Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Cerpen Kiki Sulistyo yang berkisah tentang museum pribadi.
Museum itu berpusat pada seorang tokoh yang dianggap banyak uang.
Ada keanehan yang menyelimuti museum tersebut.
AKU tidak menduga bahwa Benny bekerja di sebuah museum. Meskipun aku tahu ia bekerja sebagai petugas keamanan, kupikir ia bertugas di bank atau rumah sakit. Benny mengerti bahwa aku akan segera menganggur setelah usaha kafe yang kudirikan tak bisa bertahan. Tabunganku habis. Aku bahkan masih punya utang ke beberapa orang, termasuk Benny.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kau tidak pandai berbisnis. Lebih baik kau jadi petugas yang digaji, dan sebaik-baik petugas yang digaji adalah petugas keamanan,” kata Benny.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia juga bilang bahwa bosnya meminta ia mencari seseorang untuk menambah jumlah petugas keamanan. Pada awalnya, karena mengira Benny bertugas di bank atau rumah sakit, aku tertarik pada tawarannya. Namun, setelah aku mengetahui bahwa ia bekerja di museum, ketertarikanku memudar. Menjadi petugas keamanan di museum pasti sangat membosankan.
Namun, Benny buru-buru membenahi pikiranku dengan memberi tahu bahwa museum yang dimaksudkannya bukan museum negeri. Museum yang dimaksudkannya adalah museum pribadi. Keterangan itu menarik buatku, karena sesungguhnya aku masih punya niat untuk mencoba melanjutkan usaha kafe. Seseorang yang punya museum pribadi pastilah seseorang yang punya banyak uang. Mungkin aku bisa membujuknya untuk bekerja sama.
“Aku tidak mau memberitahumu sekarang siapa pemilik museum itu. Besok kita akan menemuinya bila kau bersedia,” ucap Benny.
Sebetulnya aku tidak begitu mengenal Benny. Ia cuma seorang pelanggan yang nyaris selalu hadir setiap kali di kafe diselenggarakan acara-acara diskusi. Sebagai bagian dari strategi bisnis, aku memang membuka ruang bagi para aktivis atau anak-anak komunitas untuk memakai kafe yang kukelola sebagai tempat menggelar acara. Mereka senang, aku juga senang.
Benny kerap mengajakku bercakap-cakap soal acara yang berlangsung. Aku pernah menduga ia seorang intel. Beberapa ketua panitia acara juga pernah bertanya kepadaku perihal Benny. Namun, setelah tahu bahwa Benny bekerja sebagai petugas keamanan, aku merasa agak tenang.
Sebetulnya usaha kafe yang kukelola berjalan baik, tapi entah kenapa pemilik bangunan yang kusewa tiba-tiba menaikkan harga berkali lipat untuk tahun kedua. Aku tidak sanggup. Karena itu, tawaran Benny akhirnya kuterima. Lagi pula, tawaran itu terdengar seperti kompensasi pelunasan utangku kepadanya.
Ketika bertemu pemilik museum itu, aku terkejut. Kupikir ia seorang laki-laki, ternyata ia seorang anak perempuan yang kira-kira berusia 10 tahun. Penampilannya rapi, sikapnya tenang, dan kata-katanya demikian lembut.
Aku, Benny, dan pemilik museum itu bertemu di depan kantor cabang sebuah partai politik. Pemilik museum tidak mengajak kami masuk ke kantor itu, meski dapat kulihat ia keluar dari sana. Dalam penglihatanku, kantor itu memancarkan aura yang sedikit gaib, dan aura yang sedikit gaib itu menimbulkan perasaan benci, tapi juga hormat.
Kami duduk di bangku panjang yang rindang karena diletakkan di bawah pohon beringin. Pemilik museum itu duduk di tengah-tengah; aku dan Benny mengapitnya.
Wawancara berlangsung lancar dan tanpa banyak pertanyaan, aku langsung diterima. Aku bahkan tidak perlu menyerahkan sertifikat khusus yang biasanya mesti dimiliki oleh seorang calon petugas keamanan. Ia tidak peduli pada kenyataan bahwa aku sudah berusia 32 tahun. Rasanya betul-betul ganjil melakukan wawancara pekerjaan dengan seorang anak kecil.
Ketika aku bertanya di mana letak museum pribadinya, ia memberiku sebuah alamat. “Kebetulan kami akan mengadakan gala yang lumayan besar. Kami sudah lama menyiapkannya. Acaranya tanggal 8 Juni, berarti kira-kira seminggu setelah kamu masuk,” ujarnya. Ia juga menambahkan niatnya untuk membuat museum itu jadi lebih terbuka, maka dari itu ia membutuhkan tambahan petugas keamanan.
Keesokan paginya, setelah berputar-putar beberapa kali, akhirnya aku menemukan museum pribadi itu. Bangunannya rendah, tampak seperti rumah biasa, meskipun terbilang luas untuk sebuah rumah. Aku langsung mencari orang yang kepadanya aku bisa meminta izin. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana, kecuali seorang tukang kebun yang tadi membukakan pintu gerbang. Maka kepada tukang kebun itulah aku bertanya: “Saya petugas keamanan baru di sini. Adakah seseorang yang bisa saya temui?”
Tukang kebun itu sudah tidak muda, kerutan di wajahnya seperti sisa hujan di tembok tua. Meski begitu, kulit mukanya bersinar-sinar. Ia mengenakan topi dinas berwarna hijau, kaus berwarna kuning, serta celana kain merah. Secara keseluruhan, sosoknya mirip figur dalam lukisan pop art. Ia berkata: “Nona Imelda sudah memberi tahu saya. Silakan. Apakah anak mau berkeliling?”
Ia memanggilku “anak”. Suaranya halus dan nadanya sopan, mirip suara Nona Imelda yang kutemui kemarin. Aku mengangguk, lantas ia mengajakku masuk ke museum seraya memperkenalkan diri. Namanya Moko, dan tampaknya ia bukan sekadar tukang kebun. Ia hafal benar informasi perihal semua benda yang dipamerkan di museum tersebut. Setiap kami berpindah dari satu benda ke benda lain, kehadiran Moko seperti memberi penerangan, sehingga benda-benda yang sebelumnya terasa dibungkus kegelapan pelan-pelan menampakkan diri dengan jelas di bawah cahaya yang terang benderang.
Harus kuakui, sebetulnya, benda-benda dalam museum itu tidak membangkitkan perasaan apa pun dalam diriku. Semua keterangan yang disampaikan Moko tak kumengerti sama sekali. Sedikit banyak aku tahu sejarah, dan apa yang diceritakan Moko tidak merujuk ke sejarah mana pun. Sekali-dua aku menjeda kata-kata Moko dan bertanya perihal keterangannya.
Moko kelihatan biasa-biasa saja menerima kenyataan bahwa aku tidak mengetahui potongan-potongan sejarah yang diceritakannya, ia cuma berkata: “Rupanya anak adalah orang yang disiplin, sangat cocok menjadi petugas keamanan.” Ia terus mengantarku ke tiap-tiap benda yang dipamerkan; tongkat, kacamata, cerutu, surat-surat, baju seragam, penutup kepala, sampai buku, dan foto-foto.
Aku sadar bahwa posisiku adalah petugas keamanan, jadi rasanya tidak begitu pantas kalau aku banyak bertanya seakan-akan aku adalah seorang pengunjung. Toh, tugasku nanti adalah menjaga keamanan, bukan mengantar pengunjung.
Namun, aku bisa menyimpulkan bahwa museum itu sebenarnya berpusat pada seorang tokoh. Meski Moko tidak mengatakan dengan jelas siapa tokoh tersebut, tapi aku yakin ia adalah keluarga Nona Imelda.
Setelah jam makan siang, beberapa pengunjung datang. Aku tidak melihat ada petugas yang mendampingi mereka melihat benda-benda dalam museum. Moko sudah selesai membersihkan taman. Aku tidak tahu apakah ia sudah pulang atau bagaimana.
Iseng-iseng aku memperhatikan para pengunjung. Biasanya mereka berada di dalam ruangan sekitar lima menit. Entah bagaimana mereka menikmati benda-benda dalam museum dalam waktu sesingkat itu. Namun, ketika mereka keluar dari gedung, tampak olehku mereka jadi lebih ceria dan bersemangat. Beberapa di antara mereka bahkan jadi kelihatan lebih muda ketimbang saat mereka masuk. Tak ada satu pun di antara mereka yang bertanya kepadaku mengenai apa pun.
Selama hampir seminggu bekerja, aku tak pernah bertemu Benny. Barangkali karena jam kerja kami berbeda. Aku berusaha menghubunginya untuk bilang ini-itu, tapi Benny tak pernah membalas.
Pada 8 Juni aku diminta datang sore hari, sebab gala besar yang disebut-sebut Nona Imelda itu akan berlangsung pada malam harinya. Aku datang di antara pukul 4 dan 5. Di sekitar museum belum ada siapa-siapa. Aku juga tidak melihat Benny. Aku mulai dirasuki perasaan cemas, apakah Benny sudah berhenti bekerja di sini?
Ketika para undangan mulai tiba, aku melihat arloji: jarum menunjuk pukul 06:05. Sebetulnya persiapan gala besar itu biasa-biasa saja, malah tampak seperti tanpa persiapan. Tidak ada kursi dan meja yang biasanya disiapkan untuk para tamu. Tidak ada ruangan yang diubah, atau dihias dengan dekorasi tertentu.
Pada saat aku diantar melihat-lihat oleh Moko tempo hari, aku sempat memperhatikan ada sebuah kamar kosong yang terletak di bagian paling belakang. Aku tahu kamar itu kosong karena saat itu pintunya terbuka. Aku terpaku di depan kamar itu, sebab dari sana tercium bau wangi, seperti wangi cendana. Moko buru-buru menarikku, dan buru-buru pula menutup pintu kamar itu, seakan-akan tindakanku adalah tindakan berbahaya atau melanggar suatu aturan.
Aku teringat pada kamar itu saat memperhatikan para undangan yang mulai masuk dan menunggu di luar bangunan museum. Karena tidak ada kursi yang disediakan, mereka semua berdiri. Entah bagaimana, dalam penglihatanku mereka tampak seperti kamar kosong yang berderet-deret. Mereka tidak berbicara satu sama lain.
Saat sebuah mobil hitam masuk ke halaman museum, disusul sebuah mobil lain, para undangan serentak menunduk. Rupanya Nona Imelda sudah tiba, berarti acara akan segera dimulai. Kembali kulihat arloji: jarum menunjuk pukul 09:08. Sejenak aku merasa ada yang berbeda dari arlojiku, seperti bukan arloji yang tadi kupakai, bentuk jarum dan angkanya sedikit berubah, seakan mengalami reformasi.
Dari dalam mobil yang kedua tadi, empat orang keluar lalu bergerak ke bagian belakang mobil. Sebuah peti dikeluarkan dari dalam mobil itu. Keempat orang tadi mengusung peti dan berjalan mendekati bangunan museum. Nona Imelda mengikuti di samping mereka. Suasana seperti dalam upacara pemakaman.
Peti diusung masuk, para undangan ikut masuk, mereka melangkah pelan-pelan tanpa menimbulkan suara. Sebagai petugas keamanan, aku tetap berdiri di luar bangunan, tapi setelah semua undangan masuk, Nona Imelda keluar menemuiku dan memintaku ikut masuk. Ia berbisik: “Mulai sekarang, kamu menggantikan Benny.”
“Maksud Nona, Benny diberhentikan?”
“Bukan diberhentikan. Aku memintanya mengurus kafe yang sebelumnya kamu kelola.”
Aku terperanjat. Apakah pemilik bangunan yang kusewa adalah Nona Imelda? Aku hendak bertanya lebih lanjut, tapi Nona Imelda sudah masuk. Aku mengikutinya. Peti tadi ternyata dibawa ke dalam kamar kosong di bagian belakang itu. Harum cendana menyala di penciumanku. Sebuah kursi tinggi berukir telah diletakkan di tengah-tengah kamar.
Lantas, Nona Imelda mulai membuka peti dan mengeluarkan isinya. Tampak olehku apa yang pertama dikeluarkannya adalah tulang kaki. Ia mencium-cium tulang itu tanpa rasa jijik. Selanjutnya menyusul dikeluarkannya tulang-tulang lainnya. Nona Imelda kelihatan seperti anak perempuan yang sedang bermain-main. Seluruh tulang belulang itu disusunnya pelan-pelan sampai membentuk rangka utuh seorang manusia.
Begitu penyusunan selesai, Nona Imelda berdiri dan memberi hormat dengan meletakkan tangan kanannya di pelipis. Semua undangan juga melakukan hal yang sama. Sementara, tulang belulang itu duduk tegak di kursi tinggi berukir.
Aku tidak tahu apakah aku juga harus memberi hormat. Ketika memikirkan hal itu, aku melihat Moko masuk membawa satu setel pakaian dan melangkah mendekati tulang belulang. Kali ini Moko tak lagi mengenakan pakaian yang sama, pakaiannya sekarang lebih berwarna-warni, seakan-akan ia telah berubah menjadi lebih demokratis. Moko tak lagi tampak seperti figur dalam lukisan pop art, melainkan figur dalam desain grafis pop art.
Setelah memberi hormat yang sama, ia mengenakan pakaian ke tulang belulang itu. Mula-mula celana, lalu sepatu lars, lalu baju, dan terakhir sebuah topi diletakkan dengan hati-hati dan penuh khidmat di bagian tengkorak. Pakaian itu berhias berbagai bintang jasa yang melekat di dada dan bagian lengan; juga di bagian depan topi.
Aku menatap tulang belulang itu. Ia seperti tersenyum kepadaku. Senyum itu pernah kulihat, entah kapan. Senyum yang menimbulkan perasaan benci, tapi juga hormat. Kini, dengan pakaian yang dikenakannya, tulang belulang itu tampak seperti seorang jenderal besar yang ingin kembali berkuasa.
Karena kikuk, aku melihat arloji. Betapa mengherankan, arlojiku kini telah benar-benar berubah menjadi arloji digital. Kulihat dengan saksama, angka-angka di arloji menunjuk pukul 20:24. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo