Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rindu Tuhan di Negeri Seberang

Mereka berkumpul pada suatu malam bulan Januari 1980. Hanya belasan jiwa pemeluk Nasrani di dalam sebuah rumah di East St. Kilda, Melbourne. Kini, 24 tahun kemudian, persekutuan doa itu telah menjelma menjadi komunitas Kristen Indonesia yang "menguasai" sekitar 23 gereja di Melbourne. Memiliki sekitar 6.000 anggota jemaat, gereja-gereja ini tetap diwarnai unsur etnis—Manado, Batak, Timor, Cina keturunan—dan mempertahankan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Bagaimana komunitas ini tumbuh dan berkembang? Bagaimana generasi kedua yang lahir di perantauan menerima gereja yang "diwariskan" oleh orang tua mereka? Wartawan TEMPO Purwani Diyah Prabandari bercampur dengan komunitas ini selama beberapa pekan.

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada suatu malam, bulan Januari 1980. Berdesakan dalam sebuah ruang tamu yang mungil, beberapa orang mengitari seorang pria yang tegak dengan Alkitab di tangan. Dia menguraikan isi kitab, meladeni tanya-jawab, lalu memimpin ibadat malam. Seusai acara, kumpulan kecil manusia itu saling mencurahkan kesulitan hidup, berbarter pengalaman, dan bertukar kabar sehari-hari. Ini memang peribadatan biasa, lazim dilakukan jemaat Kristen di mana pun. Tapi, bagi komunitas Kristen Indonesia di Melbourne, kumpul-kumpul di atas sesungguhnya lebih dari sekadar persekutuan doa.

Malam itu, di ruang tamu milik Hendra Iskandar di East St. Kilda—sebuah sudut di Kota Melbourne—Hendra dan beberapa kawannya tengah meletakkan sebuah milestone, salah satu batu sendi yang kemudian melahirkan komunitas gereja Kristen Indonesia di Melbourne. Kini, 24 tahun kemudian, cikal-bakal gereja Indonesia yang bermula di ruang tamu sempit itu telah berkembang luas di metropolitan Melbourne. Sekitar 18 gereja Indonesia dan 6 persekutuan komunitas Kristen (lihat Mereka Tegak di Mana Saja) telah tersebar luas.

Disokong oleh ribuan anggota jemaat—orang Indonesia di Melbourne sekarang kurang-lebih 17 ribu orang—gereja ini berkembang dan beranak-pinak di berbagai penjuru kota. Jemaatnya bahkan telah menjangkau generasi kedua (lihat Mereka 'Gagu' Bercakap Melayu). Bahkan telah menarik pula minat gereja yang berbahasa Inggris—yang dikelola oleh warga Australia—untuk bergabung (lihat Dua Bangsa Satu Gereja).

Pertumbuhan gereja Indonesia di Melbourne diwarnai pula oleh fenomena "patah tumbuh hilang berganti". Ada yang lahir, bubar, diwarnai konflik di sana-sini. Toh, apa yang dimulai pada malam di bulan Januari 1980 itu telah berhasil melahirkan sebuah jaringan yang cukup solid. Malam itu, untuk pertama kalinya, masyarakat Kristiani Indonesia di Melbourne melakukan kebaktian mingguan. "Kami terbiasa beragama di Indonesia. Untuk lepas agak susah," ujar Hendra. Bekas pendeta itu kini bekerja sebagai developer. Dia mengenang, pada saat awal dulu, hanya empat keluarga yang biasa bergabung dengannya.

Pelan tapi pasti, persekutuan dari East St. Kilda itu memetik satu demi satu anggota. Dalam dua tahun, anggotanya meningkat menjadi 50 orang. Ketika Hendra pindah ke Ashwood, jemaat tak tertampung lagi di rumahnya. "Saya sampai harus njebol tembok," ujarnya kepada TEMPO. Saat bersejarah itu tiba pada Februari 1984: Hendra dan jemaatnya mengumumkan terbentuknya Gereja Berbahasa Indonesia (GBI)—The Indonesian Church—di St. Mark's Uniting Church di Chadstone, gereja berbahasa Indonesia pertama di Melbourne. Pemimpinnya adalah Hendra Iskandar dan Barnabas Sudirgo Ong. Jemaatnya kebanyakan warga Indonesia keturunan Cina.

Sejak saat itu, susul-menyusul muncul berbagai gereja berbahasa Indonesia di Melbourne. Fenomena ini berkebalikan dengan gereja Anglo-Australia, yang kian lama kian habis. Jemaatnya tinggal segelintir dan tua-tua pula. Bahkan ada gereja yang dijual. Anak-anak muda cuma memandangi bangunan gereja itu saat melintasinya tanpa ada niat untuk mampir dan beribadah. Alhasil, kelahiran dan pertumbuhan gereja Indonesia yang memiliki jemaat dari generasi tua dan muda menarik perhatian penduduk setempat. Belum lagi acara "pasca-ibadat" yang meriah: reriungan dengan meja penuh makanan dalam suasana yang hangat.

Menurut Pendeta Apwee Ting, Ketua Badan Kerja Sama Umat Kristiani Indonesia di Victoria, ada sekitar 18 gereja dan 6 persekutuan berbahasa Indonesia di Melbourne. Jemaatnya sekitar 3.000 dari total 6.000 lebih orang Indonesia Nasrani di seantero Melbourne. "Perkembangan pesat terjadi pasca-1997-1998. Jumlah orang Indonesia di Melbourne membengkak dari sekitar 7.000 menjadi 17.000," tutur Apwee. Bahkan, di kota-kota lain, perkembangan serupa terjadi. Apwee mencontohkan Sydney, yang memiliki sekitar 40 gereja dan persekutuan komunitas Kristiani Indonesia.

Satu yang unik dalam profil gereja-gereja Indonesia di Melbourne adalah warna etnis yang masih melekat. Ada Batak, Manado, Ambon, dan Timor. Di gereja berbahasa Indonesia di Carlton, umpamanya, jemaat dan pengurusnya kebanyakan orang Batak. Contoh lain adalah gereja Indonesia di Armadale yang didominasi orang Timor atau komunitas gereja Indonesia di Camberwell yang rata-rata berumatkan warga Manado, Minahasa, dan Batak. Masyarakat Indonesia keturunan Cina umumnya bergabung dalam Melbourne Praise Centre, Indonesian Praise Centre, atau Bethany International.

Ciri lain komunitas Kristiani Indonesia ini adalah kentalnya silaturahmi—gereja bukan sekadar bangunan, melainkan komunitas persaudaraan, sebuah elemen dasar bergereja yang mulai pupus dari gereja-gereja "asli" Australia yang kian kosong melompong. Tengok saja acara-acara pasca-ibadat yang berlangsung dalam komunitas gereja Indonesia di Melbourne. Ada makan-makan, ngobrol, pelatihan bagi mereka yang menganggur, dan penghiburan bagi jemaat yang tengah susah.

"Saya seperti mendapat keluarga di sini," ujar Liz Lani, salah satu jemaat di gereja berbahasa Indonesia di Camberwell Uniting Church. Tiba di Melbourne sekitar enam bulan silam, Liz mengaku menemukan suasana Tanah Air yang kental di perantauan itu. Suasana itu memang terlihat dalam kebaktian Caufield Indonesian Uniting Church Australia beberapa pekan lalu. Seusai upacara, jemaat tidak langsung pulang seperti jemaat gereja-gereja Anglo-Australia.

Para anggota jemaat saling melepas kangen dan mempererat silaturahmi dengan acara makan-makan di ruang "serbaguna". Berbagai santapan khas Indonesia seperti gado-gado, asinan, ayam bakar, serta tak ketinggalan kerupuk terhidang di meja panjang. "Inilah kesempatan bisa berkumpul sesama teman orang Indonesia dan menikmati berbagai makanan Indonesia," ujar Sely Kapa, ketua majelis gereja tersebut. Di Camberwell Uniting Church, malah warga saling membagi jadwal untuk membawa makanan yang dihidangkan selepas kebaktian. "Saya masak sendiri, lo," ujar seorang anak muda yang tampak menenteng rantang makanan. Tak mengherankan bila upacara kebaktian relatif penuh oleh jemaat.

Sejarah perkembangan gereja dan persekutuan warga Kristen Indonesia di Melbourne sejatinya beriringan dengan perjalanan masyarakat Indonesia di kota tersebut. Benih gereja berbahasa Indonesia sudah tertebar sejak awal 1970-an—jauh sebelum Hendra Iskandar memimpin kebaktian di East St. Kilda pada Januari 1980. Pada saat itu, masih sedikit orang Indonesia di Melbourne. Menurut Lucky Kalonta, Ketua Majelis Gereja Berbahasa Indonesia Camberwell Uniting Church, kebanyakan jemaat adalah pemukim ilegal. "Sekitar 2.000 orang adalah penduduk ilegal karena overstay," tuturnya.

Ada sejumlah nama yang aktif memikirkan cikal-bakal gereja Indonesia di kota tersebut. Umpamanya John Pello, John Pattiselano, Steve Seumahu, Yusnan Budiman, dan Abe Kelabora. Di Laverton, pada Oktober 1977, mereka membentuk The Indonesian Christian Fellowship (ICF) dan mengadakan acara kumpul-kumpul sebulan sekali. Saat itu, hanya sekitar 15 orang yang rajin muncul. Namun, begitu ada pemutihan terhadap penduduk Indonesia yang ilegal, tambahan jemaat pun mengalir.

Dua tahun kemudian, Immanuel Bire dari Timor dan Yono Abadi asal Jawa Tengah—keduanya calon pendeta dari Uniting Church—plus Hendra Iskandar, mahasiswa Calvary Bible College dari Semarang, bergabung dengan ICF. Ketiganya bergantian memimpin pengkajian Alkitab saban bulan.

Ketika mahasiswa dari Indonesia berdatangan ke Melbourne pada era 1980-an, sebagian dari komunitas Kristiani merasa pertemuan bulanan tidaklah cukup. Maka Hendra Iskandar pun memulai persekutuan mingguan di flatnya di East St. Kilda serta mulai berpikir untuk memiliki gereja sendiri. Hanya empat keluarga yang ikut Hendra waktu itu. "Hendra sangat keras dalam agama," ujar salah seorang pendiri ICF. Namun ada pula yang berpendapat bahwa sebaiknya orang Indonesia tetap ke gereja lokal (gereja yang dikelola orang Australia—Red.).

Perbedaan tersebut sekaligus menjadi titik tolak perkembangan gereja berbahasa Indonesia di Melbourne—tidak hanya berkembang dari segi jumlah, tapi juga menjadi lebih variatif. Ketika jemaat kian bertambah, etnis dan denominasi (sekte) dalam memilih gereja kian tampak. "Ini hal yang manusiawi. Mereka yang merasa senasib dan sepenanggungan akan bergabung dengan orang yang sama, baik dari sisi agama maupun etnis," ujar Pendeta Apwee.

Alhasil, perpecahan demi perpecahan pun terjadi. "Biasanya karena alasan kepemimpinan atau kesukuan," ujar Lucky Kalonta. Hendra Iskandar, misalnya, menyatakan gereja berbahasa Indonesia di Chadstone berubah menjadi gereja karismatis. Perubahan ini dia lakukan setelah beberapa tahun mendirikan gereja berbahasa Indonesia pertama tersebut di Chadstone. Hendra sendiri kemudian bergabung dengan Indonesian Praised Centre, yang belakangan tak lagi dikunjunginya.

Dari sisi lain, perpecahan ini justru memekarkan komunitas Kristiani di tanah seberang. Kelompok-kelompok pribumi, terutama dari Batak, Ambon, Manado, Tanatoraja, dan Timor, kemudian mengadakan kebaktian sendiri setiap akhir pekan secara bergiliran. Sebagian dari mereka tadinya anggota gereja berbahasa Indonesia (GBI) yang kemudian menyempal keluar dan bergabung dengan warga yang tak pernah menjadi anggota GBI.

Masalah mulai muncul setelah GBI bubar. Salah satu kasus adalah saat pasangan Indonesia, Tekky dan Lia Yermian, ingin membaptis anaknya di gereja Indonesia. Apa daya, niat mereka sulit tersampaikan karena tak ada lagi gereja berbahasa Indonesia pada saat itu. Maka upaya memiliki gereja pun dilakukan oleh kelompok Indonesia asli ini. "Ada tambahan kebutuhan rohani, keperluan pembaptisan, perkawinan, dan lain-lain," ujar Cely Goeltom, sekretaris majelis Caufield Indonesian Uniting Church Australia. Akhirnya mereka membentuk lagi gereja berbahasa Indonesia. Kali ini dengan nama The Indonesian Congregation Malvern Uniting Church.

Namun pemisahan dalam komunitas gereja Indonesia di Melbourne terus terjadi. Pendeta Yono Abadi meninggalkan Gereja Malvern untuk bergabung dengan Presbyterian Church—sebelum mendapatkan jemaatnya sendiri di Flemington. Diwarnai perpecahan internal, Gereja Malvern tetap berjalan. Namun sebagian umat tak lagi muncul dalam upacara-upacara kebaktian. Salah satu ujung dari perpecahan ini adalah lahirnya Jemaat Berbahasa Indonesia—Camberwell Uniting Church.

Pada akhir 1996, Anglo Congregation (Kongregasi Anglo, yang dikelola orang Australia) di Malvern tutup. Maklum, tidak banyak lagi anak muda Australia yang mau ke gereja, sementara jemaat tua kian menipis. Maka Kongregasi Indonesia pun beralih rupa menjadi Indonesian Malvern Parish, satu-satunya gereja Indonesia independen di Melbourne. Toh, independensi ini tak bisa mencegah perpecahan.

Sebagian anggota Indonesian Malvern Parish keluar dan mendirikan Gereja Protestan Indonesia di Melbourne (GPIM), yang kemudian pecah lagi dan terbentuk Kongregasi Indonesia di Brunswick Uniting Church. Jemaatnya orang Batak. Kehadiran gereja-gereja ini disokong pula oleh para pendatang baru yang masih membawa gairah keagamaan yang tinggi dari Tanah Air. Apalagi, setelah krisis dan kerusuhan pada 1997-1998, orang Indonesia, terutama keturunan Cina, kian bertambah jumlahnya di bangku-bangku kebaktian.

Mereka meminta gereja mereka di Indonesia membuka pelayanan di Melbourne. Maka berdirilah Mimbar Reformed Injili Indonesia (Indonesian Evangelical Reformed Church in Melbourne) dan Gereja Bethany Indonesia Melbourne (Bethany Indonesian Charismatic Church in Melbourne). Setelah melalui perkembangan hampir dua setengah dasawarsa, gereja-gereja Indonesia di Melbourne kurang-lebih terdiri atas tiga jenis, yakni "yang berafiliasi dengan gereja lokal, gereja independen, serta cabang dari denominasi Indonesia," Apwee menjelaskan kepada TEMPO.

Kehadiran gereja Indonesia ini dipayungi oleh organisasi bernama Badan Kerja Sama Umat Kristiani Indonesia di Victoria (BKS). Setiap gereja dipersilakan berkembang di bawah naungan BKS. Pendatang dari Indonesia juga bebas memilih gereja yang dirasakan paling cocok dari segi ritual ataupun komunitas jemaat. TEMPO menyaksikan keragaman tersebut di beberapa gereja di Melbourne. Pada hari-hari besar, jemaat pun bisa memilih gereja yang akan dikunjungi. Ratusan umat Indonesia, misalnya, tengah melagukan berbagai madah pujian dalam perayaan Paskah di Brunswick Uniting Church ketika wartawan mingguan ini bergabung untuk melihat kebaktian di sana.

Nyanyian rohani anak-anak Indonesia di Australia ini seperti mengusung dengan setia sebuah kredo universal yang diajarkan setiap agama di atas jagat: di mana tanah dipijak, nama Tuhan hendaknya dipuja.


Mereka Tegak di Mana Saja

Di bawah naungan Badan Kerja Sama Umat Kristiani Indonesia di Victoria (organisasi yang mengayomi komunitas gereja Indonesia di Melbourne), sejumlah gereja dan persekutuan umat Kristiani lahir, tumbuh, mati, dan tumbuh lagi. Hingga saat ini, warga Kristiani di Melbourne tersebar dalam sekitar 18 gereja berbahasa Indonesia dan 6 persekutuan berikut ini.

  • Caufield Indonesian Uniting Church Australia (Caufield North)
  • Jemaat Berbahasa Indonesia—Camberwell Uniting Church (Camberwell)
  • Mulgrave Uniting Church—Indonesian Congregation (Mulgrave)
  • Brunswick Indonesian Uniting Church (Brunswick)
  • Indonesian Christian Fellowship—Rosanna Uniting Church (Rosanna)
  • Indonesian Link Ministry—Moonee Ponds Uniting Church (Moonee Ponds)
  • End-Time Church of Christ (Oakleigh)
  • Melbourne Praise Centre—Church of Christ (Gardiner)
  • Gereja Kristus Rahmani Indonesia—Chadstone Church of Christ (Chadstone)
  • Christ Way Indonesian Missionary Church
  • Armadale Baptist Church (Armadale)
  • Sidang Baptis Indonesia—Blackburn North Baptist Church (Blackburn North)
  • Bethany International Church—Melbourne (South Melbourne)
  • Flemington Indonesian Congregation St. Stephen Presbyterian Church (Flemington)
  • Mimbar Reformed Injili Indonesia (Carlton)
  • Indonesian Campus Ministries—St. Columb’s Anglican Church (Hawthorn)
  • Indonesia Praise Centre (Caufield North)
  • Indonesian Mission Institute (Chadstone)
  • Center For Leadership Learning
  • Philadelphia Fellowship (Frankston)
  • Pniel Fellowship (Box Hill)
  • Full Gospel Businessmen’s Fellowship International (Doncaster)
  • Keluarga Katholik Indonesia (KKI) Melbourne (Box Hill)

Ada juga gereja yang memilih berada di luar naungan Badan Kerja Sama Umat Kristiani Indonesia di Victoria, yakni:

  • Gereja Protestan Indonesia, Melbourne
  • Seraphim Choir

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus