Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kisah tentang perjalanan dua pria mencari pohon keramat di Bukit Kahyangan.
Ada yang pernah mencoba mencari pohon itu tapi tak menemukannya.
Pohon keramat berusia ratusan tahun itu menyimpan suatu rahasia.
DARI warung kopi Mak Yah terdengar percakapan lirih dua lelaki setengah baya. Suro Kolong dan Panji Rangsang duduk bersebelahan, memesan kopi hitam kental. Menyesap nikmat kopi pelan-pelan dari lapik. Mereka meninggalkan warung kopi, menempuh perjalanan mendaki Bukit Kahyangan, mencari sebuah pohon berumur ratusan tahun. Langkah mereka menjauh dari pelataran warung kopi yang senyap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masih terlalu pagi Mak Yah membuka warung kopi. Janda setengah baya itu kembali menggendong bayi lelaki yang ditemukan di bawah pohon trembesi, malam hari, tak jauh dari warung kopi. Ia memandangi punggung Suro Kolong dan Panji Rangsang yang berjalan beriringan. Keduanya mengisap rokok, menyusuri jalan setapak terjal. Suro Kolong tampak tenang, melangkah dengan tatapan lurus pada jalan setapak. Di belakangnya, Panji Rangsang menebarkan pandangan ke segala arah: rumah-rumah, surau, ladang kol, cabai, jagung, dan kebun teh di lereng bukit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah joglo Eyang Damar Sasongko masih jauh. Terhampar sebuah lembah menjelang puncak Bukit Kahyangan. Di lembah ini Eyang Damar Sasongko tinggal berdua dengan istrinya. Pohon kahyangan yang akan dikunjungi Suro Kolong dan Panji Rangsang tak jauh dari rumah joglo Eyang Damar Sasongko. Ia perlu istirahat di rumah joglo lelaki tua itu.
“Tidak usah terburu-buru, kita nikmati perjalanan ini,” kata Suro Kolong.
“Saya yakin, pohon kahyangan belum tentu kita temukan. Pohon itu sering kali hilang dari pandangan orang!” kata Panji Rangsang.
Mereka beriringan meniti jalan setapak ke lereng bukit. Masih pagi, sesekali mereka berpapasan dengan petani yang mencari rumput dan memanggul cangkul ke ladang.
***
HANGAT matahari mengambang di pelataran rumah joglo Eyang Damar Sasongko ketika Suro Kolong dan Panji Rangsang memasukinya. Dua tamu itu disambut Eyang Damar Sasongko dan istrinya. Mereka duduk di hamparan tikar pandan pendapa. Merasakan angin berkabut dari puncak Bukit Kahyangan. Beberapa kali mereka bertemu Eyang Damar Sasongko. Suro Kolong sempat berguru pada lelaki tua berambut panjang memutih itu.
Suro Kolong masih ingat percakapannya dengan Mak Yah, sebelum mendaki Bukit Kahyangan, sambil meneguk kopi.
“Kamu mau melacak pohon kahyangan? Saya pernah mencari pohon kahyangan dan tak menemukannya. Ajaib, pohon keramat itu seperti menghilang,” kata Mak Yah.
“Ingin saya cari pohon kahyangan sampai ketemu!” Suro Kolong percaya diri.
“Semoga kau bisa mencapai pohon kahyangan itu,” kata Mak Yah, sambil menimang-nimang bayi lelaki kesayangannya.
***
DUA mangkuk teh hijau dihidangkan istri Eyang Damar Sasongko. Jiwa Suro Kolong tenang setelah meminum semangkuk teh. Lenyap rasa lelah mendaki Bukit Kahyangan. Semangkuk teh yang diminum Panji Rangsang menyebabkannya memejamkan mata. Punggungnya disandarkan pada tiang kayu jati. Matanya terpejam. Ia terlelap. Dengkurnya terdengar halus.
“Saya akan melanjutkan perjalanan ke puncak bukit seorang diri,” kata Suro Kolong.
“Panji Rangsang akan kautinggal?”
“Ia tampak lebih nyaman tertidur di pendapa. Mohon Eyang menunjukkan arah agar saya mencapai pohon kahyangan.”
“Ikuti jalan mendaki di depan pelataran rumahku,” kata Eyang Damar Sasongko. “Berjalanlah lurus. Tak jauh dari sini akan kaudapati pohon joho berumur ratusan tahun. Daun-daunnya rimbun. Orang menyebutnya pohon kahyangan.”
“Apakah nama-nama leluhur saya terpahat di batang pohon kahyangan itu?” tanya Suro Kolong.
“Tentu. Leluhurmu dimuliakan orang sebagai tokoh di wilayah ini. Kau jangan terkejut bila menemukan pohon itu. Akan kaulihat juga pahatan nama musuh-musuh leluhurmu di sana. Mereka begal dan perampok.”
“Ayah tak pernah ceritakan hal ini.”
“Itu karena ayahmu tak ingin perseteruan terus berlanjut…”
Sepasang mata Eyang Damar Sasongko yang tajam itu meredup. Memandangi Suro Kolong sambil mengisap cangklong.
Suro Kolong mengangguk-angguk, seperti menemukan kembali suasana hati yang lama diidam-idamkannya. Pagi itu ia merasa tenteram. Ia menempuh perjalanan seorang diri mendaki Bukit Kahyangan. Hamparan perdu terasa sunyi. Ia mencapai pohon kahyangan yang berumur ratusan tahun. Batangnya kokoh, besar, menjulang, rimbun, dan teduh. Semak belukar tumbuh di antara akar yang menyembul di atas permukaan tanah.
Suro Kolong mengelilingi pohon kahyangan dan melihat pahatan nama-nama leluhurnya: Suro Yuda, Suro Anuraga, Suro Bilawa, Suro Geni, dan Suro Bargawa. Ia berjongkok di depan pahatan nama-nama musuh leluhurnya: Panji Kurewa, Panji Durjana, Panji Asmara, Panji Bismaka, dan Panji Pragola.
Sebuah belati berkarat tergeletak di dekat akar pohon kahyangan yang melata. Suro Kolong memungut belati itu, memahat namanya. Ia tak dapat mengendalikan tangannya untuk terus memahat batang pohon. Ia tak menduga bila yang terpahat di sisi namanya itu: Panji Rangsang, teman seperjalanan.
***
WAJAH Suro Kolong tampak teduh saat berjalan di sisi Panji Rangsang, tanpa percakapan. Mereka menuruni jalan setapak berumput. Meninggalkan rumah joglo Eyang Damar Sasongko.
Panji Rangsang tak pernah bertanya pada Suro Kolong, apakah ia menemukan pohon kahyangan. Hingga perjalanan mencapai ujung dusun, Suro Kolong berdiam diri, tak memperbincangkan pohon kahyangan dan pahatan nama leluhur mereka yang bermusuhan turun-temurun.
Melintasi pelataran warung kopi Mak Yah, Panji Rangsang meneruskan perjalanan pulang. Suro Kolong berdiam diri. Sekitar warung itu riuh. Orang-orang berdatangan di bawah pohon jambu air. Tak biasanya orang-orang berdatangan ke warung kopi.
Warung kopi Mak Yah dikunjungi perempuan-perempuan. Mereka memperbincangkan bayi laki-laki yang ditemukan Mak Yah. Istri Panji Rangsang, Salindri, murka terhadap Mak Yah. Orang-orang melerai pertengkaran dua perempuan itu. Suro Kolong menyempatkan diri singgah ke warung kopi, melihat wajah Salindri yang tampak beringas.
“Kau mesti memberikan bayi itu padaku! Dia anak Panji Rangsang dengan seorang penyanyi, dan dibuang di bawah pohon trembesi dekat warungmu!” kata Salindri, penuh rasa dengki. Dia merenggut paksa bayi itu dari gendongan Mak Yah.
Di pelataran warung kopi, Suro Kolong mendengar perempuan-perempuan yang mengadu padanya dengan cemas, “Kenapa bayi laki-laki itu mau diminta Salindri?”
“Dia mandul, dan ingin membesarkan keturunan dari darah suaminya!” kata perempuan lain.
Sepasang mata Suro Kolong menajam, memandangi perempuan-perempuan desa yang berwajah sinis.
“Kelak bayi itu akan jadi begal seperti leluhurnya!”
Suro Kolong termangu di depan warung Mak Yah sambil mengenang pahatan nama-nama leluhur Panji Rangsang di batang pohon kahyangan. Apakah pahatan nama-nama itu akan terus bertambah dengan bayi lelaki Panji Rangsang, yang semula sudah dibuang, dan diasuh Mak Yah?
“Lalu, kalau kelak bayi itu menjadi penjahat, siapa yang akan menghadapinya?”
“Kita hadapi bersama kejahatan yang akan dilakukan anak Panji Rangsang,” kata Suro Kolong, sambil melangkah pelan, meninggalkan pelataran warung kopi. Dalam hati ia mulai menimbang-nimbang: kenapa orang-orang begitu cemas bila bayi lelaki itu dirawat Salindri? Apakah kelak bayi lelaki itu juga akan menjadi perampok atau penjudi seperti leluhurnya?
Pandana Mereka, Januari 2025
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo