Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dari Santo Sebastian Sampai 'Pieta'

Agung Kurniawan memamerkan gambar-gambar bolpen bertajuk Sex, Lies and Drawing di Festival Q. Idiom-idiomnya mengejutkan. Membaurkan erotika dan simbol agama.

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Judulnya: Percobaan Santo Sebastian. Seorang lelaki tua berambut pendek duduk muram di kursi, telanjang bulat. Tubuhnya gombyor, perutnya bergelambir. Ia menatap wajahnya sendiri di cermin yang dipegang pada tangan kiri, sementara tangan kanannya mengapit sebuah kitab. Panah tertancap di sekujur tubuhnya. "Santo Sebastian sering dianggap sebagai santo pelindung kaum homo," kata Agung Kurniawan.

Dalam sejarah, Santo Sebastian dikenal sebagai putra bangsawan Roma yang kemudian menjadi komandan legiun Romawi. Ia diperkirakan hidup sekitar tahun 283. Di zamannya, penganut Katolik mengalami persekusi. Ketika penguasa Diolectian memburu dan menangkapi umat Katolik, Sebastian membela mereka secara terbuka. Sebagai junjungan tertinggi, Diolectian meminta perwiranya itu agar mengubah imannya. Tapi Sebastian menolak. Akibatnya, ia diikat di pohon dan dihujani panah oleh para prajurit Mauretanian. Sosoknya dalam ikonografi digambarkan atletis, karena ia adalah patron seluruh serdadu.

Sejarawan tak bisa menentukan sejak kapan tiba-tiba ia dianggap sebagai pelindung kaum gay. "Di setiap festival seni gay, saya selalu melihat ikon Santo Sebastian," kata Agung. Santo Sebastian hanya salah satu simbolisme Katolik yang dimunculkan lelaki kelahiran Jember 1968 ini. Lihatlah Pieta after Hair Cut. Dalam tradisi Katolik, patung pieta menunjuk ekspresi Maria yang tengah memangku Kristus yang sekarat. Bunda agung ini dalam duka luar biasa. Matanya sembap.

Dalam gambar Agung, kesedihan itu mendapat tafsir lain. Seorang perempuan gundul, dengan lingkaran di atas kepala bak malaikat, ditampilkan memangku seorang perempuan gundul lain yang hanya bercelana dalam. Matanya tak bercahaya, seolah menanggung keperihan. Ada baskom berisi darah. "Saya teringat di Jawa, kalau ada wanita di desa tepergok zina, ditangkap ramai-ramai lalu digunduli," ucap Agung. Getir.

Pada karyanya yang lain, ada patung Bunda Maria tergolek miring di ranjang. Seorang lelaki terlihat naik ke badannya, entah seolah memompa agar jantung berdenyut dan bernapas lagi atau apa. Di sampingnya, seorang lelaki berkacamata yang wajahnya seperti Agung Kurniawan membawa selimut, seolah mau menutupi tubuh Maria. Ia memberi judul: Bunda Maria, Pertolongan Pertama pada Kecelakaan.

Agung hanya menggunakan bolpen dan kertas. Ia mengembangkan automatic drawing—di hadapan kertas kosong dan tanpa konsep sebelumnya, ia menggali kolase-kolase ingatan dalam dirinya. Dan yang muncul liar adalah simbol-simbol agama, fabel, dan berbagai dongeng yang dikenalnya semenjak kecil dengan tafsir erotik. Terkadang Agung heran atas keberaniannya memunculkan hal yang subversif terhadap keyakinannya sendiri.

Lelaki jebolan antropologi Gadjah Mada dan seni murni ISI (keduanya tak lulus) ini berangkat dari keluarga Katolik yang sangat taat. Ia tumbuh dengan berbagai patung Maria di rumah ibunya. Lazimnya, saat ia melukis, ibunya melihatnya. Namun, untuk karya seri Sex, Lies... ini, Agung tak berani memperlihatkan. "Ibu saya bisa kaget," katanya. Itulah sebabnya mengapa ukuran gambarnya kecil-kecil.

Suatu kali Max Scheler, filsuf dari Jerman, pernah mengatakan, tidak ada periode lain dalam pengetahuan manusiawi ketika manusia semakin problematis bagi dirinya sendiri seperti pada zaman kita ini. Kita, menurut Scheler, tidak memiliki gambaran yang jelas dan konsisten tentang manusia. Semakin banyaknya penemuan tidak semakin menjernihkan konsepsi kita tentang manusia. Gambar-gambar Agung ini seolah mengingatkan kita akan pendapat Max Scheler ini bahwa erotisme begitu kompleks, luas dimensinya, dan setiap meledak keliarannya—dari lapisan gelap bawah sadar manusia—terbata-bata orang dan mereka ulang gambaran tentang manusia.

Agama dan kekuasaan politik, menurut Agung, berperan menjinakkan keinginan manusia untuk mengetahui hal-hal terdalam dari erotisme. "Apalagi dalam kebudayaan Jawa," kata Agung. Dalam Perjalanan Gulliver, yang diambil dari dongeng tentang perjalanan Gulliver ke negeri liliput, Agung menggambarkan seorang laki-laki telanjang bulat di pegunungan sambil mengatupkan buku di dada. Tubuhnya diikat dari berbagai penjuru. Beberapa liliput memanjat tubuhnya. Penisnya yang tegang diikat dan ditarik. "Ini simbol bagaimana orang selalu dipaksa mengendalikan kelamin," kata Agung

Agung mengaku sering mengembangkan imajinasinya dari kisah pengalaman seksual temannya yang "aneh-aneh". Misalnya: My Friend K, yang menampilkan seorang laki-laki kerempeng duduk tanpa sehelai benang pun melekat di tubuh. Mulutnya terbebat tali. Ia menggu-yurkan air dari gelas ke seluruh kemaluannya yang tegang berdiri. Gambar ini, seperti diakui Agung, menyembur begitu saja setelah ia mendengar seorang teman santrinya memiliki kebiasaan, bila ereksi, dia akan menyiram penisnya dengan air hangat, agar "padam" hasratnya.

Fantasi Agung juga merambah ke arah wilayah agak "bestiality", aktivitas seks yang melibatkan hewan. Tataplah Read the Instruction Before You Made It. Ada sosok memakai topeng serigala, menindih seorang lelaki di ranjang. Juga yang menjadi sampul muka Layar edisi ini, berjudul My Friend T. Seorang lelaki duduk di kursi, bugil, berjam tangan. Lidahnya menjulur, dan lidah itu ditindik tali yang diulur untuk tali leher anjing putih di pahanya (dipangku pas di atas penis). Sementara di bawah meja ada seorang laki-laki mengendap membawa pisau.

Beberapa gay merasakan ada desir homo erotic dalam karya-karya Agung. Mungkin karena semua subyek Agung adalah lelaki. Itulah mungkin sebabnya Lick Me Please, yang bergambar seorang laki-laki berwajah Lenin sembari membawa kitab hendak menjilat kemaluan seorang lelaki lain yang telanjang bulat di tempat tidur, terlego saat sebelum pameran. "Istri saya sampai marah melihat gambar-gambar saya," kata perupa yang di Yogya memiliki kantong kebudayaan alternatif bernama Kedai Kebun ini. Gambar-gambar "subversif" termasuk seri pieta itu oleh Agung sendiri sebelumnya telah dibuat kartu pos, dan dibagi-bagikan kepada banyak sahabatnya di Yogya. "Saya juga berikan kepada beberapa pastor di Yogya, ternyata mereka santai saja," ha-ha-ha," tuturnya.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus