KEBEBASAN PERS DAN ARUS INFORMASI DI INDONESIA
Penulis : Atmakusumah
Penerbit: Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta, 1981.
SIAP kali ada rekan wartawan luar negeri menanya kepada saya,
"adakah kebebasan pers di Indonesia," saya lalu menjadi kikuk.
Saya terpaksa berpikir sejenak, kemudian menjawab: "Ada dan
tiada".
Drs Marbangoen Hardjowirogo, seorang wartawan senior, pernah
menjabat kepala Lembaga Pers dan Pendapat Umum, pernah menjadi
dosen Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta, jabatan terakhir
pegawai sekretariat PBB di New York dengan tugas sebagai editor
United Nations Yearbook on Human Rights, juga berpendapat
"kebebasan pers selalu berada dalam keadaan ada dan tiada.
Hubungan antara pers dan pemerintah terus berubah-ubah. Suatu
ketika demikian baiknya sehingga pers bisa berkata, ada
kemerdekaan pers. Lain waktu, karena memburuknya hubungan, pers
akan cenderung mengatakan bahwa tak ada kebebasan pers. Tetapi,
pokoknya hubungan tak pernah menghasilkan suatu kemerdekaan
pers dalam arti kata yang sebenarnya".
Buku kumpulan karangan Atmakusumah (pernah redaktur suratkabar
Indonesia Raya) ini, mencoba secara teliti dan cermat mengamati
perkembangan apa yang dinamakan kebebasan pers di Indonesia,
khususnya pada masa-masa yang akhir. Dari judul bab pertama dan
dari membaca kalimat pertama, segera pembaca akan diberi
gambaran bahwa keadaan pers di Indonesia oleh pengarang dinilai
ada dalam situasi yang kurang baik.
Judul bab pertama itu ialah: 'Belum Ada Petunjuk ke Arah Suasana
yang Lebih Baik'. Sedang kalimat pertamanya: "Fungsi pers masih
mengalami penciutan sepanjang tahun 1980, berbarengan dengan
pengetatan pengendalian oleh pemerintah terhadap kegiatan
politik di tengah masyarakat". Alinea keempat bab pertama:
"Keadaan ini agaknya akan terus berlangsung menjelang pemilihan
umum tahun 1982 dan pemilihan presiden tahun berikutnya. Tetapi
tanpa ada petunjuk-petunjuk harapan bahwa sesudah masa itu akan
terjadi perubahan ke arah suasana yang lebih baik bagi kehidupan
pers dan sarana informasi yang lain."
Pengarang dalam prakatanya menerangkan, karangan pertama
diterbitkan awal 1969, dan yang terakhir umumnya ditulis pada
akhir 1980, diterbitkan awal 1981. Dari tempat-tempat dan waktu
yang bertebaran itulah tulisan-tulisan ini dihimpun secara
kronologis. Dalam buku ini disusun terbalik: dimulai dengan
kurun waktu terakhir dan mundur ke belakang ke tahun 1969. Bahwa
di bab terakhir dicantumkan peri keadaan pers di Muangthai,
negara tetangga ASEAN, oleh pengarang dikemukakan alasannya:
"sebagai perbandingan yang mungkin relevan dengan perkembangan
pers di Indonesia".
DALAM pada itu cukup menarik hasil pengamatan pengarang yang
menyebutkan, "sepanjang masa 35 tahun kemerdekaan negeri ini
kebebasan pers yang sesungguhnya baru ternikmati kurang lebih 15
tahun saja. Mula-mula sejak sekitar penyerahan kedaulatan dari
Belanda kepada Indonesia pada akhir 1949-1957 --ketika
pemberangusan terhadap pers mulai dan bertubi-tubi -- beberapa
di antaranya untuk waktu yang tidak ditentukan. Kedua kalinya
sekitar antara 1966 sampai 1974 -- saat selusin penerbitan pers
dihentikan kelangsungan hidupnya oleh pemerintah, juga untuk
waktu yang tidak dipastikan sampai sekarang" (hal. 72-73).
Pengamatan tersebut agaknya perlu mendapat tanggapan. Sebab,
pers Indonesia sebelum kurun itu juga pernah mengalami apa yang
dinamakan kebebasan -- dalam arti, kaum wartawan boleh menulis
apa yang terbersit dalam hati nuraninya. Yaitu semasa revolusi
fisik dulu -- ketika Republik Indonesia beribukotakan
Yogyakarta(1946-1948). Waktu itu pers masih bebas mengkritik,
berbeda pendapat bahkan bertolak belakang dengan pendirian
pemerintah, kendati dalam perkembangannya lalu terjadi
kasus-kasus pers.
Yang pertama terjadi pada mingguan (kemudian harian)
Revolusioner. Soepeno, pemimpin redaksi mingguan tersebut,
membuat tulisan corat-coret mengenai Bung Karno dalam salah
satu kalimatnya menyebut Bung Karno 'bombastis'. Dengan itu
nomor peringatan tadi tidak dibenarkan beredar. Namun perusahaan
serta penulisnya tidak diapa-apakan oleh Wedono Salamoen (DPKN,
Jawatan Pengawas Keselamatan Negara sejenis PID, Politieke
Inlichtingen Dienst).
Kasus kedua mengenai Soeara Moeda, dikelola oleh anggota Ikatan
Pelajar Indonesia (IPI) Cabang Solo pimpinan Soelistio (kini
pengacara di Jakarta) Slamet (pimpinan harian Indonesia yang
berhuruf Cina, Jakarta) dan Soekarto (MPR, Jakarta).
Suratkabar/majalah tersebut oleh penguasa daerah (CPM?) dituduh
proswapraja padahal waktu itu di Solo sedang hebatnya
bergejolak pergolakan antiswapraja.
Kasus ketiga dialami harian Suara Rakjat edisi Kediri, pimpinan
A. Aziz (kini pimpinan Surabaya Post), karena memuat berita
tentang ditembak matinya Muso, pemimpin pemberontak komunis.
Harian itu oleh Gubernur Militer Jawa Timur dikenai
pemberangusan beberapa hari.
September 1948, Pemerintah RI segera pula menghentikan
penerbitan tiga suratkabar Ibukota (Yogya). Masing-masing
Revolusioner, Patriot pimpinan J. Simandjuntak (beralih nama
menjadi Yusuf Adjitorop, kini di Peking bersama Soepeno), dan
harian Soeara Iboekota pimpinan Wikana, pernah menjabat menteri
negara, sekarang entah di mana. Ketiga suratkabar itu pembawa
suara kaum komunis, yang bila tidak segera ditutup niscaya akan
bertambah mengacaukan situasi. Kaum komunis sendiri di Madiun
lalu mengkup harian Api Rakjat, yang lalu diganti namanya
menjadi Front Nasional.
Demikian buat sementara, catatan untuk melengkapi buku
Atmakusumah khususnya yang menyangkut tindakan penguasa Republik
semasa revolusi fisik. Dalam pada itu menarik pula untuk
dicatat, sejak zaman penjajahan Belanda, batas-batas kebebasan
pers akhirnya yang menentukan toh pihak yang sedang berkuasa.
Soebagijo I.N.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini