Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Menyingkap Selubung Tirai

Enam orang yang menyatakan diri sebagai gay dan lesbian memamerkan karya fotografinya. Ekspresi mereka yang gay lebih terbuka.

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUPAKANLAH soal kerumitan teknis. Fotografi yang sudah akrab dengan teknologi digital memungkinkan setiap orang menjadi seorang fotografer andal. Bak mesin cuci, seorang fotografer—amatiran sekalipun—tinggal melempar ke dalamnya. Bila hasil kurang oke, biarlah teknologi meluruskannya. Alhasil, dengan kemudahan seperti itu, yang penting bukan lagi bagaimana hasil foto itu, melainkan justru apa yang disampaikannya.

Kecanggihan teknologi itulah yang banyak membantu kaum gay dan lesbi untuk tiba-tiba menjadi seorang fotografer dan melakukan pameran bersama yang diberi tajuk sensasional: Roman Homo[gen]. Bukan saja judulnya yang provokatif, tapi pameran ini tentu saja mengejutkan: sebelumnya tak pernah ada pameran yang dilakukan oleh kelompok minoritas. Dan, dalam pameran ini, mereka justru mencoba menampilkan segala pernik yang ada dalam dunianya dengan gamblang, tanpa sesuatu yang perlu disembunyikan.

Tentu saja ini menarik. Fotografer dengan embel-embel identitasnya sebagai penyuka sesama jenis bukannya tidak ada, tak terkecuali di negeri ini. Mereka hadir dengan karya-karya yang bukan menyangkut dirinya. Dan, kalaupun kali ini mereka hadir dengan menampilkan dirinya sendiri, tentu merupakan sebuah keberanian yang luar biasa. Dengan pameran Roman Homo[gen] ini, mereka (kaum gay dan lesbian) seolah ingin mempresentasikan kepada publik tentang ekspresi mereka yang selama ini tertutup dan nyaris tidak pernah diketahui publik. Pameran ini tak lain merupakan upaya mereka menyingkap selubung tirai yang selama ini gelap.

Lantas, bagaimana ekspresi mereka sebenarnya? Dari 45 foto yang mereka pamerkan, ekspresi yang ditampilkan terlihat beragam. Ada yang bermain-main dengan simbol, lebih ekspresif dalam mengeksplorasi lekuk tubuh pria. Namun, di balik itu tak sedikit yang berisi kemuraman. Untuk soal terakhir, lebih banyak diperlihatkan oleh tiga fotografer lesbian, yakni Ade Kusumaningrum, Bonnie alias Ayu Rai Laksmini, dan Imelda Taurina Mandala.

Mereka mengaku sebagai lesbian. Karya-karya mereka terlihat suram, lebih bersifat sebuah gugatan terhadap keadaan yang menghantam. Mereka memainkan cahaya gelap, lembap, dan simbolik. Salah satunya adalah Imelda Taurina Mandala, gadis berusia 25 tahun yang bekerja di industri musik, yang dengan foto-fotonya meneriakkan sebuah pertanyaan kepada masyarakat yang dianggapnya meyakini heteroseksual sebagai satu-satunya pilihan seksual dalam kehidupan manusia. "Kenapa mesti jadi normal," demikian sebuah teks yang diangkatnya dalam sebuah karya, dikompilasi dengan karya lainnya dalam judul In the Closet. Judul itu sendiri diambilnya sebagai ungkapan tindakan merahasiakan orientasi seksual yang tidak disetujui oleh masyarakat.

Persoalan yang dihadapi Imel—begitu panggilannya—seolah menjadi persoalan personal yang pernah dihadapinya. Tidak saja pada masyarakat, tapi juga terhadap religiositasnya. Pada karyanya yang lain, Another Question, dia memajang gambar Yesus Kristus yang tersalib—merupakan sebuah pertanyaan lain terhadap norma dan agama, yang menganggap pilihan orientasinya keliru. Satu lagi yang menarik adalah Define Normal, foto yang berupa semburan cahaya yang ruwet itu menjadi semacam pertanyaan lain tentang definisi normal yang dimilikinya dengan pemahaman "normal" yang beredar di masyarakat. "Saya lempar ke muka, pertanyaan-pertanyaan yang sudah sejak lama terpendam di dalam jiwa," demikian ditulis Imel dalam katalog pameran.

Sedangkan Bonnie—nama panggilan Ayu Rai Laksmini—lebih muram lagi. Dengan memajang miniatur patung The Thinker yang masyhur, dia menyandingkannya dengan teks-teks buku, yang tak lain adalah upayanya untuk menggambarkan pandangan masyarakat terhadap dirinya dan kelompoknya, yang kerap menyamakan lesbian dengan pornografi. Secara fotografis, tentu saja hal ini tidak menarik. Tapi kekuatannya terletaknya pada nuansa gelap, menyiratkan bahwa mereka, meskipun ada, ternyata keberadaannya teronggok di sebuah sudut yang gelap. Adapun sosok The Thinker sendiri adalah pergulatan batinnya yang memakan waktu tidak sebentar untuk memahami sesuatu yang tengah berkecamuk dalam dirinya.

Yang agak lain adalah karya-karya Ade Kusumaningrum. Ade, yang bekerja sebagai konsultan media, menampilkan sebuah mimpi dan obsesinya terhadap tokoh pujaannya, Frida Kahlo, perupa lesbian asal Meksiko yang kesohor itu. Dengan gaya potret, sosok Frida yang terkenal dengan gaya-gaya suramnya menjadi inspirasi yang tak kenal henti bagi Ade. Toh, di karyanya yang lain, seperti halnya dua fotografer lainnya, dia mempertanyakan tentang jatidirinya sendiri. Sebuah foto yang berjudul Wish You Had this Chance berisi orang hamil dengan dua buah potongan USG.

Sebaliknya, tiga pria yang menyatakan dirinya sebagai gay terlihat lebih ekspresif dalam karya-karyanya. Seolah berbeda seratus delapan puluh derajat dengan koleganya yang lesbian, karya mereka benar-benar merupakan sebuah perayaan terhadap keberanian mereka dalam proklamasi identitas mereka. Lihat saja karya-karya John Badalu. Dengan detail dan tanpa tedeng aling, dia menampilkan lekuk tubuh lelaki (yang tentu saja menurut dia indah) dari beberapa pria yang dekat dengannya. Tampak sekali upayanya mengantar pada sebuah pengalaman yang pernah dilaluinya. Bahkan, pada sebuah foto yang bertajuk Gate to the Pleasure Dome, ia menampilkan selangkangan seorang pria yang terbuka.

Hal yang sama pun ditampilkan Yoyok Budiman, satu-satunya peserta pameran yang menekuni dunia fotografer dan fashion. Dengan teknik fotografi yang matang dan berkelas, dia memaparkan sebuah eksotisme dan erotisme tubuh laki-laki dalam kemasan warna hitam dan putih.

Yang justru menarik adalah Logika Faggot, karya Ve Handojo. Bujangan berusia 28 tahun ini lebih bermain dengan simbol-simbol yang menurut dia umum di kalangan gay, yang sering menganalogikan benda-benda yang ditemuinya dengan memberikannya makna-makna seksualitas. Semisal dua gambar yang disandingkan, yakni gedung Indosat di Jalan Medan Merdeka Barat itu dengan semburat air mancur. Mudah dipahami, gedung tinggi dengan dua buah bangunan yang lebih pendek di samping kanan-kirinya merupakan bentuk penis. Logika Faggot—berarti kaum homoseksual—merupakan bentuk ekspresi logika kaum homoseksual pada umumnya, yang sering kali memberikan makna seksual pada benda yang ditemuinya.

Pameran ini sejatinya lebih bermakna politis. Dengan pameran ini, secara langsung mereka menyatakan kepada publik tentang identitas yang selama ini tertutup, karena desakan dari publik yang tidak mengakui keberadaan mereka ataupun karena keberanian mereka sendiri. Seperti yang dilakukan para pendahulunya seperti Dede Oetomo itu, proklamasi semacam ini bagi kaum yang tersisihkan atau terpinggirkan merupakan sebuah perjuangan dalam mengajak rekan senasib untuk berterus-terang tentang segala hal yang tengah bergejolak dalam diri mereka.

Menikmati Roman Homo[gen] sejatinya bukan pada gambar-gambar karya mereka, melainkan mendengarkan sebuah jeritan dari emosi yang tertekan dari mereka yang selama ini seolah tidak ada, padahal mereka berada di samping kita, barangkali dalam sebuah bus yang dinaiki, kloset umum, dan warung fast food.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus