Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Festival Natsu Matsuri di Taman Mini menyajikan aneka permainan yang melibatkan anak-anak.
Anak-anak bisa belajar seni melipat kertas hingga kaligrafi khas Jepang.
Mengenalkan seni dan budaya Jepang di Indonesia.Â
SUASANA riuh terasa di Plaza Lokomotif, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Kamis, 4 Juli 2024. Lebih dari 50 anak ikut serta dalam kegiatan seni melipat kertas dari Jepang atau origami dan seni memotong kertas atau kirigami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sewajarnya anak-anak, meski yang bekerja kedua tangannya tetap saja mulut mereka sibuk mengobrol satu sama lain. Bahkan, ada yang bergumam sembari menyelesaikan tugas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menggunakan selembar kertas yang diberikan oleh panitia, anak-anak berbagai usia itu mulai menggunting bagian-bagiannya satu per satu. Selanjutnya, bagian kertas yang sudah dipotong kemudian dirangkai menjadi sebuah bentuk anak kucing berkelir jingga nan menggemaskan.
Reno, bocah berusia 6 tahun, tampak gembira karena ia mampu menyelesaikan tugas menggunting dan melipat kertas menjadi seekor anak kucing. Menurut Reno, tugas paling susah adalah menggunting kertas sesuai dengan petunjuk.
"Tadi sempat di-bantuin mama. Setelah itu, bisa sendiri," kata siswa taman kanak-kanak itu.
Menurut Reno, permainan kertas lipat ini sudah sering ia lakukan di sekolah. Bedanya, pola guntingan kertas tidak serumit ini. "Biasanya cuma bikin bunga atau hewan," ujar Reno ditemani ibunya, Rukaya.
Sejumlah anak ikut serta dalam kegiatan melipat kertas bersama Ichinogami di Plaza Lokomotif, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, 4 Juli 2024. TEMPO/Indra Wijaya
Jose, anggota komunitas Ichinogami, mengatakan seni melipat dan memotong kertas asal Jepang ini sangat bermanfaat untuk anak-anak, terutama yang berusia di atas 5 tahun. Kegiatan melipat dan menggunting kertas mampu mengasah motorik halus hingga menempa kreativitas anak.
Bahkan, menurut Jose, di Jepang, masyarakat usia lanjut juga gemar menekuni seni melipat dan memotong kertas. Alasannya, kegiatan ini diklaim bisa menurunkan risiko demensia alias pikun pada kaum sepuh.
Jose dan kawan-kawan juga memberikan teknik-teknik dasar dalam melipat dan memotong kertas kepada anak-anak. Menurut dia, teknik ini sangat berguna untuk mempermudah anak-anak berkarya dan membuat kerajinan.
"Seperti menggunting obyek lingkaran. Kami ajarkan bukan gunting yang bergerak, melainkan kertasnya. Ini akan membuat kemampuan menggunting makin rapi," tutur pria 27 tahun itu.
Pelatihan origami dan kirigami ini menjadi bagian dari festival musim panas khas Jepang atau Natsu Matsuri yang digelar di Taman Mini Indonesia Indah sejak 29 Juni 2024 hingga 7 Juli 2024. Sesuai dengan namanya, festival ini sekaligus bertujuan mengenalkan beragam kesenian Jepang kepada masyarakat Indonesia.
Kelar bermain kertas, anak-anak ini dikenalkan dengan permainan tradisional Jepang bernama wanage dan daruma otoshi. Sekilas permainan wanage tampak sederhana, yakni pemain harus melemparkan cincin berukuran diameter 10 sentimeter ke pucuk tiang kayu kecil setinggi 15 sentimeter. Jika tepat sasaran, ia mendapat poin tinggi.
Adapun daruma otoshi berbentuk seperti tabung yang disusun dari lima bagian. Kemudian, pemain memukul satu per satu bagian dari tabung itu tanpa membuat bangunan tersebut roboh. Permainan ini terkesan enteng, tapi tak semua anak bisa memukul satu per satu bagian tanpa merobohkan tabung.
Instruktur permainan sekaligus pegiat kebudayaan Jepang, Pepen, mengatakan aneka permainan tradisional Jepang sejatinya tak jauh berbeda dengan versi lokal. Menurut Pepen, permainan tradisional, seperti wanage dan daruma otoshi, atau permainan asli Indonesia sangat baik jika dimainkan oleh anak-anak.
Alasannya, permainan tradisional mampu mengasah kemampuan, mental, hingga komunikasi pada anak-anak. "Jauh lebih baik permainan ini ketimbang anak-anak bermain gawai," kata Pepen.
Selain permainan, Natsu Matsuri mempertontonkan pertunjukan parade Omikoshi atau semacam arak-arakan musim panas Jepang. Dalam pertunjukan ini, tampak puluhan orang bekerja sama memanggul tandu yang dihias dengan patung burung hoo atau burung mitologi Jepang dan Cina di pucuk tandu.
Pada Sabtu, 29 Juni 2024, tampak setidaknya ada tiga tandu yang diarak oleh puluhan orang. Mereka mengajak dengan aba-aba peluit dan ketukan dua bilah kayu yang nyaring bunyinya.
Selain itu, ada pelatihan seni kaligrafi Jepang yang menggunakan aksara kanji. Instrukturnya pun asli dari Jepang bernama Keigo Kashiwabara. Beruntung Keigo sudah delapan tahun tinggal di Indonesia sehingga kemampuan bahasa Indonesianya tak perlu diragukan lagi.
Instruktur kaligrafi bahasa Jepang, Keigo Kashiwabara (kiri), mengajarkan seorang anak menulis huruf kanji. TEMPO/Indra Wijaya
Sabtu sore itu, Keigo sempat mengajari seorang anak berusia 7 tahun bernama Gendis. Dalam bahasa Jawa, kata gendis berarti gula atau manis. Karena itu, Keigo menulis aksara kanji amai atau dalam bahasa Jepang berarti manis.
Secara perlahan tapi pasti Keigo menggoreskan kuas dan tinta hitam di atas secarik kertas. Aksara kanji amai sekilas mirip perpaduan huruf U dan H.
Menurut Keigo, kaligrafi Jepang biasanya menuliskan kata atau kalimat penyemangat yang punya nilai motivasi tinggi. Harapannya, kaligrafi yang dipajang di dinding rumah itu bisa menghadirkan energi positif kepada penghuninya.
Keigo, yang belajar kaligrafi Jepang selama bertahun-tahun, menyebutkan pembuatan coretan aksara kanji itu tidaklah mudah. Selain teknik goresan kuas, diperlukan ketulusan yang tinggi untuk menghasilkan karya ciamik.
"Kosongkan pikiran dan hati harus bersih," kata pria yang bekerja di salah satu bank milik negara itu.
Ia pun berharap seni kaligrafi Jepang bisa makin dikenal di Indonesia. Selain dibuat untuk diri sendiri, kaligrafi Jepang sangat cocok dijadikan hadiah kepada orang spesial. "Bisa jadi kado pernikahan, ulang tahun, atau sekadar hadiah untuk orang dekat," kata dia.
Festival Natsu Matsuri akan ditutup pada hari ini. Di hari terakhir, sejumlah kesenian Jepang masih bisa dinikmati, seperti parade Omikoshi dan kesenian genderang taiko.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo