Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Film amerika dukung monopili ? sebuah dilema

Dua perusahaan film amerika anggota mpeaa menan- capkan kukunya di indonesia. kelompok sinepleks 21 merangkul bioskop "usang" ke dalam grupnya. pro- teksi film indonesia telah berlangsung lama.

29 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA perfilman di Indonesia kembali menghadapi riak. Masuknya dua perusahaan film besar Amerika Serikat yang berada di bawah payung MPEAA (Motion Picture Export Association of America) ke sini menimbulkan berbagai reaksi. Seperti diketahui, perusahaan itu adalah Time Warner, yang menjalin kerja sama dengan PT Satria Perkasa Estetika Film, dan United International Pictures, yang berkongsi dengan PT Camilia Internusa Film. Yang menyebabkan reaksi dan riak itu membesar- tapi mungkin tak akan menjadi gelombang- adalah siapa kedua partner perusahaan film AS itu. PT Satria adalah anak perusahaan PT Subentra, yang dikenal punya jaringan bioskop berlabel 21. Sedang PT Camilia adalah importir anggota Asosiasi Importir Film Eropa Amerika yang selama ini tak begitu terdengar namanya, dan mereka akan bekerja sama dengan Subentra dalam memasarkan film yang didatangkannya. Maka, monopoli yang dituduhkan oleh kalangan perfilman semakin kuat saja. Padahal, tadinya MPEAA berjuang masuk ke Indonesia justru dimaksudkan untuk memotong jalur monopoli itu. Tidak jelas apakah MPEAA berubah sikap. Atau memang sejak awal hanya ingin menancapkan kukunya di sini dengan pertimbangan bisnis semata-mata- dan sejumlah orang melebih- lebihkannya. Kalau kita ikuti keterangan Edward Frumkes, Wakil Presiden Distribusi Internasional Warner Bros, yang disampaikan di Jakarta, kerja samanya dengan Subentra Group berdasarkan kenyataan kelompok itu punya jaringan bioskop yang bagus. Jadi, pendekatannya semata-mata urusan dagang. Hasilnya, penonton di Indonesia akan segera bisa menikmati film produksi Hollywood dengan cepat. Bukan cuma segi kecepatannya, juga soal mutu. Karena umumnya perusahaan film yang terhimpun dalam MPEAA (Motion Picture Association of America)- MPEAA itu adalah divisi luar negerinya- menghasilkan film-film langganan Oscar. Pekan ini, misalnya, akan datang film paling gres, Robin Hood, Prince of Thieves, produksi Warner Bros. Pertunjukan khusus dilakukan di Jakarta, Jumat pekan ini, dan pekan depan diputar serentak di 48 gedung bioskop utama di berbagai kota. Di Amerika sendiri film itu masih diputar karena baru masuk gedung bioskop pekan lalu. Artinya penonton diuntungkan. Kasus Rain Man, yang baru datang setelah hampir dua tahun videonya beredar di sini, tak akan terjadi lagi. Film itu baru masuk setelah harganya "dibanting". Batman dan Goodfather III- hanya contoh saja- pun belum masuk ke sini dan konon segera menyusul setelah sistem bagi hasil ini berjalan. Dengan masuknya film-film ini, diharapkan jumlah film keras yang asal dar-der-dor atau gedebag-gedebug, yang memang bisa dibeli dengan murah di luar kelompok MPEAA, berkurang. Karena pemerintah sudah menetapkan kuota, dan untuk film Eropa-Amerika kuota itu 80 film per tahun. Dampak positifnya adalah apresiasi masyarakat meningkat. Memang, belum tentu ada jaminan bahwa setiap film bermutu pasti masuk. Masalahnya, bagaimana dengan film Indonesia yang oleh pemerintah dimaksudkan sebagai "tuan rumah di negeri sendiri". Di sinilah riak itu muncul. Ada yang menyebut cengkeraman kuku MPEAA ini akan menyudutkan film nasional, bahkan mematikan. Apalagi bioskop-bioskop utama yang kini sudah berubah menjadi sinepleks dikuasai oleh grup Subentra. Dan ini jadi sebuah dilema. Film Indonesia lebih banyak yang buruk, memang. Sedikit sekali yang bagus. Celakanya, film yang tergolong bagus seperti Langitku Rumahku pun tak mendapat tempat di bioskop kelas utama. Film pemenang Citra seperti Taksi memang diberi keleluasaan di berbagai bioskop, dan laris, tetapi uangnya tak bisa dinikmati produser. Tersirat ada yang tidak beres dalam hal tata edar dan ada "permainan". Pada akhirnya, film Indonesia dengan terpaksa membutuhkan bioskop jenis lain- dan itulah bioskop-bioskop kelas "pinggiran". Di sini konon penonton masih menyukai sadisme, seks, dan legenda- dan dibuatlah film asal jadi sejenis itu. Di kawasan ini, tak terbantah film nasional sudah lama menjadi "tuan rumah". Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus