Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPA tak kenal Bill Kovach. Ditempa pengalaman 43 tahun sebagai wartawan dan penulis, mantan Kepala Biro New York Times di Washington itu diakui sebagai salah satu "mahaguru" dunia pers. Ia adalah mantan kurator Nieman Fellowship di Harvard University, yang memiliki program jurnalistik tertua untuk wartawan paruh karier di dunia. Berbagai penghargaan telah disabetnya. Salah satunya adalah Pulitzer, penghargaan paling bergengsi bagi wartawan.
Di tahun 2001, Kovach menulis buku The Elements of Journalism dan memperkenalkan "sembilan elemen jurnalisme" yang mendunia. Dalam rangka peluncuran bukunya yang diterbitkan Pantau dalam bahasa Indonesia, Kovach berkeliling Jakarta, Surabaya, Medan, Yogyakarta, dan Bali. Berikut petikan perbincangan dengan kakek enam cucu itu saat ia bertandang ke kantor redaksi TEMPO, Kamis pekan lalu.
Wartawan kerap menemui dilema, misalnya saat memberitakan konflik pengurus di sebuah lembaga hukum yang keberadaannya diperlukan rakyat banyak. Bagaimana sikap Anda?
Menurut pengalaman saya, kewajiban menyampaikan kebenaran kepada publik adalah hal terpenting. Saya pernah menulis skandal pemilu yang melibatkan kawan baik saya—teman sepermainan football semasa SMA. Tulisan itu muncul di halaman depan, dan menyebabkan sahabat saya diadili. Pengadilan lalu memberi dia pilihan: dipenjara, atau bergabung kembali dengan dinas militer. Ia memilih yang kedua, lalu dikirim ke Vietnam dan terbunuh. Jadi, jika dirunut, tulisan saya mengakibatkan kematian dia. Tapi, itu akan terus saya lakukan karena itulah tugas saya sebagai wartawan.
Tak jarang wartawan menerima informasi penting dari narasumber yang bukan "orang baik".
Buat saya, yang terpenting bukanlah siapa sumbernya, melainkan seberapa solid informasi yang ia berikan.
Sejumlah media menugasi reporternya menyusup ke sebuah kelompok, lalu menuliskannya setelah dikonfirmasi. Itu bisa dibenarkan?
Yang terpenting, laporan itu lalu Anda konfirmasi kembali. Kami pernah mengirim reporter untuk bergabung dengan Ku Klux Klan. Untungnya, mereka tak bertanya apakah dia reporter atau bukan. Tidak ada formulir resmi yang harus diisi mengenai pekerjaannya. Reporter itu bilang dia ingin bergabung—maka, bergabunglah dia. Jadi, tidak ada masalah.
Dilema lain saat meliput konflik sosial yang brutal. Apakah sebaiknya pers tak memaparkannya dengan gamblang agar tak menyulut konflik lebih besar?
Bagi saya, kalaupun cerita itu tak diungkap, publik akan tahu juga nantinya. Malah mereka akan mendapat gambaran yang lebih mengenaskan dari yang Anda publikasi. Anda harus menampilkan keseimbangan fakta daripada mengandalkan rumor. Rumor akan cepat menyebar, dan orang akan menafsirkannya dengan perspektif masing-masing.
Jadi?
Wartawan harus menceritakan hal-hal yang belum dilaporkan. Kisah yang disembunyikan akan lebih merusak. Beberapa tahun silam, sejumlah jurnalis muda di Rwanda (negara di Afrika yang dilanda perang etnis)—mereka berasal dari suku Hutu dan Tutsi—mendirikan stasiun radio Jambo untuk mengimbangi propaganda pemerintah. Tujuannya: memberi gambaran kepada kedua suku yang bertikai, apa yang sebenarnya terjadi. Mereka bekerja tak kenal lelah selama 24 jam, demi mencegah desas-desus menyebar lebih luas. Apa yang mereka lakukan, menurut saya, adalah pekerjaan jurnalistik yang paling berani.
Di buku Anda dikatakan sumber anonim hanya bisa dipakai jika setidaknya ada dua orang. Penjelasannya?
Menggunakan sumber anonim tunggal sangat berbahaya, karena Anda menggantungkan nasib Anda di satu tangan. Anda tak bisa memverifikasi apa yang dikatakan sumber itu. Soal ini memang mengundang perdebatan hangat. Misalnya pada kasus Lewinsky-Clinton. Kami menganalisis setiap cerita yang ditulis surat kabar dan televisi. Hasilnya, di bulan pertama, 60 persen yang dikemukakan bukanlah fakta, melainkan cuma opini dan spekulasi. Ternyata, 40 persen dari 60 persen itu berasal dari sumber anonim tunggal.
Bukankah "Deep Throat" dalam liputan Watergate merupakan sumber anonim tunggal?
Ada yang bilang begitu. Tapi ada yang berpendapat itu sebenarnya terdiri dari banyak sumber. Istilah "Deep Throat" mungkin digunakan agar memudahkan penulisan bukunya. Masalahnya, bagaimana jika ternyata informasi dari sumber tunggal itu salah? Kita membutuhkan lebih dari satu sumber anonim, dan mereka harus orang yang diketahui riwayatnya. New York Times punya ketentuan: reporter yang boleh menggunakan sumber anonim tunggal hanyalah mereka yang meliput lembaga yudisial, diplomasi, atau pemerintahan, yang secara hukum terikat untuk tak membocorkan informasi apa pun. Tapi mereka baru bisa menggunakannya setelah disetujui editor. Anda juga harus menjelaskan kepada sumber bahwa Anda akan mengaburkan identitasnya, tapi perlu menggambarkan profilnya, supaya bias yang mungkin timbul dari pernyataannya bisa dipahami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo