MENGGELANDANG di jalanan, di luar gubuk pengap di pinggiran Rio de Janeiro, betapa menyenangkan buat bocah macam Anderson dan Eduardo. Anderson, lima tahun, dari wilayah kumuh Baixade Fluminense, matanya akan berbinar-binar menemukan pakaian lusuh atau panci butut. Eduardo, setelah mengasong jeruk selama enam jam di sekitar lampu merah, bisa mengantungi empat dolar. Keduanya membawa pulang "harta karun" itu buat emaknya, keluarga di antara 60 juta warga teri Brasil yang hidup dari gaji 60 dolar sebulan. Maka, lebih enak di jalan, lepas dari kemplangan orangtua yang frustrasi. Di dunia bebas itu, ada gang dengan aturan-aturan dan bahasa tersendiri. Mereka pun diajari meminta-minta dan nyopet dari abang-abang mereka. Dan akhirnya menjadi subyek perdagangan obat bius serta pelacuran bawah umur. Para polisi, petugas hukum, dan juga pengusaha di kota gemerlap Rio lantas memandang mereka sebagai bencana. Mereka diburu dan dibantai. Dalam satu hari, lebih dari satu anak menjadi korban regu penembak misterius. Tepatnya, padu 1989, ada 445 "anak-anak tikus" mati. Di kantor polisi, orang bisa membaca nama mereka yang hilang beserta hari kematiannya: tanggal 28 Januari 1987, Renata G. Mello, 2 tahun 21 Februari 1987, Marcos Aurelio C., 17 tahun 4 Mei 1988, kakak beradik Elizete dan Elionete, 9 dan 5 tahun 12 Agustus 1988..... Mereka yang Kehilangan Kesempatan PARA ekonom menjuluki Brasil negara yang "kehilangan kesempatan". Keajaiban ekonomi pada 1960-1970 tidak diiringi pemerataan pendapatan. Akibatnya: inflasi gila-gilaan dan utang luar negeri sebesar US$ 124 milyar. Menurut Bank Dunia, pada 1987, penghasilan per kapita negara terbesar di Amerika Selatan ini adalah US$ 2.000, atau empat kali lipat Indonesia. Tapi, cuma sebagian dari 144 juta penduduk Brasil yang menerima berkahnya. Buktinya, di Rio, tujuh juta anak di bawah 17 tahun jumlah yang sama bila seluruh penduduk Switzerland menjadi tunawisma- hidup mengais di pinggir jalan. "Brasil menyelesaikan masalah anak-anak jalanan dengan membunuhnya," teriak lembaga hak asasi Amnesty International ketika 1.400 bocah mati antara 1984 dan 1989. Problem Brasil memang problem kebanyakan negara berkembang: bagaimana memerangi penyebab kemiskinan, dan bukan meng-hantam-kromo akibat-akibatnya saja. Foto: GAMMA Teks: Bunga Surawijaya dan Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini