Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seulas senyum terkembang perlahan di wajah Tiono Lim tatkala tangannya menyodorkan kertas mungil itu ke hadapan TEMPO: selembar kupon untuk membeli makanan senilai A$ 5 dolar (sekitar Rp 30 ribu) "Ini bantuan dari gereja," ujarnya. Dengan tersipu dia memandang Ketua Majelis Kongregasi Indonesia Camberwell Uniting Church, Lucky Kalontayang membagikan rezeki kepada jemaat yang sedang kekurangan atau tengah menganggur macam Tiono. "Padahal saya punya anak empat," tuturnya. Dengan bekal beberapa kupon yang bercap Uniting Church tersebut, dia bisa membeli hidangan siap saji atau makanan mentah di pasar swalayan.
Tiono Lim, 39 tahun, adalah salah satu jemaat yang merasakan betul manfaatnya aktif terlibat sebagai jemaat gereja di Melbourne. "Rasa kekeluargaan di sini istimewa," ujarnya. Gereja di Camberwell bukan saja menjadi penyelamat dalam urusan makan-minum, melainkan juga mengupayakan pelatihan kerja bagi jemaat. Tiono, misalnya, dibantu menjadi sopir bus.
Jemaat berbahasa Indonesia di Camberwell Uniting Church ini adalah salah satu dari 18 gereja berbahasa Indonesia di Melbourne. Tetapi Camberwell bisa menjadi contoh peleburan jemaat Indonesia dengan jemaat Australia. Bahkan sampai membentuk sister church dengan Gereja Masehi Injili Minahasa. Gereja Indonesia ini melibatkan umat lokal alias warga Australiayang notabene berbahasa Inggrisdalam aneka kegiatan masyarakat Indonesia di Melbourne.
Suasana reriung antara dua bangsa ini terlihat saat peringatan setahun Televisi Nusantarapemerintah Australia mengizinkan hadirnya sebuah televisi komunitas bagi setiap bangsadi Konsulat Jenderal Indonesia di Melbourne tiga pekan lalu. Paduan suara Camberwell Uniting Church yang berbahasa Inggris, yang terdiri dari beberapa orang asing yang rata-rata sudah sepuh, begitu bersemangat menyanyikan lagu Matilda dan beberapa lagu lain. Bahkan tongkat penyangga kaki tak menghalangi seorang jemaat untuk ikut menyanyi dalam acara komunitas Indonesia ini. Dengan tertatih dan dibantu seorang rekannya yang tak kalah tuanya, si jemaat naik panggung dengan gagah berani dan ikut cuap-cuap di hadapan para tamu.
Kongregasi Indonesia di Camberwell bermula dari satu pertemuan pada 11 Februari 1996. Pemrakarsanya beberapa keluarga Manado di Melbourne. Ada Lucky Kalonta, Tekky Yermias, Albert Lengkong, Yorry Lengkong, dan Eddy Kalisara. Juga beberapa orang Ambon dan Medan seperti Darius Hetharia, Roy Lewier, dan Mangatas Pardede. Mereka berkumpul di rumah Tekky Yermia. Beberapa waktu sebelumnya, sebagian dari mereka meninggalkan Gereja Berbahasa Indonesia di Malvern Uniting Church.
Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk membentuk persekutuan sendiri dan mencoba mendapat gereja sendiri. Lobi mulai ditebar di empat penjuru. Mereka menemui perwakilan Dewan Paroki dan Dewan Penetua Camberwell Uniting Church untuk bisa menggunakan gereja. Kenapa Camberwell? "Karena lokasinya amat strategis," ujar Pendeta Apwee Ting, pemimpin dan pendeta jemaat berbahasa Indonesia di Kongregasi Camberwell Uniting Church. Terletak di areal tengah Melbourne, gereja ini memiliki jemaat yang tersebar di pinggiran kota, seperti Blackburn, Box Hill, dan Richmond. Gereja ini juga mudah dicapai karena ada trem yang melintasi jalanan depan gereja.
Pada 10 Maret 1996, jemaat Indonesia di Camberwell melaksanakan kebaktian pertama. Dan seperti kebiasaan gereja berbahasa Indonesia lain di kota itu, pesta makanan Indonesia digelar setelah kebaktian. Pada akhir tahun itu jemaat telah meningkat menjadi sekitar 50 orang. Rupanya, kongregasi berbahasa Inggris menyukai saudara baru mereka. Menurut Lucky, gaya masyarakat Indonesia bergereja dianggap unik dan menarik di mata anak negeri Australia. Mengapa?
"Di sini, orang bergereja itu hanya masuk, duduk, dengar, kelar, dan pulang," ujar Lucky Kalonta. Berbeda betul dengan suasana di gereja-gereja berbahasa Indonesia. Selalu ada acara makan-makan dan mengobrol setelah kebaktian. Suasana itu pula yang direkam TEMPO saat mengunjungi gereja Camberwell beberapa waktu lalu. Ada ayam goreng, ayam bumbu pedas, sate, asinan, dan masih banyak lagi makanan tersaji di meja panjang di ruang makan gereja. Tak mengherankan bila jemaat kulit putih gemar meriung bersama umat Nasrani asal Indonesia. "Sebulan sekali mereka bergabung dalam acara makan siang," ujar Apwee.
Padahal, menurut Apwee lagi, awalnya mereka kerap protes, mengeluhkan kotornya ruang makan dan dapur saban kali jemaat Indonesia menggelar acara makan-makan. Warga Indonesia yang bergereja di sana pun mengangguk-angguk mendengar protes itu, lalu membereskan dapur dan menjamin kebersihan ruangan. Maka suasana damai pun lahir kembali.
Dalam perkembangan selanjutnya, Kongregasi Indonesia bukan lagi sekadar meminjam tempat. Mereka berbagi dalam segala hal, dari gereja, kantor, hingga gedung serbaguna dan segala fasilitasnya. Kerja sama lebih erat secara struktural dimulai saat Pendeta Alan Reid, pendeta Camberwell, mengikuti study tour Dewan Gereja Nasional Australia ke Indonesia pada 1982. Saat itu dia bertemu dengan presiden dan majelis Gereja Masehi Injili Minahasa untuk menjajaki kerja sama. Pertalian itu kian erat dan meluas setelah tersimpul hubungan antara Sinode Uniting Church Australia di Victoria dan Sinode Gereja Masehi Injili Minahasa di Manado.
Setahun kemudian, Kongregasi Indonesia di Camberwell mendapat pendeta dari Manado bernama Mouna Rumayar. Konsul Jenderal Indonesia untuk Victoria dan Tasmania menyediakan tempat dan makanan. Adapun jemaat yang tergabung dalam Kongregasi Indonesia di Camberwell mengurus uang saku untuk sang pendeta.
Ketika Mouna kembali ke Manado, Kongregasi Indonesia, Kongregasi Anglo, dan Sinode Victoria bersepakat mengundang Apwee Ting, seorang pelajar Melbourne College of Divinity untuk memimpin jemaat berbahasa Indonesia. Tidak main-main, mereka mengirim Apwee ke Manado untuk tinggal dua bulan. Tujuannya, agar dia mengenal lebih dalam budaya dan kebiasaan masyarakat Manado. Maklum, Kongregasi Indonesia di Camberwell ini didominasi orang Manado, sedangkan Apwee adalah warga Solo keturunan Cina. Sekembalinya dari Sulawesi, Apwee pun resmi menjadi pendeta untuk Kongregasi Indonesia di Camberwell.
Tiga tahun kemudian, pada Maret 1999, kedua kongregasijemaat berbahasa Indonesia dan Inggrissepakat melebur menjadi satu kongregasi dengan dua pelayanan dan dua pendeta. Perbedaan bahasa, budaya, status ekonomi dan sosial, tak menghalangi kedua bangsa untuk beribadah dalam satu rumah Tuhan. Persekutuan ini terus berkembang hingga melintasi batas Australia. Itu terjadi pada empat tahun silam saat dua pendeta di Camberwell menghadiri pertemuan Sinode Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) di Manado. Hasilnya, Kongregasi Camberwell menetapkan kemitraan formal dengan pembentukan sister church (gereja kembar) dengan Gereja Reidel GMIM di Tondano, Sulawesi Utara.
Camberwell pun mengirim beberapa jemaat Australianya ke Minahasa. Mereka membuat proyek bersama seperti pembangunan panti asuhan serta mendirikan warung-warung untuk orang miskin. "Sumbangan itu berasal dari uang pribadi jemaat," ujar Lucky. Program lain yang menurut Lucky tak terlupakan adalah saat jemaat berbahasa Inggris membantu anak-anak tuli yang jago melukis di Minahasa. "Mereka melukis di Tondano dan kita menjual lukisan itu kepada jemaat di sini," tuturnya.
Satu yang menarik, pendeta yang memimpin doa dalam setiap kebaktian tak melupakan wujud penyatuan kaum pendatang dan anak negeri. Seperti yang dipanjatkan Pendeta Apwee: "Tuhan, lindungi dan berkahi negeri kami, Indonesia Juga negeri tempat kami hidup, Australia...."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo