HAMPIR tak ada jargon politik baik teoretis maupun empiris yang sepopuler demokrasi. Inilah sebuah proses yang menggamit janji perubahan pada sistem politik dari yang semula bersifat represif menjadi suportif. Kepopuleran demokrasi memang selalu diakibatkan oleh kenyataan bahwa persoalan-persoalan kritis dan krusial di masyarakat memerlukan solusi, yang berkaitan erat dengan demokratisasi. Akibatnya, demokratisasi dipandang lebih sebagai perombakan struktural berikut instrumen fungsionalnya. Di sini demokratisasi cenderung bukan diukur dari arah kemauan politik (political will) para elite pengambil keputusan. Demokratisasi menjadi relatif dan bersifat kontekstual. Sejak dulu sudah ada suatu sistem politik yang menampung para anggotanya sederajat secara politik, sama-sama berdaulat, memiliki segala kemampuan, sumber daya, dan lembaga yang mereka perlukan untuk memerintah diri sendiri. Gagasan ini muncul pada paruh pertama abad kelima sebelum Masehi di kalangan orang Yunani. Orang Yunani (dan yang paling menonjol orang Athena)-lah yang menimbulkan apa yang disebut Robert Dahl sebagai transformasi demokrasi pertama. Dari gagasan dan praktek pemerintahan oleh segelintir orang menjadi pemerintahan oleh banyak orang. Tentu saja, bagi orang Yunani itu, satu-satunya tempat demokrasi yang dapat dibayangkan hanyalah dalam negara kota. Menurut Robert A. Dahl (mahaguru ilmu politik di Yale University dan bekas ketua American Political Science Association) ada dua jenis keberatan terhadap demokrasi ini. Kedua keberatan ini datang dari para pendukung anarkisme dan perwalian. Teori filsafat anarkisme percaya, karena negara menindas dan penindasan itu pada dasarnya tak baik, negara itu jahat. Artinya, negara harus dihilangkan dan diganti dengan perkumpulan sukarela. Sedangkan perwalian memandang bahwa rakyat biasa dapat diandalkan untuk memahami dan mempertahankan kepentingan mereka sendiri sangatlah tak rasional. Di mata para pengritiknya, rakyat biasa tak memenuhi kualifikasi untuk memerintah dirinya sendiri. Orang demokrat berasumsi bahwa rakyat yang memenuhi syarat itu harus diganti dengan pendapat sebaliknya, yakni pemerintah harus dipercayakan kepada sekelompok kecil yang memenuhi syarat untuk memerintah berkat pengetahuan dan keunggulannya. Dalam pandangan demokrasi, kesempatan untuk melaksanakan kekuasaan negara atau keputusan pemerintahan negara semestinya didistribusikan secara merata di kalangan warga negara. Bahwa warga harus sama secara politik merupakan aksioma kunci dalam pandangan moral demokrasi. Dalam penafsiran ekonomi yang standar tentang ekonomi bebas yang berorientasi ke pasar dan kompetisi, tidaklah berhubungan dengan kekuasaan dan wewenang itu. Demikian pula pandangan mengenai persamaan sumber daya ekonomi yang mungkin mendorong ke persamaan politik. Maka, kebebasan yang diasosiasikan dengan demokrasi sebagai tujuan yang diidamkan tak mungkin menjadi resultante akhir keputusan pasar. Masih dalam pandangan demokrasi, persamaan politik harus dipertahankan dengan seperangkat pengaturan legal dan konstitusional yang didukung opini umum. Kalau perlu, bisa diperkuat dengan perundang-undangan yang menjamin hak, kesempatan, dan kewajiban setiap warga negara. Sementara itu, dalam kontur pemikiran klasik dan neoklasik tentang tatanan ekonomi, suatu negara membuat dan melaksanakan peraturan mengenai kontrak, hak milik, dan perjanjian rahasia yang penting bagi berfungsinya pasar. Tapi mengapa dan apakah para pemimpin politik akan melaksanakan tugas yang telah dibebankan dalam versi yang standar? Apakah dan sejauh mana mereka harus memodifikasi pembagian kekayaan dan pendapatan hasil sejumlah kekuatan pasar? Harus diingat, dalam alur pemikiran demokrasi, kebebasan yang dicapai dengan suatu tatanan demokrasi adalah kebebasan untuk menentukan nasib sendiri dalam pembuatan keputusan bersama dan mengikat, dalam pembuatan undang-undang. Dalam pada itu, pandangan ekonomi yang standar menentukan bahwa kebebasan yang dicapai oleh tatanan ekonomi bersandar pada kebebasan pokok dalam memilih di pasaran: kebebasan konsumen memilih barang atau jasa, kebebasan para usahawan untuk bersaing, kebebasan memperoleh sumber daya, kebebasan para pekerja untuk mengadakan kontrak dengan majikan guna memperoleh pekerjaan dengan imbalan upah. Inilah benih-benih pertama konflik antara demokrasi dan kapitalisme. Konflik timbul karena persamaan politik tak selalu diikuti oleh kapabilitas setiap warga dalam memperoleh akses yang berkaitan dengan pilihan ekonomi dan pengalokasian sumber daya. Demokrasi sedang diuji kesahihan dan kompetensinya untuk merumuskan format kehidupan ideal atas dasar persamaan, yang jauh dari unsur kesenjangan, ketimpangan, dan sentimen sosial. Adig Suwandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini