Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dari Batu sampai Bom Bunuh Diri

Tiga tahun intifadah II berjalan. Kekerasan dan represi kian meningkat. Jalan menuju kehancuran bagi kedua pihak.

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ribuan orang berkumpul di tengah Kota Nablus, kota terbesar di Tepi Barat, Ahad dua pekan lalu. Mengenakan berbagai atribut yang menunjukkan asal kelompok seperti Hamas, Brigade Al-Aqsa, atau Jihad Islam, mereka memenuhi jalanan. Teriakan hujatan anti-Israel menggema di antara suara drum dan trompet yang memekakkan telinga. "Singkirkan penjajah. Jangan pemimpin kami," teriak para demonstran berulang-ulang. Sebuah fiesta kemarahan mewarnai peringatan tiga tahun intifadah Al-Aqsa, intifadah kedua bangsa Palestina. Intifadah jalan terus, begitu pula kesewenang-wenangan. Sejak kelahiran intifadah kedua, 28 September 2000, Gaza dan Tepi Barat mirip galeri ketidakpatuhan sipil sekaligus ketidakberdayaan. Seperti ritual, bom Israel terus menghajar rumah tempat tinggal warga Palestina. Di Gaza, banyak anak yang dibunuh dalam perjalanan ke sekolah atau terkena pecahan bom saat Israel melancarkan operasi pembunuhan. Di Jenin, serdadu Israel menyerbu: memberlakukan jam malam, menutup kota sebagai hukuman kolektif, menghancurkan ekonomi rakyat setempat. Pengangguran pun melonjak, pertanian hancur. Menurut Amnesty International, lebih dari separuh dari 3,5 juta penduduk Palestina kini hidup di bawah garis kemiskinan. Eskalasi terjadi. Intifadah bersenjatakan batu amat perkasa, tapi hanya bisa berbicara tentang moral dan keadilan—dua hal yang tiada di lapangan kekerasan. Kini intifadah II, yang bersenjatakan bom bunuh diri, ampuh, mampu mencederai Israel, baik dari sisi politik, keamanan, sosial, maupun ekonomi. Lebih dari 500 orang dan 240 tentara Israel tewas dengan senjata baru tersebut. Bahkan Israel menerima tekanan dan terpaksa menerima Peta Damai. "Tiga tahun terakhir ini mungkin tiga tahun terburuk dalam sejarah Israel," ujar Tom Segev, sejarawan Israel. Tak aneh, respons Israel juga luar biasa terhadap intifadah ini. Setidaknya 2.740 orang Palestina, termasuk 400 anak-anak dan 200 perempuan, tewas selama masa tiga tahun ini. Awalnya, intifadah yang berarti "membebaskan diri" itu merupakan perlawanan spontan seluruh rakyat Palestina yang telah capek dan geram dengan pendudukan Israel. Intifadah lahir lewat drama pemicu: tergilasnya empat orang Palestina yang sedang antre di pos jaga di Gaza oleh kendaraan tentara Israel, 8 Desember 1987. Kemarahan meledak di Gaza dan Tepi Barat, seruan perlawanan menggelegar, tapi tiada yang bisa dipergunakan kecuali batu—senjata yang hanya dilihat sebelah mata oleh pasukan Israel. "Apa sih yang mereka lakukan?" tentara Israel bergumam menyaksikan anak yang memegang batu di tangan kanan dan biskuit di tangan kiri. Kala undur diri dari medan, mereka beristirahat makan biskuit—semua kategori cocok dengan adegan si kecil menundukkan si besar, si tertindas mengalahkan si penindas. Daud (David) versus Jalut (Goliath) ada dalam Perjanjian Lama dan kitab suci lain. Sedangkan batu simbol kehancuran Pasukan Gajah, serdadu Kerajaan Abyssinia yang berniat menguasai Mekah dan menghancurkan Ka'bah. Intifadah lekas populer. Tas sekolah anak-anak tidak hanya berisi buku, tapi juga batu. Di hadapan seorang wartawan, Mohamad, 10 tahun, membuka tasnya yang penuh batu. Matanya menunjuk ke satu tank Israel di "medan tempur." "Sekarang Anda mengerti," ujarnya. Intifadah pertama berhasil memaksa Israel menerima kesepakatan yang ditandatangani di Oslo pada September 1983. Sayangnya, perjanjian Oslo tidak dilaksanakan dengan baik. Pendudukan Israel kian mencengkeram. Permukiman terus dibangun. Rakyat Palestina terusir dari rumahnya. Penghinaan terus berjalan. Nasib Negara Palestina tidak jelas. Frustrasi kembali menggelora. Kemarahan rakyat Palestina memuncak saat Ariel Sharon dengan kawalan 2.000 tentara berkunjung ke Temple Mount, 28 September 2000. Kunjungan ini dianggap sebagai ancaman terhadap keinginan menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Palestina. Dari situ, meledaklah intifadah kedua, yang dimulai dengan lemparan batu para pemuda dari kawasan Masjid Al-Aqsa, tepat di atas Temple Mount. Sejak saat itu, kekerasan bak gayung bersambut. Hanya, dalam intifadah kedua, senjata kedua pihak pun kian canggih dan mematikan. Bagi rakyat Palestina, bukan batu lagi yang menjadi senjata utama, melainkan bom bunuh diri. Korban terus berjatuhan. Israel pun kian keras. Pemerintah Ariel Sharon memutuskan akan menyingkirkan Presiden Yasser Arafat. Sedangkan para pemimpin kelompok militan juga dihabisi. Bahkan, pekan lalu, Israel menawarkan kontrak pembangunan 550 unit permukiman baru di Tepi Barat—pembangunan "Tembok Berlin" yang kian menjorok ke tanah Palestina. Rakyat tanah pendudukan ini tak lagi punya ruang udara yang cukup untuk bernapas. Sebuah kehidupan yang nyaris tanpa masa depan. Keputusasaan begitu terasakan oleh rakyat Palestina. Perlawanan mengeras. Serangan terus berlangsung ke kawasan Israel. Namun sebagian orang mencoba untuk berteriak "cukup." "Sangat tidak enak kita menderita seperti ini, meski saya yakin dalam setiap pendudukan harus ada perlawanan," ujar Mustafa, 19 tahun. Dia berharap ada cara lain untuk mendapatkan kebebasan dan kedamaian. Di pihak lain, banyak di antara rakyat Israel yang merasakan hal yang sama. "Pada satu titik, rakyat Palestina dan Israel akan menyadari bahwa kami saling menyakiti satu sama lain dan kami merasa sudah cukup," ujar seorang warga Israel. "Kemudian bersama mencari cara baru," ia menambahkan. Mungkin saja batu intifadah bisa memiliki fungsi selain sebagai senjata yang mematikan.

Purwani Diyah Prabandari


28 September 2000:
Ariel Sharon mengunjungi Temple Mount. Palestina marah dan memulai intifadah kedua.

7 Maret 2001:
Sharon menjadi Perdana Menteri Israel.

1 Juni 2001:
Serangan bom bunuh diri di Diskotek Dolphinarium di Tel Aviv menewaskan 21 orang.

27 Maret 2002:
Bom bunuh diri di Netanya menewaskan 29 orang dan melukai lebih dari 100 orang.

29 Maret 2002:
Pasukan Israel mengepung markas Arafat di Ramallah.

24 Juni 2002:
George W. Bush menyatakan Arafat harus diganti.

30 April 2003:
Peta Damai dipresentasikan kepada Israel dan Palestina, disusul terpilihnya Mahmoud Abbas sebagai Perdana Menteri Palestina.

4 Juni 2003:
Dalam pertemuan Aqaba, Sharon dan Abbas berjanji mengimple-mentasikan Peta Damai.

29 Juni 2003:
Kelompok militan Palestina menerima gencatan senjata.

19 Agustus 2003:
Bom bunuh diri menewaskan 23 orang di sebuah bus di Yerusalem.

21 Agustus 2003:
Israel membunuh pemimpin Hamas, Ismail Abu Shanab. Gencatan senjata batal.

6 September 2003:
Abbas mundur.

11 September 2003:
Kabinet keamanan Israel memutuskan untuk menyingkirkan Arafat.

28 September 2003:
Peringatan tiga tahun intifadah kedua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus