Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH karya fotografi bisa membuat kita pindah ke alam lain. Ia dapat menerbitkan air mata dengan menyentuh masa lalu, dapat menggetarkan dada ini dengan gelora revolusi. Dan foto-foto yang dipajang di Galeri Foto Jurnalistik Antara hingga 12 Oktober ini dapat meluluhkan keangkuhan manusia.
Labbaika
Allahuma labbaik
Labbaika laa syariika laka labbaik
Innal hamda wan ni’mata
Laka wal mulk
Laa syariika laka
”Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya pujian, kenikmatan, dan kerajaan adalah milik-Mu. Tak ada sekutu bagi-Mu.”
Inilah karya redaktur foto kantor berita Antara, Zarqoni Maksum, 41 tahun, yang memotretnya dalam tiga kunjungan ke Tanah Suci sepanjang 2006-2007. Berangkat dengan rombongan Departemen Agama, Zarqoni sempat membantu media center haji Indonesia di sana. Sebagian fotonya ini, terutama tentang rombongan Indonesia, juga pernah dipublikasikan lewat kantornya.
Melihat sekitar 140 foto (Zarqoni memotret lebih dari seribu frame) yang tampil dalam buku Makkah: Final Destination setebal hampir 200 halaman itu, kekhusyukan Zarqoni mengambil gambar bisa jadi menyamai kekhidmatannya menunaikan rukun Islam kelima tersebut. Sebagai pewarta foto, matanya merekam ritual haji sebagaimana sebuah kegiatan jurnalistik. Namun, kala memotret Mekkah, foto yang dihasilkannya seperti sulit terpisah dari kegiatan ibadahnya. ”Ini opini visual dari yang dia alami. Jadi apa yang dia rasakan, itulah yang terpilih,” kata kurator Oscar Motuloh.
Dengan gambar-gambar yang personal dan ”dari dalam”, pewarta foto yang merekam detik-detik reformasi 1998-1999, bom Bali, dan tsunami Aceh ini menuturkan kekagumannya yang tak kepalang sewaktu di Baitullah (rumah Allah).
Disusun secara kronologis, Zarqoni mengabadikan ritual suci pada 10-15 Zulhijah, mulai mengenakan pakaian ihram—dua lembar kain putih yang tak dijahit—lalu wukuf di padang Arafah; jumrah, melempar batu di tugu Ula, Wustha, dan Aqaba di Jamarat sebagai representasi setan yang mengganggu perjalanan Nabi Ibrahim dan Ismail, putranya. Kemudian tawaf, mengelilingi Ka’bah; sa’i, berlari-lari antara bukit Safa dan Marwah; serta tahallul, memotong rambut sebagai penyucian diri.
Zarqoni juga ingin bertutur tentang Mekkah sebagai sebuah kota. Dari gambar-gambar tentang mesin crane, jalan layang, apartemen tinggi, ia bercerita tentang kota tua kelahiran Nabi Muhammad ini. Dan langit, kisah tentang langit biru yang membentang luas menaungi kekhusyukan doa jemaah di Jabal Nur, Jabal Tsur, dan Gua Hira, langit hitam pekat mengiringi perjalanan dini hari saat mereka berangkat ke Masjidil Haram; dan langit kelabu di atas Kota Mekkah yang menaungi apartemen tua dan rumah-rumah tradisional di sisi bukit yang mengelilingi kota.
Sentuhannya sangat personal terhadap masing-masing gambar. Mata pria kelahiran Porong, Sidoarjo, itu tajam melihat hal-hal yang berbau Tanah Air. Yang agak serius seperti serombongan anggota jemaah perempuan asal Indonesia sedang duduk bersama dalam kondisi istirahat di Jeddah. Sebagian sekadar duduk-duduk mengantuk; salah seorang tampak menunduk mengamati kaus tangan putih yang membalut telapak tangan mereka—separuh frame ia isi dengan kibaran bendera Merah-Putih. Lalu bayangan tiga orang berpeci yang muncul di dinding putih, yang ia kontraskan dengan kotak merah alat pemadam kebakaran.
Ketika Zarqoni berkelakar dengan gambarnya, muncullah sebuah kaleng vitamin C yang sudah penyok di atas dinding pembatas, ketika seorang anggota jemaah asal Indonesia—scarf hijau muda yang dikenakannya menandakan pemiliknya berasal dari Indonesia—sedang melempar jumrah. Ada pula gambar grafiti di batu yang penuh coret-coretan dalam berbagai nama. Di antara coretan spidol itu terdapat tulisan ”Effendi,” Purwanti”, dan ”Malang” yang sudah barang tentu mewakili nama-nama kita.
Lihat juga gambar seorang pemuda bertelanjang dada di antara rombongan anggota jemaah Indonesia. Betapa tinggi wajahnya diangkat, dengan kacamata hitam bertengger. Betapa ringan tapaknya melangkah—bisa jadi sebelum ia dijepit kanan-kiri oleh jemaah asal Afrika yang bertubuh besar-besar.
Gambar-gambar yang dihasilkan kamera Nikon SLR D-200 (eksternal) dan kamera poket Canon G-9 (internal) yang ia gunakan relatif tajam, meski tak jarang ia mesti mengambil gambar secara sambil lalu (candid)—satu ilmu dari fotografi jurnalistik yang ia tekuni 14 tahun terakhir. ”Apalagi di dalam masjid enggak boleh, ketika masuk digeledah,” kata Zarqoni, tertawa. Cerdiknya, ia menyembunyikan kamera di saku dan beruntung tak pernah tertangkap.
Dan puncaknya adalah foto dinding Ka’bah dengan aneka warna kulit tangan dan sepotong kepala yang mengiba kepadanya. Ini bisa jadi salah satu foto paling close-up dari dinding Ka’bah yang pernah dipublikasikan, dan sudah barang tentu, dengan risiko terbesar bagi Zarqoni untuk mengambilnya karena sungguh terlarang membawa kamera saat menunaikan tawaf.
”Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah.…”
Makkah: Final Destination memang cerita tentang manusia! Manusia yang berkumpul, bergerombol, dan berkerumun. Manusia yang bersisian lelaki-perempuan, berjalan menuju jejak keilahian. Dengan kecepatan rendah, kamera Zarqoni berhasil merekam mereka yang berjalan berputar mengelilingi Ka’bah; bagian dari dua juta muslim yang setiap tahun menunaikan panggilan ke Tanah Suci.
Pada 1884, peneliti Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje, pergi ke Mekkah dengan menggunakan nama Abd-al Ghaffar. Dari hasil perjalanannya, ia menerbitkan laporan saintifik berjudul Die Stadt, und ihre Herren (The City and Its People), Aus Dem Heutigen Leben (From Daily Life) yang di dalamnya mencakup tulisan dan foto-foto tentang orang Jawa di Arab Saudi.
Hurgronje kemudian juga menerbitkan buku laporan perjalanan yang disertai foto-foto: Mekka, Bilder Atlas dan Bilder aus Mekka, yang diterbitkan di Den Haag pada 1889 oleh penerbit Martinus Nijhoff dan House of E.J. Brill di Leiden. Inilah penelitian yang kemudian menahbiskannya sebagai ahli ilmu Islam di pemerintah kolonial.
Manusia juga menjadi obyek yang dikejar Hurgronje saat itu, meski ia tak beruntung mengabadikan musim haji. Ia datang setelah musim haji berakhir dan ia diusir pergi dari Tanah Suci sehari sebelum musim berikutnya dimulai. Tapi inilah foto-foto yang diklaim sebagai foto-foto pertama dari Tanah Suci. Dan Hurgronje meletakkan kredit terhadap dirinya sendiri. ”Kecuali beberapa gambar, semua foto yang ada di sini saya potret sendiri, atau oleh juru potret yang saya tugasi,” Hurgronje menulis dalam pengantarnya.
Ada perbedaan yang substantif antara karya Zarqoni dan Hurgronje. Di usia belianya saat itu, 27 tahun, Hurgronje mengambil gambar yang saksama akan lokasi penting ritual haji, penguasa Mekkah, ataupun umat muslim seluruh dunia yang pergi ke sana. Bagi Hurgronje, inilah perjalanan ”mengalami” setelah ia menunaikan tesis Pilgrimage to Mekkah, yang berisi deskripsi detail dan sejarah perjalanan haji itu sendiri. Riset ini pula yang memberinya gelar doktor di Oriental Studies, Leiden University.
Sayangnya, Hurgronje tak berhasil mengabadikan geliat kegiatan manusia di Tanah Suci itu. Bisa jadi, ini akibat teknologi kamera saat itu yang lama dan rumit sehingga obyek foto menjadi pemandangan yang datar. Dalam mengabadikan manusia, Hurgronje pun tak dapat menghindar dari pose duduk, atau berjongkok, yang statis dan tampak membosankan.
Lebih dari seratus tahun kemudian, alhamdulillah, karya Zarqoni bisa jadi segalanya; tapi jauh dari yang statis dan membosankan.
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo