Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berayun di Antara Rezim dan Pasar

Buku tentang kronologi regulasi film dari rezim ke rezim dan segala konsekuensinya terhadap tiga pilar ekonomi perfilman.

30 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menjegal Film Indonesia
Penulis: Eric Sasono et.al.
Penerbit: Rumah Film, Yayasan Tifa
Cetakan: Pertama, Agustus 2011
Tebal: 354 Halaman + XVI

Sinema Indonesia sejatinya adalah produk rezim. Perspektif itulah yang diusung perhimpunan Rumah Film dalam menyusun Menjegal Film Indonesia. Kajiannya bersandar pada perbandingan kebijakan film di Indonesia, dari sebelum Orde Baru sampai sekarang, yang didukung sejumlah tabel dan statistik. Hasilnya adalah sebuah kronologi tentang perubahan, baik perihal regulasi film dari rezim ke rezim maupun segala konsekuensinya terhadap tiga pilar ekonomi perfilman: produksi, distribusi, dan ekshibisi.

Bahasan dibuka dengan kasus tarif impor film pertengahan 2011. Kenapa masuknya film Harry Potter ke bioskop waktu itu menjadi penting bagi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik? Mengapa di sisi lain Menteri Keuangan Agus Martowardojo merasa perlu membenahi distribusi film terlebih dulu? Usut punya usut, riwayat perfilman nasional diwarnai oleh tarik-ulur kepentingan di kalangan pemegang kuasa. Walhasil, nasib sinema Indonesia tak ubahnya seperti pendulum: berayun ke sana-kemari, mengikuti kepentingan rezim dan pasar.

Salah satu contoh kasus yang diajukan adalah sensor. Semasa Orde Baru, sensor diperlakukan sebagai saringan ideologis. Film-film bermuatan politik tak akan selamat dari gunting Lembaga Sensor Film. Sama halnya dengan film-film bermuatan seks. Namun, di sisi lain, ada laporan jumlah penonton yang tak kunjung menggembirakan. LSF pun mengendur. Pada 1980, film Ketika Musim Semi Tiba dirilis dan mengundang kontroversi publik. Film tersebut banyak memuat adegan panas. Konsekuensinya bercabang: film tersebut laris di pasar, tapi kredibilitas LSF melemah di mata masyarakat. Kasus-kasus serupa terjadi hingga sekarang, misalnya pada Suster Keramas (2009) dan Menculik Miyabi (2010).

Eksploitasi muatan seks dalam film Indonesia hanyalah satu konsekuensi dari silang sengkarut perfilman nasional. Dalam enam bab Menjegal Film Indonesia, terjelaskan bagaimana silang sengkarut tersebut bisa tercipta. Bagusnya, bahasan buku ini fleksibel. Ia bisa bicara untuk dua pihak: pembuat film dan penonton. Bagi pembuat film, terjelaskan isu perihal kurangnya sumber pendanaan dalam negeri dan ketiadaan distributor untuk mengurangi beban kerja produser. Pembuat film tak hanya dibatasi pilihan kreatifnya, tapi juga "ditempa paksa" untuk "berjuang sendirian demi filmnya".

Dari segi penonton, terjelaskan bagaimana dominasi 21 di bidang distribusi dan ekshibisi menjadikan kantong penonton film nasional begitu sempit. Strategi pembangunan bioskop yang berbasis pada mal menjadikan kegiatan menonton sungguh tak ramah kelas. Konsumen bioskop saat ini rata-rata kelas menengah ke atas. Pertimbangkan juga 15 provinsi tak punya bioskop. Ini berarti ada jutaan rakyat yang tertutup hak dan aksesnya untuk menikmati film bioskop.

Tim penulis juga memaparkan kondisi perfilman global. Beriringan dengan dominasi Hollywood, misalnya, industri film di India dan Nigeria bisa menghidupi dirinya sendiri, dan sukses melibatkan kekayaan lokal dalam produk-produknya. Artinya, masih ada harapan untuk industri film Indonesia. Tekanannya sama, keragaman budayanya sama, yang kurang adalah inisiatif dari pemerintah. Tak hanya dalam menyusun regulasi yang realistis untuk dijalankan, tapi juga melaksanakan kebijakannya di lapangan dengan tegas.

Menjegal Film Indonesia penting karena menyatukan pelbagai wawasan mutakhir perfilman nasional. Inisiatif pendataan dan pengkajian film di Indonesia terangkum secara sistematis dalam dokumen ini, dengan penjelasan yang memadai perihal istilah-istilah yang mungkin asing bagi orang awam. Semua orang bisa membaca buku ini.

Meski begitu, buku ini menyimpan kelemahan teknis: banyak ditemukan kata (dan nama) salah ketik, tanda baca salah tempat, huruf yang seharusnya ditulis kapital (atau sebaliknya), serta kalimat yang berhenti di tanda koma. Sungguh tak nyaman. Tim Rumah Film jelas perlu mempertimbangkan untuk menerbitkan edisi revisi. Referensi sepenting Menjegal Film Indonesia tak sepantasnya disajikan dalam kemasan yang kurang apik.

Adrian Jonathan Pasaribu, penulis filmindonesia.or.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus