebuah buku yang memungkinkan reproduksinya dipamerkan di mana-mana, termasuk di Erasmus Huis Jakarta.
Ia antara lain banyak melukis suasana sehari-hari kegiatan rumahnya dan lingkungan sekitarnya: anak-anak, pembantu, dan pekarangan. Melukis seolah sebuah ikhtiar mendokumenkan kehidupan personalnya yang jauh dari sanak saudara. Kadang ia mengirim snapshot-nya ke keluarganya di Belanda sebagai kartu pos.
Kebanyakan materi lukisan dalam pameran ini diperoleh Rijkmuseum dari para ahli waris Brandes. Setelah tujuh tahun di Batavia, pada 1785 ia pindah ke Sri Lanka. Dari situ ia balik ke Eropa dan memutuskan menetap di Swedia, tempat ia meninggal pada 1808. Sampai sekarang Rijkmuseum tetap mencari karya Brandes periode Batavia. Bahkan, apabila Anda punya lukisan tak dikenal dari Batavia abad ke-18, Rijkmuseum bersedia "bernegosiasi" untuk mengecek: siapa tahu itu karya Brandes.
Periode Batavia sangat penting bagi kehidupan Brandes. Truy, istrinya, meninggal di sini pada 1780, terserang diare. Jantje, putra tersayangnya, lahir di Batavia. Ia sendiri berulang kali terkena malaria, tapi selamat. Setelah ditinggal istrinya, ia seolah "mengisolasi diri", membeli lahan luas di bilangan Sunter. Di situ ia tinggal dalam sebuah rumah dengan perkebunan dan istal. Ia dianggap semakin tidak aktif di gereja setelah bentrok dengan pendeta lain.
Tapi di kesepian itu ia malah produktif. Ia memiliki sekitar 12 pembantu. Meski mereka berasal dari Jawa atau Makassar, ia memberi nama Belanda: Vlug, Goed, Klaas, Hyn, Roosje, Flora, Sara. Yang menarik, ia sering menggambar potret diri para pembantunya atau kegiatan pembantunya saat mengasuh anaknya. Biasanya wanita pribumi dalam kanvas hanya sebagai dekorasi dari nyonya-nyonya Belanda, bukan sebagai subyek. Lihatlah, pada 2 Maret 1784 ia menggambar Jantje, anaknya, bermain dengan Bietja (anak pembantu). Dua bocah kecil itu duduk di lantai bambu, dengan pemandangan terbuka, pohon-pohon kenari di kejauhan.
Semua kegiatan perkebunan diatur oleh Brandes sendiri. Ia tak menggaji mandor. Sebagai seorang tuan tanah di daerah kolonial, ia juga sering diliputi kekhawatiran akan pembangkangan para budak. Dalam catatan hariannya yang dikemukakan dalam buku The World of Jan Brandes terbitan Rijkmuseum itu, misalnya, ditemukan bahwa Brandes berulang kali takut diracun oleh para budaknya. Karena itu ia berulang kali menghukum para pembantunya.
Namun ia juga dikenal memiliki perhatian pada para pembantunya itu. Sering ia menggunakan mereka sebagai "informan" untuk mengetahui berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang ada di sekitar rumahnya. Ia tidak terdidik dalam botani atau zoologi. Tapi ia suka mengumpulkan lalu menggambar berbagai flora dan fauna. Ia tidak berpretensi menggambar hewan yang memang tak ditemuinya semisal macan, yang kerap dilukis para pelukis realisme. Yang diangkatnya ke atas kertas ketika di Batavia adalah serangga, cecak, burung beo, atau misalnya, burung bangau yang banyak dipelihara bangsawan Belanda.
Brandes seorang pendeta. Tapi yang ditampilkan dalam kertasnya adalah hal-hal praktis, jauh dari yang berbau politik, historis, atau teologis. Tapi justru sebetulnya di situlah letak "religiositasnya". Roelof van Gelder, dalam sebuah tulisannya Jan Brandes: an Outsider in the East, menyebut ada kemungkinan Brandes terpengaruh gerakan pietisme yang waktu itu tengah menggejala dalam Lutherian. Sebuah gerakan kesalehan yang memberikan penghayatan atas segala bentuk ciptaan Tuhan dalam momen-momen keseharian. Batavia yang direkam oleh kuas Brandes bukan Batavia penuh onak, Batavia yang bakal menjadi sebuah metropolitan, tapi Batavia yang terpencil, namun intim.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo