Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bunyi Senandung pada Bulan Suci

Album rohani Islam bermunculan pada bulan suci. Ada warna R&B, hip-hop, bahkan rap, ada pula akapela yang sepi instrumen.

4 Januari 2004 | 00.00 WIB

Bunyi Senandung pada Bulan Suci
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Nada-nada itu ternyata bergerak naik-turun seperti barongsai. Untuk mencapai satu titik, penyanyi remaja itu memilih jalan panjang lagi berkelok. Karakter musiknya—tentu saja—khas kulit hitam, rhythm and blues, tapi liriknya sama sekali tidak menyinggung cinta remaja. Novi dan Atras, dua personel grup New Sakha itu, bersama Hedi Yunus dari Kahitna, melantunkan Ingatlah Allah pada bulan Ramadan ini. Musiknya menarik, tapi lirik Ingatlah Allah tidak berbeda dengan kasidah pop umum: puji-pujian kepada Sang Pencipta dan ajakan berbuat baik.

Kita tahu, dari arah pop, R&B, hip-hop, bahkan rap, meluncur beberapa rekaman kasidah pada bulan suci ini. Ada sejumlah nama sudah dikenal. Hedi Yunus, Ratna Listy, Trie Utami, Hetty Koes Endang, dan Rafika Duri, termasuk Novia Kolopaking, bergabung ramai-ramai menyanyikan Dengan Menyebut Nama Allah (Bismillah). Tapi ada juga Savana, pendatang baru yang melempar album perdana bertajuk Savana. Grup vokal beranggotakan lima pemuda ini dimotori oleh Aditya Gumay, pemimpin Sanggar Ananda yang melejit lewat karya komedi Lenong Bocah di TPI pada awal tahun 1990-an.

Aditya dan kawan-kawan tampil seperti boy band: dengan blazer dan celana pantalon. "Kami mencoba keluar dari konsep konvensional selama ini, biar masyarakat bisa mendapatkan alternatif hiburan agamis," ujar Aditya, penggagas sinetron Ooo Seram di ANTV ini. Savana lebih senang menyebut konsep musiknya sebagai pop religi Islam. Berangkat dari kegemaran Aditya pada Norah Jones, lahirlah musik Savana yang agak jazzy.

Ramadan pasar rekaman yang luar biasa. Ada sedikit jazz buat menyenandungkan lirik-lirik religius, ada sejumput rap buat menyeru kebaikan, lengkap dengan kutipan ayat Quran. Agus Idwar, mantan personel kelompok Snada, menyodorkan album Yang Satu Ini. Lagu andalannya Tak Kan Ada dikemas ala ngerap. "Yang penting harus komunikatif dan tidak terkesan menggurui. Remaja biasanya kan alergi, tuh, kalau terkesan diceramahi," kata sosok yang jadi presenter acara keagamaan di SCTV itu. Agus, 33 tahun, meninggalkan kopiah dan baju koko, lalu mengenakan jaket yang biasa jadi identitas para rapper.

Pada Ramadan ini, kasidah—silakan sebut nasyid, senandung, musik religius, dan sebagainya—memperlihatkan aneka wajahnya. Ada sisi hiburan, tapi musik tidak lebih dari instrumen, medium, buat menyampaikan sesuatu yang dianggap lebih utama. Kepada TEMPO, Che Amran, salah satu personel grup akapela asal Malaysia, Raihan, menyebut musik "elemen kedua", lirik "elemen utama."

Musik tidak berakhir pada musik. Aransemen tabuhan rebana, gesekan biola, dan nuansa musik gambus lainnya disajikan kelompok Debu, guna memperlihatkan sisi transendental manusia. Mabuk Cinta, album kelompok ini, melukiskan hubungan istimewa manusia dengan Sang Pencipta. Nomor lagu sarat dengan warna tasawuf.

Musik memang tak berakhir pada musik, tapi kelompok nasyid akapela seperti Raihan dan Snada juga hirau dengan jenis musik, si pengantar pesan itu. Sebagaimana diketahui, sisi-sisi musikal Islam tampak jelas pada beberapa ekspresi: azan yang disenandungkan para muazin, atau seni tilawah ayat-ayat Quran yang disampaikan qori atau qoriah. Musikal tapi bukan musik. Menarik pelajaran dari tradisi alam pikiran itu muncullah kelompok-kelompok nasyid yang mengutamakan suara manusia, ketimbang alat-alat musik.

Jalan inilah yang kemudian ditempuh Yusuf Islam, eks penyanyi pop Inggris keturunan Yunani yang memeluk Islam. Yusuf Islam—atau Cat Stevens sebelum jadi muslim—tidak menggunakan istrumen musik pengiring lagu-lagunya yang bermisi dakwah. Dalam keadaan tertentu ia menggunakan alat-alat musik perkusi.

Di Indonesia, ada Snada di akhir tahun 1990-an dan Raihan, grup nasyid negeri tetangga, Malaysia. Snada, singkatan dari Senandung Nasyid dan Dakwah, lahir dari satu sindikasi beberapa mahasiswa Universitas Indonesia. Mereka, Iqbal, Teddy, Lukman, Erwin, Ikhsan, dan Agus Alamsyah, tentu saja bukan orang musik pop yang terjun ke musik religius. Mereka berangkat dari pengalaman nonmusik. Mereka bagian dari sebuah kelompok pengajian yang sama. Menyanyi, bersongkok, dan berbaju koko. Musik mereka sepi dari bunyi-bunyian instrumen, kecuali perkusi. Meski begitu, nasyid Shalawat milik Snada, popularitasnya tak kalah dengan tembang Puji-pujian milik Raihan (Che Amran, Nazrey Johani, dan Abu Bakar)

Belakangan, Shalawat dikemas ulang dengan lirik berbahasa daerah, Inggris dan Cina. Snada pun makin dikenal lantaran kepopuleran tembang Jagalah Hati, yang liriknya dikarang oleh Aa Gym. Di Tanah Air, ada Snada yang seolah menjadi patron kelahiran nasyid lainnya, ada Qatrunada yang bahkan bersorban bagai para pria Arab, dan beberapa lainnya.

Grup nasyid Raihan menjadi contoh bahwa kelompok-kelompok ini punya penggemar khusus. Album perdana Puji-pujian (1997) terjual hingga 600 ribu keping. Angka yang sangat fantastis untuk ukuran pasar Malaysia yang sempit. Itu lantaran tangan dingin Farihin Abdul Fattah, yang menjadikan kemasan nasyid Raihan bisa digemari. Racikan unsur perkusi Timur Tengah, Asia, Afrika, dan Latin yang menjaga beat dendangan syiar Raihan menjadi kekuatan. Farihin adalah musisi muda yang sempat dikenal di jalur musik alternatif underground di Malaysia.

Banyak cara untuk mengucap dakwah: dari paling tradisional hingga yang paling konvensional. Tiga dasawarsa lalu, tepatnya pada akhir 1970-an, kelompok Bimbo asal Bandung melempar album Kasidah Kisah 25 Nabi. Ketimbang menggunakan rebana, kelompok ini melantunkan kasidah dengan iringan gitar akustik dan instrumen lain. Nada pilihan mereka memang sering berwarna minor, tapi permainan gitar yang menjadi tulang-punggung aransemennya lebih mendekati flamenco ketimbang gambus.

Di antara ramainya Raihan, Qatrunada, Haddad Alwi, Snada, The Fikr, MQ Voice, Debu, Savana, dan lainnya, lagu-lagu kasidah Bimbo terbukti mampu melawan gempuran sang waktu: ada Rindu Rasul dan Anak Bertanya hingga Tuhan. Kita tahu, lagu-lagu itu telah menjadi klasik.

Telni Rusmitantri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus