Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dua Orang Tamu

Di dalam warung kopi Salindri terdengar percakapan dua lelaki setengah baya.

19 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI DALAM warung kopi Salindri terdengar percakapan dua lelaki setengah baya. Kiai Muhaya dan Suro Kolong menjadi pengunjung paling pagi. Mereka berjanji bertemu di warung kopi Salindri sebelum melakukan perjalanan ke pedepokan Ki Gandrung Marsudi. Langkah mereka menjauh dari Lembah Kelelawar yang senyap menuju lereng Jabal Ahad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salindri masih membuka warung kopi, meski sudah saatnya melahirkan. Janda setengah baya itu memandangi Kiai Muhaya dan Suro Kolong yang baru saja selesai menyesap kopi. Keduanya melangkah bersama, mengisap rokok, menyusuri jalan setapak mendaki Jabal Ahad. Kiai Muhaya tampak tenang, mendaki gunung dengan pandangan yang terarah pada ujung jari kakinya. Di sisinya, Suro Kolong menebarkan pandangan sepanjang jalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pedepokan Ki Gandrung Marsudi masih jauh. Terhampar sebuah lembah menjelang puncak Jabal Ahad. Lelaki tua itu tinggal berdua dengan istri dan sapi piaraannya. Kiai Muhaya merasa pedepokan itu sudah kosong. Ia dengar cerita orang-orang desa, Ki Gandrung Marsudi dan istrinya meninggalkan pedepokan.

“Tidak usah terburu-buru, kita belum tentu bertemu Ki Gandrung Marsudi,” kata Kiai Muhaya. Seekor ular dengan dua garis putih di punggung menjauh dari semak-semak jalan setapak yang dilalui Kiai Muhaya. Ular itu seperti menghindar bertemu kiai.

“Saya yakin, Ki Gandrung Marsudi masih berada di pedepokan. Ia ingin melindungi desa kita dari ancaman orang jahat!”

Mereka beriringan meniti jalan setapak ke lereng Jabal Ahad. Masih pagi, sesekali mereka bertemu petani yang mencari rumput dan berangkat ke ladang.

Tiap kali Kiai Muhaya bertanya kepada pencari rumput, apakah mereka masih melihat Ki Gandrung Marsudi berada di pedepokannya, selalu memperoleh jawaban: tidak. Tetapi tiap kali Suro Kolong bertanya kepada pencari rumput, apakah Ki Gandrung Marsudi masih tinggal di pedepokannya, selalu mendapat jawaban: masih. Kiai Muhaya berjalan dengan langkah tenang. Suro Kolong tampak bersemangat meneruskan pendakian ke puncak Jabal Ahad.
                                                        ***    

SENYAP pagi mengambang di pelataran pedepokan, ketika Kiai Muhaya memasukinya. Ia tak disambut Ki Gandrung Marsudi dan istrinya. Ia memilih duduk di hamparan tikar pandan pendapa yang terbentang pintunya. Merasakan angin berkabut dari puncak Jabal Ahad. Ia belum pernah bertemu lelaki tua berambut panjang memutih itu. Ia hanya mendengar kisah kesaktian Ki Gandrung Marsudi dan murid-murid yang senantiasa berguru kepadanya.

Kiai Muhaya masih ingat percakapannya dengan Salindri, yang pernah mendaki Jabal Ahad, dan tak menemukan Ki Gandrung Marsudi. 
“Kiai mau melacak pedepokan Jabal Ahad? Saya pernah mencari pedepokan itu, dan tak pernah kutemukan,” kata Salindri, perempuan setengah baya yang menantikan kelahiran bayi dalam kandungannya. Ia seorang janda. Tak seorang pun tahu siapa ayah bayi yang dikandungnya. Tetapi perempuan setengah baya itu pernah mengatakan kepada beberapa lelaki yang minum kopi di warungnya: ayah bayi yang dikandungnya itu Dul Manan, seorang perampok muda yang mati ditembak polisi.

“Saya ingin membuktikannya ke pedepokan!” kata Kiai Muhaya percaya diri.

“Semoga Kiai bisa ketemu Ki Gandrung Marsudi,” kata Salindri, sambil mengusap-usap perutnya yang membuncit. “Siapa tahu, anakku lahir lelaki, dan kelak bisa berguru ilmu kebal senjata darinya.”

Duduk di atas hamparan tikar pandan, di pendapa yang senyap, Kiai Muhaya merasakan kekosongan. Ia melihat sangkar tanpa burung yang berayun-ayun. Kosong. Ia membiarkan Suro Kolong memeriksa kandang sapi di belakang pedepokan. Kiai Muhaya tak beranjak ke mana pun. Ia duduk bersila di tikar pandan yang dingin, seorang diri, menanti Suro Kolong menghampirinya.
                                                        ***    

LANGKAH Suro Kolong mencapai kandang sapi di belakang pedepokan. Ia menghampiri Ki Gandrung Marsudi yang asyik memberi makan enam ekor sapi dengan rumput-rumput segar. Wajah lelaki tua berambut panjang memutih itu tampak santun dan tenang.

“Di pendapa, Kiai Muhaya menantimu,” kata Suro Kolong.

“Biar dia di sana. Kiai tidak ingin bertemu denganku,” kata Ki Gandrung Marsudi. “Kau memang selalu tahu di mana aku berada.”

“Saya masih saja cemas, dari Lembah Kelelawar selalu muncul penjahat baru. Kini Salindri hamil tua, mengandung anak Dul Manan, seorang perampok yang mati ditembak polisi,” kata Suro Kolong.

“Memang begitu. Akan selalu lahir penjahat baru, menggantikan para penjahat yang sudah meninggal.”

“Mengapa mesti kaucemaskan? Biar saja Salindri melahirkan anak-anak yang terus berbuat jahat. Akan lahir juga anak-anak yang melawan kejahatan itu.”

Sepasang mata Ki Gandrung Marsudi yang tajam itu meredup. Memandangi Suro Kolong sambil mengisap rokok.

“Saya akan sangat cemas kalau Ki Gandrung Marsudi meninggalkan pedepokan,” kata Suro Kolong.

“Aku akan tetap tinggal di pedepokan ini. Akan kutemui orang-orang yang memang ingin bertemu denganku.”

Suro Kolong mengangguk-angguk, seperti menemukan kembali suasana hati yang lama diidam-idamkannya.

“Saya akan sering datang kemari,” kata Suro Kolong. 

Pagi itu Suro Kolong merasa tenteram. Ia menemui istri Ki Gandrung Marsudi yang berjongkok di depan tungku kayu, memasak di dapur. Ia sempat menghabiskan secangkir kopi yang diseduh perempuan tua itu. Ia lama berbincang-bincang dengan perempuan tua itu di depan tungku kayu. Ia seperti membakar semua kecemasannya pada nyala kayu pada tungku.
                                                           ***

WAJAH Kiai Muhaya tampak teduh saat berjalan di sisi Suro Kolong, tanpa percakapan. Mereka menuruni jalan setapak berumput Jabal Ahad. Tiap kali berpapasan dengan ular dengan dua garis putih di punggung, selalu binatang itu menjauh. Kiai Muhaya tak pernah bertanya kepada Suro Kolong, apakah ia bertemu Ki Gandrung Marsudi. Hingga perjalanan mencapai pesantren, Kiai Muhaya berdiam diri, tak pernah mempercakapkan tentang Ki Gandrung Marsudi.

Suro Kolong meneruskan perjalanan pulang, melintasi warung kopi Salindri. Tetapi warung itu tutup. Kelelawar-kelelawar bercericit terbang rendah di antara pepohonan buah jambu air, mangga, jati, sonokeling, dan munggur. Tak biasanya kelelawar-kelelawar beterbangan rendah di siang hari.

Rumah papan Salindri tampak dikunjungi perempuan-perempuan. Mereka memperbincangkan bayi laki-laki yang lahir dari rahim Salindri. Seorang dukun bayi menolong kelahiran bayi itu. Suro Kolong menyempatkan diri singgah ke Lembah Kelelawar, melihat wajah Salindri yang tampak bahagia. 

“Lembah Kelelawar ini akan memiliki pewaris! Dia akan jadi putra kesayanganku!” kata Salindri, penuh percaya diri.

Di pelataran rumah Salindri yang rimbun pepohonan, Suro Kolong mendengar perempuan-perempuan yang mengadu dengan cemas, “Kenapa bayi laki-laki itu lahir dengan wajah yang seram, ya?”

“Jangan-jangan dia akan jadi perampok seperti Samsu, kakaknya, yang dihukum mati!” seru perempuan lain.

Sepasang mata Suro Kolong menajam, memandangi perempuan-perempuan desa yang berwajah sinis.

“Jangan buru-buru berprasangka! Siapa tahu bayi itu kelak jadi orang baik?”

Suro Kolong teringat pesan Ki Gandrung Marsudi untuk tak mencemaskan bayi yang lahir dari rahim Salindri. Ia termangu di pelataran rumah, sambil mengenang perampokan Samsu, anak Salindri dengan almarhum Panji Rangsang, yang ditakuti orang-orang desa karena kebal senjata.

“Lalu, kalau kelak bayi itu menjadi penjahat, siapa yang akan menghadapinya?”

“Keturunanku akan menghadapi dia,” kata Suro Kolong, sambil melangkah pelan, meninggalkan pelataran rumah Salindri.

Seekor ular dengan dua garis putih di punggungnya meluncur dari ujung ranting jambu air, menimpa punggung Suro Kolong. Perempuan-perempuan di pelataran rumah Salindri menjerit kaget dan takut.
***

Pandana Mereka, Mei 2024


S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Sejak 1983 ia menulis cerpen, puisi, novel, dan esai sastra yang tersiar di beberapa media massa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
S. Prasetyo Utomo

S. Prasetyo Utomo

S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018. Sejak 1983 ia menulis cerpen, puisi, novel, dan esai sastra di beberapa media massa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus