Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bebas tak bebas sejak dulu

Pengarang: atmakusumah jakarta: lembaga studi pembangunan, 1981 resensi oleh: soebagijo i.n. (bk)

10 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBEBASAN PERS DAN ARUS INFORMASI DI INDONESIA Penulis : Atmakusumah Penerbit: Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta, 1981. SIAP kali ada rekan wartawan luar negeri menanya kepada saya, "adakah kebebasan pers di Indonesia," saya lalu menjadi kikuk. Saya terpaksa berpikir sejenak, kemudian menjawab: "Ada dan tiada". Drs Marbangoen Hardjowirogo, seorang wartawan senior, pernah menjabat kepala Lembaga Pers dan Pendapat Umum, pernah menjadi dosen Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta, jabatan terakhir pegawai sekretariat PBB di New York dengan tugas sebagai editor United Nations Yearbook on Human Rights, juga berpendapat "kebebasan pers selalu berada dalam keadaan ada dan tiada. Hubungan antara pers dan pemerintah terus berubah-ubah. Suatu ketika demikian baiknya sehingga pers bisa berkata, ada kemerdekaan pers. Lain waktu, karena memburuknya hubungan, pers akan cenderung mengatakan bahwa tak ada kebebasan pers. Tetapi, pokoknya hubungan tak pernah menghasilkan suatu kemerdekaan pers dalam arti kata yang sebenarnya". Buku kumpulan karangan Atmakusumah (pernah redaktur suratkabar Indonesia Raya) ini, mencoba secara teliti dan cermat mengamati perkembangan apa yang dinamakan kebebasan pers di Indonesia, khususnya pada masa-masa yang akhir. Dari judul bab pertama dan dari membaca kalimat pertama, segera pembaca akan diberi gambaran bahwa keadaan pers di Indonesia oleh pengarang dinilai ada dalam situasi yang kurang baik. Judul bab pertama itu ialah: 'Belum Ada Petunjuk ke Arah Suasana yang Lebih Baik'. Sedang kalimat pertamanya: "Fungsi pers masih mengalami penciutan sepanjang tahun 1980, berbarengan dengan pengetatan pengendalian oleh pemerintah terhadap kegiatan politik di tengah masyarakat". Alinea keempat bab pertama: "Keadaan ini agaknya akan terus berlangsung menjelang pemilihan umum tahun 1982 dan pemilihan presiden tahun berikutnya. Tetapi tanpa ada petunjuk-petunjuk harapan bahwa sesudah masa itu akan terjadi perubahan ke arah suasana yang lebih baik bagi kehidupan pers dan sarana informasi yang lain." Pengarang dalam prakatanya menerangkan, karangan pertama diterbitkan awal 1969, dan yang terakhir umumnya ditulis pada akhir 1980, diterbitkan awal 1981. Dari tempat-tempat dan waktu yang bertebaran itulah tulisan-tulisan ini dihimpun secara kronologis. Dalam buku ini disusun terbalik: dimulai dengan kurun waktu terakhir dan mundur ke belakang ke tahun 1969. Bahwa di bab terakhir dicantumkan peri keadaan pers di Muangthai, negara tetangga ASEAN, oleh pengarang dikemukakan alasannya: "sebagai perbandingan yang mungkin relevan dengan perkembangan pers di Indonesia". DALAM pada itu cukup menarik hasil pengamatan pengarang yang menyebutkan, "sepanjang masa 35 tahun kemerdekaan negeri ini kebebasan pers yang sesungguhnya baru ternikmati kurang lebih 15 tahun saja. Mula-mula sejak sekitar penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada akhir 1949-1957 --ketika pemberangusan terhadap pers mulai dan bertubi-tubi -- beberapa di antaranya untuk waktu yang tidak ditentukan. Kedua kalinya sekitar antara 1966 sampai 1974 -- saat selusin penerbitan pers dihentikan kelangsungan hidupnya oleh pemerintah, juga untuk waktu yang tidak dipastikan sampai sekarang" (hal. 72-73). Pengamatan tersebut agaknya perlu mendapat tanggapan. Sebab, pers Indonesia sebelum kurun itu juga pernah mengalami apa yang dinamakan kebebasan -- dalam arti, kaum wartawan boleh menulis apa yang terbersit dalam hati nuraninya. Yaitu semasa revolusi fisik dulu -- ketika Republik Indonesia beribukotakan Yogyakarta(1946-1948). Waktu itu pers masih bebas mengkritik, berbeda pendapat bahkan bertolak belakang dengan pendirian pemerintah, kendati dalam perkembangannya lalu terjadi kasus-kasus pers. Yang pertama terjadi pada mingguan (kemudian harian) Revolusioner. Soepeno, pemimpin redaksi mingguan tersebut, membuat tulisan corat-coret mengenai Bung Karno dalam salah satu kalimatnya menyebut Bung Karno 'bombastis'. Dengan itu nomor peringatan tadi tidak dibenarkan beredar. Namun perusahaan serta penulisnya tidak diapa-apakan oleh Wedono Salamoen (DPKN, Jawatan Pengawas Keselamatan Negara sejenis PID, Politieke Inlichtingen Dienst). Kasus kedua mengenai Soeara Moeda, dikelola oleh anggota Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) Cabang Solo pimpinan Soelistio (kini pengacara di Jakarta) Slamet (pimpinan harian Indonesia yang berhuruf Cina, Jakarta) dan Soekarto (MPR, Jakarta). Suratkabar/majalah tersebut oleh penguasa daerah (CPM?) dituduh proswapraja padahal waktu itu di Solo sedang hebatnya bergejolak pergolakan antiswapraja. Kasus ketiga dialami harian Suara Rakjat edisi Kediri, pimpinan A. Aziz (kini pimpinan Surabaya Post), karena memuat berita tentang ditembak matinya Muso, pemimpin pemberontak komunis. Harian itu oleh Gubernur Militer Jawa Timur dikenai pemberangusan beberapa hari. September 1948, Pemerintah RI segera pula menghentikan penerbitan tiga suratkabar Ibukota (Yogya). Masing-masing Revolusioner, Patriot pimpinan J. Simandjuntak (beralih nama menjadi Yusuf Adjitorop, kini di Peking bersama Soepeno), dan harian Soeara Iboekota pimpinan Wikana, pernah menjabat menteri negara, sekarang entah di mana. Ketiga suratkabar itu pembawa suara kaum komunis, yang bila tidak segera ditutup niscaya akan bertambah mengacaukan situasi. Kaum komunis sendiri di Madiun lalu mengkup harian Api Rakjat, yang lalu diganti namanya menjadi Front Nasional. Demikian buat sementara, catatan untuk melengkapi buku Atmakusumah khususnya yang menyangkut tindakan penguasa Republik semasa revolusi fisik. Dalam pada itu menarik pula untuk dicatat, sejak zaman penjajahan Belanda, batas-batas kebebasan pers akhirnya yang menentukan toh pihak yang sedang berkuasa. Soebagijo I.N.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus